Sebagai negara dengan potensi sumber daya alam yang luar biasa, Indonesia masih saja memiliki dependensi yang tinggi terhadap bahan bakar fosil. Padahal, bahan bakar fosil merupakan salah satu sumber penyumbang pencemaran udara dan emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar secara global.
Untuk meminimalisasi kondisi tersebut, Pemerintah Indonesia terus berupaya mengembangkan bahan bakar ramah lingkungan berbasis kelapa sawit, yang merupakan komoditas paling strategis dan multifungsi dibandingkan komoditas minyak nabati lainnya.
Tidak hanya cukup dengan implementasi bahan bakar dari campuran solar dan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebanyak 30 persen (B30) di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian ESDM juga terus mendorong pengembangan bahan bakar nabati (green fuel) berbasis sawit tersebut.
Baca Juga: D100, Harga TBS Berpotensi Menguat, Petani Makin Sehat
Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna mengatakan bahwa saat ini pemerintah sedang melakukan uji coba B40 dan pengembangan green fuel yang nantinya diharapkan dapat menghasilkan Green Diesel (D100), Green Gasoline (G100), dan Green Jet Avtur (J100) yang berbasis minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).
"Pemerintah tengah menggandeng PT Pertamina untuk melakukan pengembangan green fuel di kilang-kilang Pertamina yang berada di sentra produksi sawit, baik secara co-processing di kilang-kilang eksisting, maupun ke depannya dengan pembangunan kilang baru (stand alone) yang didedikasikan untuk green fuel. Produk green fuel ini mempunyai karakterisitik yang mirip dengan bahan bakar berbasis fosil, bahkan untuk beberapa parameter kualitasnya jauh lebih baik dari bahan bakar berbasis fosil fuel," terang Feby.
Perlu dicatat bahwa co-processing merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memproduksi green fuel melalui proses pengolahan bahan baku minyak nabati dengan minyak bumi secara bersamaan.
Lebih lanjut, Feby mengungkapkan, "Saat ini Pertamina telah berhasil menginjeksikan Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) pada unit Distillate Hydrotreating Refinery Unit (DHDT) di beberapa kilang eksisting dengan menggunakan katalis Merah-Putih hasil karya anak bangsa, Tim ITB."
Pada Refinery Unit II, Dumai, Pertamina juga telah melakukan uji coba secara bertahap yang dimulai dari campuran 7,5 persen, 12,5 persen hingga 100 persen.
"Kita patut memberikan apresiasi atas keberhasilan Pertamina memproduksi green diesel dengan bahan baku 100 persen CPO. Harapannya, uji coba ini bisa dilanjutkan di RU-RU lainnya dan diimplementasikan secara kontinyu sehingga kita benar-benar bisa mandiri dalam menghasilkan bahan bakar minyak yang ramah lingkungan dengan bahan baku dari dalam negeri," jelas Feby.
Green diesel atau Diesel Biohydrokarbon (D100) memiliki keunggulan dibandingkan diesel berbasis fosil maupun biodiesel berbasis FAME. Keunggulan tersebut dapat terlihat dari cetane number dari green diesel yang relatif lebih tinggi, sulfur content yang lebih rendah, oxidation stability yang juga lebih baik serta warnanya yang lebih jernih.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: