Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Proses Pemulihan Ekonomi Berjalan Santuy, Salah Siapa?

        Proses Pemulihan Ekonomi Berjalan Santuy, Salah Siapa? Kredit Foto: Antara/Reno Esnir
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pada kuartal II, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hingga -5%, menjelang berakhirnya kuartal III beberapa indikator sebenarnya menunjukkan perbaikan.

        Sektor transportasi yang turun paling tajam pada kuartal kedua mulai meningkat meski tentu saja masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu.

        Meski sangat awal, data BPS pada Juni 2020, menunjukkan terjadinya peningkatan penumpang kereta api dan penerbagangan domesti masing-masing 69% dan 543% secara month to month (mtm).

        Indikasi ini sejalan dengan konsumsi barang tahan lama termasuk motor, yang mulai rebound. Kemudian pada Juli, penjualan motor naik 74% dibandingkan bulan sebelumnya.

        Baca Juga: Resesi di Depan Mata, Orang Selevel Sri Mulyani Pasrah!?

        Baca Juga: Sri Mulyani Sesumbar RI Lebih Baik dari Thailand & Malaysia

        "Namun demikian dengan masih tingginya jumlah kasus Covid-19 di Indonesia kami prediksi proses pemulihan ekonomi akan berjalan lambat. Pada kuartal III nanti pertumbuhan ekonomi Indonesia kami proyeksikan masih akan berada pada level negatif sehingga secara teknikal Indonesia akan masuk kategori negara yang terkena resesi," ujar Founder dan Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini di Jakarta, Rabu (2/9/2020).

        Melihat masih lambatnya proses pemulihan ekonomi, pemerintah dan DPR merespons dengan mewacanakan untuk mengeluarkan Perppu Reformasi Keuangan. Salah satu tujuan utama Perppu ini agar Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lebih responsif mendukung proses pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah.

        "Namun, argumen ini juga tidak tepat, proses pemulihan ekonomi yang lambat bukanlah sepenuhnya kesalahan otoritas keuangan. Sebaliknya, sepanjang pandemi Covid-19 otoritas keuangan telah menjalankan perannya dalam membantu proses pemulihan ekonomi akibat Covid-19," jelas Hendri.

        BI misalnya, untuk mendukung stabilitas suku bunga, BI telah menurunkan Policy Rate BI Seven Day Repo Rate (BI7DRR) sebesar 0,75% menjadi 4%. Kemudian GWM menjadi 2% untuk bank konvensional dan 0,5% untuk bank syariah. Dalam rangka menjadikan likuiditas penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) naik menjadi 6% bagi bank konvensional dan 4,5% bagi bank syariah.

        "BI juga telah membuka pintu untuk berbagi beban (burden sharing) dengan pemerintah dalam menanggung ongkos pembiayaan pemulihan ekonomi," tambahnya.

        Kemudian, OJK juga menjalankan perannya dalam mengawasi sistem keuangan di tengah pandemi. Pada kasus penyelamatan Bank Bukopin misalnya. Ketika Bank Bukopin mengalami masalah kesulitan likuiditas, OJK memberikan kesempatan yang sama bagi dua pemegang saham utama terbesar, yaitu Bosowa dan Kookmin Bank dalam menyuntikan setoran modal baru.

        Pada akhirnya, suntikan modal baru dari Kookmin menunjukkan permasalahan Bank Bukopin bisa terselesaikan dan menambah prospek positif Bank Bukopin.

        "Lebih jauh, apa yang dilakukan OJK sebagai upaya preventif terjadinya risiko yang lebih besar dalam sistem perbankan nasional," tukasnya.

        Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah dan pihak terkait? Dengan belum jelasnya latar belakang pembentukan Perppu reformasi sistem keuangan, pemerintah, DPR, dan pihak terkait perlu menahan diri untuk tidak terburu-buru meloloskan Perppu ini.

        "Di sisi lain, alih-alih menyalahkan otoritas tertentu, evaluasi komprehensif perlu dilakukan pemerintah dalam mendorong proses pemulihan ekonomi nasional," tukasnya.

        Hendri mengingatkan, selain sektor keuangan, tanggung jawab pemulihan ekonomi juga berada pada pundak pemerintah dalam bentuk anggaran belanja pemerintah dan juga anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

        Terakhir yang tidak kalah penting, pemerintah harus tetap fokus untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19. Sebab, perkembangan kasus baru akan memengaruhi kepercayaan konsumen, khususnya kelas menengah atas yang menjadi penyumbang terbesar konsumsi rumah tangga. Peningkatan dan penyebaran kasus baru juga akan menghentikan tren optimisme pelaku usaha yang mulai muncul.

        "Langkah lain, program bansos yang cukup besar perlu dipercepat realisasinya untuk menjaga kebutuhan kelompok bawah," tutup Hendri.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Fajar Sulaiman
        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: