Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Reshuffle: Istana yang Mulai, Istana yang Mengakhiri

        Reshuffle: Istana yang Mulai, Istana yang Mengakhiri Kredit Foto: Antara/BPMI Setpres/Handout
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sinyalemen reshuffle kabinet perlahan meredup. Satu di antara yang dinilai jadi penyebab Presiden Joko Widodo (Jokowi) urung merombak komposisi menterinya karena menghindari kegaduhan yang bisa membuat upaya pemerintah mengatasi dampak pandemi Covid-19 makin terhambat.

        Reshuffle sejatinya memang hak prerogatif presiden. Namun, langkah merombak kabinet saat ini sangat berpotensi memecah konsentrasi pemerintah karena harus menghadapi dinamika internal. Jika reshuffle dipaksakan, partai politik (parpol) pendukung Jokowi kemungkinan besar akan bereaksi. Mereka akan berupaya keras agar menterinya tidak tereliminasi. Demi menjaga situasi politik tetap kondusif, langkah terbaik bagi Jokowi adalah menunda reshuffle meski wacana ini telanjur menggelinding dan menjadi diskusi publik.

        Baca Juga: Iwan Fals ke Jokowi: Cuma Gertakan Doang...

        Menteri Sekretaris Negara Pratikno pun sudah tampil ke publik menjernihkan duduk persoalan reshuffle. Baginya, isu reshuffle sudah selesai. Pratikno menyebut kinerja menteri makin membaik sehingga isu reshuffle sudah tidak relevan lagi.

        Namun, benarkah pertimbangan tidak menggelar reshuffle karena membaiknya kinerja menteri? Dalam pandangan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno, alasan yang dikemukakan Pratikno terkesan klise. Jika reshuffle batal dilakukan, pertimbangannya justru karena Jokowi sudah mengalkulasi potensi kegaduhannya.

        "Apa mungkin dalam waktu sekejap kinerja menteri langsung oke setelah dimarahi Presiden? Kan tak perlu ahli untuk menilai seperti itu, awam pun bisa mengerti," ujarnya saat dihubungi kemarin.

        Pratikno bisa jadi tidak sembarang berbicara ke publik. Apalagi, kata Adi, pernyataannya itu bisa berdampak kurang baik. Istana bisa dipersepsi tidak punya komunikasi yang baik karena isyarat reshuffle dari seorang Presiden justru dianulir oleh seorang menteri.

        Reshuffle memang menuntut keberanian yang tinggi dari Jokowi. Meski reshuffle hak prerogatif yang tidak bisa diintervensi, kenyataannya tarikan politik selalu sulit dihindari. Meski Jokowi secara gamblang menyebut ada masalah pada kinerja menterinya, hal itu tidak berarti penyelesaiannya mudah dengan reshuffle.

        Sebagai contoh, saat reshuffle kedua pada 27 Juli 2016, Presiden Jokowi mengangkat 12 menteri sekaligus dari 34 anggota Kabinet Kerja. Saat itu kesan bagi-bagi jatah kursi menteri untuk parpol cukup kental karena Jokowi memberikan jatah menteri untuk Golkar dan PAN yang sebelumnya merupakan parpol oposisi.

        Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yudha mengatakan, racikan reshuffle itu selalu mengalami tiga tarikan atau pertimbangan, yakni demokratik, politik, dan publik. Idealnya, dosis atau racikan reshuffle harus lebih mengutamakan pertimbangan teknokratik atau profesional. Caranya, periksa kinerja menterinya. Bagi menteri yang rapornya merah harus diganti. Penggantinya juga harus punya kompetensi yang baik dan berpengalaman. Intinya, kata Hanta, racikannya bukan politik.

        Namun, yang selalu menjadi masalah ketika menteri yang berkinerja buruk itu adalah mereka yang basis parpolnya kuat. Di sinilah Presiden mengalami kendala. "Dalam kondisi seperti ini memang butuh keberanian politik dari Presiden," ujarnya.

        Hanta mengatakan, ketika awalnya Jokowi menyebut ada masalah pada menterinya sehingga mengisyaratkan reshuffle, selanjutnya tidak jadi reshuffle, itu artinya masalah sudah tidak ada. Wajar saja menurut dia kalau Jokowi tidak melakukan reshuffle karena itu haknya.

        "Ini kan seperti lagu, kau yang memulai kau yang mengakhiri. Istana memulai Istana pula yang mengakhiri. Kalau tidak perlu reshuffle, berarti sudah bagus karena kurang tiga minggu masalahnya sudah selesai," ucapnya.

        Jokowi Rawan Digoyang

        Potensi kegaduhan dinilai cukup besar jika reshuffle dilakukan saat ini. Bahkan, dampak tak terduga bisa terjadi misalnya kursi kekuasaan Jokowi mudah digoyang oleh parpol pendukung sendiri. Apalagi, situasi politik dan ekonomi saat ini tidak cukup baik akibat pandemi Covid-19.

        Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) Firman Noor mengatakan, jika ada menteri dari parpol pendukung yang dicopot, itu akan bisa saja menggoyahkan posisi Presiden.

        Baca Juga: PKS: Pak Jokowi, Rampingkan Jadi 20 Kementerian Saja, Insya Allah

        "Itu tidak menguntungkan, tanpa goyangan parpol pendukung pun saat ini sudah tidak nyaman. Apalagi jika digoyang," ujarnya ketika dihubungi kemarin.

        Jika reshuffle memang tidak dilakukan Jokowi, Firman Noor juga yakin alasannya bukan seperti yang disampaikan Mensesneg Pratikno. Dia menilai sejak Presiden marah di depan rapat kabinet paripurna pada 18 Juni lalu tidak ada kinerja dari kementerian yang begitu akseleratif. Jika ukurannya adalah kinerja yang membaik, seharusnya disampaikan berapa persen perbaikannya. Jika pun ada kementerian yang serapan anggarannya membaik setelah Presiden marah, itu tidak serta-merta bisa disebut kinerja menteri membaik.

        "Serapan anggaran tanpa dampak signifikan tidak pas juga. Serapan hanya salah satu indikator. Sebenarnya yang paling clear mengukurnya adalah penanganan Covid-19. Kita tahu saat ini angka pasien positif baru belum melandai," paparnya.

        Momentum Perbaiki Kinerja

        Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, Jokowi sebenarnya tidak secara langsung mengatakan akan melakukan reshuffle kabinet. Dengan begitu, jika ada tidak ada reshuffle, itu bukan batal. Jokowi menurut dia berbicara reshuffle dalam konteks penggunaan dana penanggulangan Covid-19 yang masih minim penyerapannya.

        Dengan marah, Jokowi ingin para pembantunya bisa bekerja lebih maksimal lagi dengan memastikan dana Covid-19 terdistribusi dengan baik dan cepat ke masyarakat. Untuk itu, kemarahan Jokowi harus dimaknai sebagai cambuk untuk segera memperbaiki kinerja.

        "Itu kan tujuannya memacu kinerja menteri. Kalau dimonitor kinerjanya jadi baik, buat apa juga reshuffle," ujarnya kemarin.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: