Bagaimana Hong Kong Tekan Virus Corona? Ahli Bilang Bukan Lockdown tapi...
Hong Kong, wilayah semi-otonom China, dipandang sebagai salah satu otoritas yang berhasil "menundukkan" pandemi virus corona baru, COVID-19, dengan jumlah kematian hanya empat orang. Hebatnya, kota pusat keuangan Asia ini sukses melawan pandemi tanpa memberlakukan penguncian (lockdown) wilayah secara total.
Pada 20 April, untuk pertama kalinya dalam lebih dari enam minggu, Hong Kong melaporkan nol kasus baru COVID-19. Kondisi baik itu terus bertahan hingga sekarang.
Baca Juga: Gak Mau Jemawa, Hong Kong Perpanjang Karantina Wilayah Meski Tak Ada Kasus Baru Sejak Maret
Data worldometers pada Selasa (5/5/2020) pukul 10.45 menunjukkan ada 1.041 kasus infeksi COVID-19 di Hong Kong dengan 4 kematian dan sebanyak 900 pasien berhasil disembuhkan.
Data itu menjadi prestasi bagus Hong Kong, mengingat wilayah berpenduduk 7,5 juta jiwa itu dekat dengan China daratan, negara di mana pandemi COVID-19 pertama kali muncul.
Hong Kong sempat mengalami gelombang kedua wabah COVID-19 pada Maret lalu setelah penduduk kembali ke kota dari hot spot COVID-19 di Eropa dan Kasus warga Amerika Serikat di Hong Kong hampir tiga kali lipat.
Para ahli menyoroti keberhasilan Hong Kong mengelola gelombang pertama dan kedua pandemi COVID-19 tanpa penguncian total yang melumpuhkan ekonomi. Penduduk di kota itu sudah hidup seperti biasa dan tingkat infeksi melambat.
"Kehidupan bagi banyak orang di sini telah kembali normal, kecuali bahwa mereka mengenakan masker," kata pemilik restoran lokal, Wing Fat Yau, seperti dikutip US News.
"Saya melihat banyak orang di jalan, di pusat perbelanjaan, di taman. Anak-anak bekejar-kejaran, bermain. Orang makan di restoran, berkerumun dan ramai, berbaris di luar toko-toko dan restoran."
Beberapa ahli menghubungkan keberhasilan Hong Kong dalam mengatasi pandemi ini dengan pengalamannya dalam menangani wabah sindrom pernafasan akut parah atau SARS, yang menewaskan 299 orang dan menginfeksi 1.755 di wilayah itu pada tahun 2003.
Pemerintah Hong Kong merespons lambat wabah SARS, namun reaksinya terhadap pandemi COVID-19 jauh lebih cepat.
Kasus pertama COVID-19 yang dikonfirmasi di Hong Kong diumumkan pada 23 Januari. Kemudian pada bulan itu, pemerintah mulai melakukan pengawasan ketat terhadap orang yang terinfeksi, tidak hanya untuk pelancong yang datang, tetapi juga di masyarakat setempat.
Upaya ekstensif juga dilakukan untuk melacak dan mengarantina semua kontak dekat yang telah dilihat orang yang terinfeksi dua hari sebelum menjadi sakit.
Kamp liburan dan perumahan yang baru dibangun diubah menjadi fasilitas karantina.
Pada awal Maret, pemerintah melakukan ratusan tes setiap hari.
Wilayah itu juga mulai menyesuaikan kebijakan imigrasi. Siapa pun yang melintasi perbatasan dari China daratan, serta para pelancong dari negara-negara yang terinfeksi, diharuskan menjalani wajib karantina 14 hari di rumah atau di fasilitas yang ditunjuk.
Untuk mendorong social distancing, kota ini juga menetapkan pengaturan kerja yang fleksibel dan penutupan sekolah. Pertemuan umum dibatasi untuk empat orang dan restoran diminta untuk memastikan jarak sekitar 5 kaki di antara meja.
Namun, meskipun 11 jenis tempat hiburan dan rekreasi, termasuk bar, ruang karaoke, bioskop dan pusat kebugaran disuruh tutup, kota ini tidak menggunakan perintah "tinggal di rumah", kebijakan umum di beberapa bagian Eropa dan AS.
Tetapi dengan populasi yang siap menghadapi ancaman itu dengan serius, para ahli mengatakan itu tidak perlu dilakukan.
Menurut sebuah penelitian baru-baru ini di jurnal medis Lancet, misalnya, 85% penduduk Hong Kong yang menanggapi survei pada bulan Maret melaporkan menghindari tempat-tempat ramai, dan 99% melaporkan mengenakan masker saat meninggalkan rumah.
"Hong Kong lebih siap untuk menghadapi wabah COVID-19 daripada banyak negara lain," kata Dr Peng Wu dari Hong Kong University's School of Public Health.
"Peningkatan tes dan kapasitas rumah sakit untuk menangani patogen pernapasan baru dan populasi yang benar-benar sadar akan kebutuhan untuk meningkatkan kebersihan pribadi dan menjaga jarak fisik membuat mereka lebih baik."
Yau, pemilik restoran, setuju dengan penilaian pakar tersebut. "Saya pikir keberhasilan Hong Kong dalam mengendalikan epidemi ini sebagian besar didorong oleh orang-orangnya," kata Yau.
"Pengalaman SARS pada tahun 2003 banyak mengajar kami. Kali ini kami mengambil langkah kami sendiri. Saya tahu diri saya dan keluarga saya semua telah memakai masker sejak pertengahan Januari. Kami cepat bertindak."
Ketika situasinya terlihat mulai stabil di Hong Kong, para pakar kesehatan masih merekomendasikan beberapa tingkat kehati-hatian.
Meskipun keberhasilan dalam mengendalikan pandemi COVID-19 terlihat, Pusat Perlindungan Kesehatan Hong Kong mendesak masyarakat untuk terus berlatih menjaga social distancing, menghindari pertemuan yang tidak perlu dan menghindari perjalanan keluar dari rumah.
Pemerintah juga merekomendasikan agar semua orang memakai masker bedah saat berada di tempat umum. Tindakan social distancing yang semula ditetapkan akan berakhir pada 23 April diperpanjang hingga 7 Mei.
"Mengingat bahwa situasi infeksi COVID-19 tetap parah dan bahwa ada peningkatan terus-menerus dalam jumlah kasus yang dilaporkan di seluruh dunia, anggota masyarakat sangat didesak untuk menghindari semua perjalanan tidak penting di luar Hong Kong," seorang juru bicara kata Pusat Perlindungan Kesehatan.
"Situasi ini hanya dapat dianggap terkendali jika tidak ada lagi kasus lokal dalam 28 hari berikutnya," kata profesor David Hui Shu-cheong, pakar penyakit pernapasan di Universitas China, kepada program televisi lokal.
Pada titik itu, kata dia, sekolah dapat dibuka kembali dan pegawai negeri sipil dapat kembali bekerja.
Bahkan ketika pembatasan dilonggarkan, Hui mengatakan masyarakat harus terus mengenakan masker pada transportasi umum dan di tempat-tempat ramai, karena masih akan ada risiko kasus baru di masyarakat dan vaksin tidak akan tersedia sampai paling awal pertengahan 2021.
Sebelum vaksin itu tiba, Dr Peng Wu percaya bahwa akan sangat sulit untuk sepenuhnya menghindari gelombang kedua COVID-19.
"Kami mungkin mengharapkan relaksasi dari beberapa pembatasan yang ada, selama jumlah kasus tetap rendah," katanya.
"Tetapi sebagai konsekuensinya, kita kemudian dapat mengambil risiko (memiliki) lebih banyak kasus impor dan lebih banyak transmisi masyarakat, yang membutuhkan pembatasan untuk diperketat lagi."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: