Layak Dilirik, Sumber Pendanaan APBN Non-Konvensional Tersedia Hingga Rp3.500 Triliun
Mengawali kiprah di periode kedua kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo dinilai masih saja menggunakan pola pendekatan dan strategi yang sama seperti yang telah diterapkannya pada periode pertama tahun 2014-2019 lalu. Tak terkecuali di bidang perekonomian.?
?Misalnya saja terkait cara pemerintah dalam mendanai kebutuhan APBN dalam lima tahun ke depan. Andalannya masih sama, yaitu dari penerimaan dari pajak, penerimaan bukan pajak (PNBP) dan dari utang. Ini cara-cara konvensional yang dengan kebutuhan negara yang semakin kompleks, setahu saya, tidak akan pernah berhasil,? ujar Pengamat EKonomi dan Politik dari Nusantara Centre, Yudhie Haryono, dalam sebuah diskusi, di Jakarta, Minggu (22/12/2019).?
Selain permasalahan ekonomi, diskusi tersebut juga mengulas tentang tantangan di dunia Pendidikan, politik, hingga kebangsaan Indonesia di tahun 2020 mendatang.?Dalam pemaparannya, Yudhie menjelaskan. Pemerintahan Indonesia ke depan harus mulai mempertimbangkan sumber-sumber pendanaan APBN yang non-konvensional yang diklaimnya memiliki potensi yang sangat besar dan selama ini belum pernah tersentuh.?
Baca Juga: Menkeu Ramal Defisit APBN 2019 Membengkak di Kisaran 2,2%
Kekuatan pendanaan baru tersebut dikatakan Yudhie bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan mendasar kebangsaan yang selama ini masih belum mampu terpenuhi pendanaannya, seperti sektor pendidikan, budaya hingga pengembangan infrastruktur di sektor tambang.?
?Kenapa nggak, misalnya, pemerintah mulai memikirkan opsi pajak super progresif untuk kepemilikan mobil, barang mewah hingga misal aset usaha seperti gedung perkantoran, pabrik dan sebagainya. Masak iya konglomerat yang hanya punya satu gedung dan sepuluh gedung bayar(pajak)nya sama? Punya rumah mewah satu dan sepuluh bayarnya sama? Maka jangan protes kalau di perkotaan terjadi macet karena orang kaya snagat mudah untuk beli mobil. Jangan juga mengeluh kalau terjadi banjir karena investor sangat mudah untuk punya gedung atau pabrik sampai puluhan,? tutur Yudhie.
Tak hanya soal pajak super progresif, lanjut Yudhie, pemerintah juga perlu mulai mempertimbangkan untuk tidak lagi mengandalkan pendanaan konvensional dalam menggenjot pembangunan infrastruktur. Berdasar atas kedaulatan negara, Yudhie mengklaim bahwa pemerintah bisa saja menugaskan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak sejumlah uang baru sesuai kebutuhan tanpa harus mengganggu likuiditas uang yang telah tersedia di pasar.?
?Siapa bilang (BI) tidak bisa (ditugaskan untuk mencetak uang guna pembiayaan infrastruktur)? Kalau soal diprotes oleh negara lain, ya itu sudah pasti, tapi apakah bisa? Secara ilmu ekonomi bisa saja itu dilakukan, asal uangnya benar-benar dipakai hanya untuk pembangunan (infrastruktur) dan setelah usai harus ditarik lagi (ke BI) sehingga tidak membanjiri pasar sampai terjadi inflasi,? papar Yudhie.
Baca Juga: Lampu Merah! Defisit APBN Sentuh Rp289 Triliun
Hanya saja, meski memungkinkan untuk dilakukan, Yudhie menyebut bahwa ada pihak-pihak yang sengaja membangun persepsi bahwa cara-cara out of the box ini tidak bisa dilakukan karena berpotensi mengganggu stabilitas perekonomian nasional. Faktanya adalah bukan perekonomian negara yang terancam bakal terganggu, melainkan pihak-pihak tersebut sendiri lah yang justru berpotensi kehilangan ladang untuk mendapatkan keuntungan.?
?Dengan cara-cara konvensional perbankan dapat untung dari pembiayaan ke BUMN infrastruktur. Investor besar diuntungkan karena pemerintah jadi merasa perlu menerbitkan SUN (Surat Utang Negara). Mereka-mereka ini yang membangun persepsi seolah cara-cara pendanaan konvensional adalah satu-satunya jalan keluar. Itu salah besar,? tegas Yudhie.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri