Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Perjuangan untuk Sawit di Mata Uni Eropa

        Perjuangan untuk Sawit di Mata Uni Eropa Kredit Foto: Antara/Syifa Yulinnas
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sejak resmi diberlakukan pada 2019 lalu, kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) oleh Parlemen Uni Eropa dianggap sebagai langkah politisasi dan diskriminasi terhadap kelapa sawit Indonesia.

        Pasalnya, kelapa sawit dinyatakan sebagai tanaman berisiko tinggi terhadap Indirect Land Use Change (ILUC) dan driver utama deforestasi di Indonesia oleh Uni Eropa dalam kebijakan RED II tersebut.

        Berlakunya kebijakan ini menyebabkan ekspor biofuel berbahan sawit dari Indonesia ke negara-negara Uni Eropa menjadi terhambat. Demi mengembalikan citra positif minyak sawit di mata dunia, khususnya di Uni Eropa, pemerintah Indonesia telah melayangkan kebijakan gugatan kepada WTO sejak Desember 2019 lalu.

        Baca Juga: Minyak Sawit: Saksi Sejarah Ekspor Perdana di Teminal Kijing

        Baca Juga: Harga CPO Makin Merona di W1-September 2020!

        Mendukung hal tersebut, Duta Besar/Wakil Tetap RI untuk PBB, WTO, dan organisasi internasional lainnya di Jenewa, Hasan Kleib menyatakan optimis akan memenangkan gugatan terhadap Uni Eropa tersebut.

        Dia menjelaskan, salah satu negara Eropa yang menghambat perjalanan kelapa sawit yakni Prancis. Secara unilateral, negara ini menerapkan kebijakan penurunan tarif pajak untuk produksi biofuel atau french fuel tax bagi komoditas bersifat sustainable berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam RED II.

        "Dalam kebijakan tersebut akhirnya biofuel berbasis sawit dikecualikan dari skema penurunan tarif pajak. Walaupun nantinya penggunaan kelapa sawit tersebut berstatus sustainable," ujar Hasan.

        Tidak hanya itu, Indonesia juga menggugat Uni Eropa atas kebijakannya yang mendiskreditkan kelapa sawit yang dikenal dengan commission delegated regulation (DR) dan french fuel tax. Lebih lanjut Hasan memaparkan, sebenarnya, Indonesia telah mengirimkan surat permohonan konsultasi kepada Uni Eropa dalam rangka penyelesaikan sengketa di WTO yang berkaitan dengan kebijakan RED II, delegation regulation dan french fuel tax.

        Pada 18 Februari 2020 lalu, sejumlah negara produsen sawit di antaranya Guatemala, Kostarika, Malaysia, Thailand, dan Kolombia bersama Indonesia turut dalam sesi joint consultation yang diajukan ke Uni Eropa. Namun, perwakilan dari negara-negara tersebut tidak mendapatkan izin untuk bertanya kecuali Indonesia, mereka hanya diberikan kesempatan untuk opening remarks.

        Lebih lanjut Hasan menjelaskan, "kepada Uni Eropa, Indonesia mengajukan 108 pertanyaan mengenai perspektif Uni Eropa terkait climate change, tujuan dan target RED II, serta kriteria penghematan emisi gas rumah kaca dan kriteria sustainability. Tapi, Uni Eropa tetap kekeh dengan kebijakannya dengan argumen tidak mendiskriminasi produk sawit."

        Namun, perundingan antara Uni Eropa dan Indonesia tersebut tidak membuahkan hasil dan masih menyisakan perbedaan pendapat. Oleh karena itu, di akhir konsultasi, atas nama pemerintah, Indonesia mengajukan pembentukan panel ke dispute settlement di WTO.

        Berkaca pada kondisi yang ada, Hasan menilai Indonesia perlu memperkuat diri dalam diplomasi kelapa sawit melalui sharing informasi-informasi positif terkait dampak kelapa sawit di aspek sosial, ekonomi, maupun lingkungan.

        Selain itu, penguatan data juga perlu terus dikembangkan agar menjadi landasan kuat diplomasi dalam melawan diskriminasi terhadap kelapa sawit oleh Uni Eropa tersebut.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ellisa Agri Elfadina
        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: