Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak omnibus law cluster ketenagakerjaan yang secara langsung berarti melakukan revisi terhadap UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Khususnya terhadap pasal tertentu, seperti pasal tentang upah, pesangon, tenaga kerja asing (TKA), jam kerja, outsourcing, jaminan sosial, dan lain sebagainya.
"Isi omnibus law tersebut sangat merugikan buruh. Antara lain pengurangan nilai pesangon, pembebasan TKA buruh kasar, penggunaan outsourcing yang masif, jam kerja yang fleksibel, termasuk upah bulanan diubah menjadi upah per jam," kata Presiden KSPI, Said Iqbal, belum lama ini.
Baca Juga: Wacana Upah Kerja Per Jam, Ini Penjelasan Menaker
Oleh karena itu, Iqbal menegaskan bahwa pihaknya juga menolak keras wacana perubahan sistem upah menjadi upah per jam. Karena prinsip upah minimum saat ini adalah safety net atau jaring pengaman agar buruh tidak absolut miskin. Hal itu sesuai dengan yang terkandung dalam konvensi ILO dan UU No 13/2003.
Jadi jika sistem upah per jam, boleh jadi buruh menerima upah dalam sebulan di bawah nilai upah minimum. Sebab, pengusaha membayar upah sesuai dengan jumlah jam buruh bekerja. "Jika ini diterapkan, pengusaha bisa seenaknya secara sepihak menentukan jumlah jam bekerja buruh," kata Iqbal.
Lebih lanjut dia menegaskan, kalau bekerja dibayar sesuai jumlah jam, bisa saja buruh tidak diberi jam kerja sehingga dia tidak dibayar. Akibatnya, total pendapatan yang didapat dalam sebulan upahnya di bawah upah minimum.? Jadi, tidak ada perlindungan jaring pengaman untuk buruh bisa hidup minimum.?
"Peran negara untuk melindungi rakyat kecil yang hanya mengandalkan upah minimum dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya menjadi hilang," tegasnya.
Alasan lain, lanjut Iqbal, terjadi diskriminasi terhadap pekerja perempuan yang sedang haid, dua hari pertama upahnya akan terpotong. Padahal, selama ini bila cuti haid upahnya tidak dipotong. Begitu pun buruh yang sedang sakit, cuti melahirkan, menjalankan ibadah haji, dan yang lainnya, maka upahnya terpotong. Jelas ini akan merugikan buruh.
Said Iqbal menambahkan, selain itu supply dan demand tenaga kerja di Indonesia gap-nya masih tinggi. Termasuk angka pengangguran masih tinggi dibanding negara maju yang sudah menerapkan upah per jam.
"Akibatnya daya tawar upah buruh kepada pengusaha menjadi lemah. Bisa saja pengusaha mengatakan, hanya ingin mempekerjakan buruhnya selama dua jam per hari dengan sistem upah per jam tersebut," ungkapnya.
Dengan demikian,? tidak ada perlindungan dari negara buat buruh untuk hak hidupnya. Akibatnya terjadilah penurunan daya beli buruh dan menurunkan konsumsi yang berakibat turunnya angka pertumbuhan ekonomi dan rakyat mempunyai penghasilan hanya sekadar untuk makan saja.
Menurut Iqbal, di negara industri maju yang menerapkan upah per jam, supply demand tenaga kerja dan angka penganggurannya relatif kecil. Selain itu, sistem jaminan sosialnya sudah layak termasuk adanya unemployment insurance sehingga mereka pindah kerja di pasar kerja relatif mudah.
"Terakhir, tingkat pendidikan buruh Indonesia dalam angkatan kerja 70 persen adalah lulusan SMP ke bawah. Berarti banyak/mayoritas unskill workers, yang dengan sistem upah per jam bisa dipastikan mereka akan absolut miskin," terangnya.
Oleh karena itu, sambung Iqbal, tugas pemerintah adalah meng-up grade dulu agar pendidikan buruh di angkatan kerja menjadi 80 persen pendidikannya SMA ke atas dan ketersediaan lapangan kerja yang melimpah, baru diskusi upah per jam. Intinya, kata Iqbal, buruh menolak sistem upah per jam yang absolut memiskinkan kaum buruh.
"KSPI juga menolak seluruh isi omnibus law cluster ketenagakerjaan yang merugikan buruh. Sebab sejauh ini UU No 13/2003 sudah cukup memberikan keseimbangan kepentingan buruh dan pengusaha," tutup Iqbal.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum