Melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia meyakini kebijakan mencetak uang tidak akan serta-merta mengakibatkan hiperinflasi seperti yang terjadi pada periode 1960-1966.
Kebijakan mencetak uang sempat mengemuka di tengah defisit anggaran yang kian membengkak akibat dampak pandemi Covid-19.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan, secara historis, Indonesia pernah melakukan kebijakan mencetak uang (money creation) pada masa orde lama yang mengakibatkan hiperinflasi, yakni stadium akhir dari penyakit inflasi. Namun, ada beberapa hal yang mesti dicatat, mengapa kebijakan cetak uang pada medio 1960'an itu menyebabkan hiperinflasi.
Baca Juga: Nasib Ekonomi Nasional Ada di Tangan Bank Sentral
Dari sisi produksi, ketika itu perekonomian Indonesia mengalami stagnasi, bahkan pertumbuhannya melambat dari periode sebelumnya. Hal ini diperparah oleh situasi politik yang tidak stabil yang disebabkan oleh beberapa peristiwa, seperti pembebasan Irian Barat dan konfrontasi politik keamanan dengan Malaysia.
"Alhasil, penyebab hiperinflasi yang terjadi pada saat itu adalah kombinasi kenaikan jumlah uang beredar yang tidak diimbangi oleh sisi suplai yang kuat akibat kelangkaan bahan baku, serangkaian ketegangan politik, dan kebijakan makro yang kurang tepat," ujarnya di Jakarta, Kamis (4/6/2020).
Hal itu jelaslah berbeda dengan kondisi saat ini. Piter menuturkan, ada beberapa alasan mengapa kebijakan mencetak uang tidak akan serta-merta mengakibatkan hiperinflasi pada kondisi saat ini.
Pertama, pencetakan uang tidak akan menyebabkan bertambahnya jumlah uang beredar yang terlalu besar. Pasalnya, posisi jumlah uang beredar saat ini relatif rendah, sedangkan kenaikan jumlah uang yang diakibatkan juga tidak terlalu besarĀ tidak berlangsung terus-menerus.
"Selain itu, pertambahan uang beredar juga tidak serta-merta akan mendorong permintaan," tambahnya.
Kedua, kenaikan permintaan (yang diperkirakan terbatas) masih bisa diakomodasi dengan ketersediaan pasokan. Dari sisi produksi, saat ini Indonesia memiliki sarana dan prasarana produksi yang relatif baik.
"Memang benar, beberapa industri mengurangi aktivitas produksi sebagai respons dari penurunan daya beli masyarakat. Namun, secara agregat sektor manufaktur dan sektor strategis lainnya sebenarnya masih mengalami pertumbuhan. Bahkan, jika relaksasi kebijakan PSBB dilakukan dengan baik, aktivitas industri berpotensi kembali normal secara bertahap," pungkas Piter.
Baca Juga: Apa Itu Hiperinflasi?
Ketiga, situasi politik saat ini jauh lebih kondusif dan tingkat inflasi juga relatif rendah. Tingkat inflasi pada 2020 diproyeksikan akan lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini didasari oleh rendahnya inflasi pada bulan Ramadan tahun ini.
Sebagai perbandingan, inflasi secara year-to-date per Mei 2020 hanya 0,90%, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 1,48%. Rendahnya angka inflasi menandakan pelemahan daya beli masyarakat yang disebabkan oleh penurunan pendapatan masyarakat akibat pandemi.
"Dengan inflasi yang tahun ini diprediksi lebih rendah, pemerintah semestinya dapat lebih leluasa untuk melakukan kebijakan yang lebih akomodatif dari sisi moneter, termasuk di antaranya kebijakan mencetak uang," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: