Hobi Bakar Uang & Beri Diskon, Startup Kopi Ini Terancam Bangkrut
Berdiri sejak tiga tahun lalu, startup rantai minuman kopi Luckin Coffee telah tumbuh dengan cepat. Bahkan, Luckin memiliki jumlah outlet lebih banyak daripada Starbucks di China serta menghimpun miliaran dolar AS dalam investasi.
Namun, kontroversi melanda startup itu belum lama ini. Sejumlah pejabat eksekutifnya melakukan kecurangan dengan memanipulasi laporan keuangan, yang telah mendapat konfirmasi pada April 2020.
"Luckin mengakui, setidaknya 310 juta dolar AS dari penjualan selama tiga kuartal sebelumnya telah digelembungkan," tulis Nikkei, seperti Warta Ekonomi kutip pada Jumat (10/7/2020).
Baca Juga: Dihantam Covid-19, 42,5 Persen Startup Indonesia Lagi Kritis
Baca Juga: Patuhi Amerika, Italia Bakal Boikot Teknologi 5G Huawei Juga?
Menyusul laporan itu, perusahaan memecat Kepala Eksekutif dan Kepala Operasional, Jenny Qian dan Jian Liu. Regulator China pun mulai menyelidiki kasus itu, termasuk menginvestigasi Ketua dan Anggota Dewan Luckin, Lu Zhengyao dan David Li.
Pada 5 Juli, pencabutan status 'dewan Luckin' terjadi kepada Lu dan Li. "Direktur Independen Sean Shao, yang memimpin penyelidikan internal perusahaan; serta Pendiri Investor Luckin Joy Capital, Liu Erhai, juga mengalami hal serupa," lapor Nikkei. Maka dari itu, kelangsungan bisnis Luckin saat ini jadi taruhan. Penghapusan saham perusahaan yang telah terdaftar di bursa pun terjadi.
Pertumbuhan Luckin Coffee mengesanak, tetapi sejumlah aspek dalam model bisnisnya menimbulkan pertanyaan besar. Penjualannya mendapat subsidi, yang berarti unit ekonomi tak bisa bertahan. Jika perusahaan mau mendapat untung, maka harga kopi perlu naik dengan signifikan.
Salah satu rekan perbankan investasi yang bekerja untuk salah satu manajer utama di IPO Luckin mengatakan, "uji tuntas mereka melahirkan sejumlah 'bendera merah' lain. Misalnya, ada perbedaan antara jumlah penjualan kopi yang perusahaan jual dan jumlah cangkir kopi yang keluar dari persediaan."
Melihat masalah itu, lantas mengapa Luckin terburu-buru melantai di bursa? Mengapa mereka tak menunggu beberapa bulan lagi dan go public dengan angka penjualan yang lebih baik, serta persetujuan peraturan yang tepat?
"Tiap perusahaan pembakar uang perlu memanfaatkan pasar dengan cepat, sebelum menutup," begitu jawab investor yang dekat dengan Warburg Pincus.
Baca Juga: Bantu Bisnis Adaptasi di Tengah Pandemi, Begini Taktik VMWare
Baca Juga: Dihantui Corona, Dear UMKM, Ini Cara Agar Bisnis Tetap Bertahan
Pendiri Hedge Fund Central Asset Investments di Hong Kong, Eddie Tam menyebut, banyak startup memanfaatkan uang investor untuk bertahan hidup. Namun, mereka tak memperbaiki model bisnis yang membuatnya berdarah-darah.
Ia menambahkan, "tiap peningkatan keuangan lahir dari bakar uang milik investor. Uang baru menggantikan uang lama. Mereka tak pernah memperbaiki tindakan mereka dari waktu ke waktu. Model bisnis mereka riskan, bukan model bisnis terdepan."
Deretan skandal itu telah menimbulkan pertanyaan bagi para investor; tentang obsesi dengan model pertumbuhan atas laba yang masih menjadi penggerak industri modal ventura; tentang mudahnya mengklaim kredensial teknologi tinggi pada model bisnis berteknologi rendah; serta tentang keandalan tata kelola perusahaan China.
Itu semua berpotensi melahirkan masalah serius bagi perusahaan China, ketka mencoba melantai di bursa internasional.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tanayastri Dini Isna
Editor: Tanayastri Dini Isna
Tag Terkait: