Kisah Perusahaan Raksasa: Total, Konglomerat Migas Prancis
Pandemi virus corona atau Covid-19 telah mengguncang ekonomi industri sektor minyak dan gas (migas) dunia. Pemutusan hubungan kerja (PHK) menimpa sejumlah pekerja dalam industri tersebut. Sebanyak 100.000 pekerja migas kemungkinan akan kehilangan pekerjaan pada akhir tahun 2021.
Dalam kondisi ini, masih tak terhitung berapa banyak perusahaan yang terjebak dalam jeratan ekonomi akibat pandemi ini. Namun menurut data yang dihimpun firma hukum Haynes and Boone LLP, lebih dari 200 perusahaan migas, dengan total utang sekitar 120 miliar dolar AS, mengalami kolaps antara periode 2015 dan 2019. Dengan demikian, pandemi Covid-19 akan sangat memperburuk kondisi industri tersebut.
Baca Juga: Kisah Perusahaan Raksasa: ICBC, Bank Paling Berharga di Dunia
Konsekuensinya, penurunan harga minyak yang terus-menerus mungkin akan mengubah pandangan baru industri migas. Mereka akan mungkin berinvestasi lebih banyak pada sektor energi terbarukan.
Bahkan sebelum penurunan harga, sejumlah raksasa migas, BP, Shell, dan Total, berjanji untuk memperluas lingkup pengembangan energi mereka. Salah satunya sebagai tanggapan terhadap perubahan iklim, tekanan pemerintah, dan desakan pemegang saham, dilansir dari Greenwire.
Sementara itu, Total tetap fokus pada operasi migas miliknya. Namun di saat yg bersamaan, mereka melanjutkan rencana menginvestasikan 1,5 miliar hingga 2 miliar dolar AS dalam pengembangan energi terbarukan. Alasan terkuatnya, Total merasa bertanggung jawab melindungi generasi masa depan.
Di sisi lain, raksasa migas asal Prancis itu menghadapi penurunan pendapatan dan laba pada 2019. Pendapatan per tahun Total minus 4,3 persen dengan hanya mendapat 176,2 juta dolar AS. Sementara laba bersih yang berhasil dibukukan sebesar 11,2 juta dolar AS, turun 1,6 persen dari tahun sebelumnya. Kondisi tersebut mendorong Total turun lima peringkat ke posisi 25 dalam Global 500 versi Fortune di tahun 2020.
Sama seperti rekan-rekannya di sektor migas, Total mendapat pukulan ganda dari virus corona dan perang harga Arab Saudi-Rusia. Akibatnya, perusahaan harus memangkas belanja modal pada 2020 ini.
Sebagai salah satu raksasa migas terbesar di dunia, Total memiliki perjalanan panjang sebelum menjadi sebuah perusahaan 20-an besar dunia. Hari ini, (10/9/2020), Warta Ekonomi berkesempatan untuk menyusun uraian kisah perusahaan raksasa Prancis tersebut. Dikutip dan diolah dari berbagai sumber, kami sajikan tulisan itu menjadi artikel sebagai berikut.
Perjalanan raksasa migas Prancis dimulai pada tahun 1924. Di tahun itu, Presiden Prancis Raymond Nicolas Landry Poincare mendirikan Compagnie Francaise des Petroles (CFP). Dijelaskan, tugas dan fungsi CFP adalah mengontrol eksploitasi minyak di Mesopotamia, di koloni dan di protektorat milik Prancis. Perusahaan ini berada tepat di bawah pengawasan pemerintah karena keuntungan akan langsung masuk ke kas negara.
Atas izin dan dukungan pemerintah, CFP memperluas peluang bisnisnya. Meski begitu, perusahaan tetap pada identitasnya yakni firma swasta. Mereka mengumpulkan pemegang saham dari berbagai negara dengan tujuan melakukan investasi besar dalam bisnis minyak dan gas, yang saat itu memiliki risiko tinggi.
Prancis lebih menyukai minyak mentah. Itu sebabnya mereka sama sekali tidak memiliki ladang minyak sendiri. Atas alasan itu, di bawah komando pemerintah Prancis menerima pembagian ladang minyak mentah di Baba Gurghur, di wilayah Mosal, dari Turkish Petroleum Company (TPC) yang ditemukannya pada Oktober 1927.
Presiden Poincare dan pemimpin CFP Ernest Mercier menyatakan Prancis ingin mengakuisisi 25 persen saham perusahaan CFP dan 10 persen di saham anak perusahaannya, Compagnie Francaise de Raffinage (CFR). CFR, anak perusahaan yang khusus mengurusi kilang minyak, dibuka pada 1929. Semua terjadi dengan cepat. Pada Maret 1929, pemerintah dan CFP menyepakati perjanjiaan tersebut.
Pada 1931, parlemen Prancis mengajukan peningkatan kepemilikan saham dari 25 persen menjadi 35 persen. Negara juga berhak mendapatkan 40 persen kesempatan bersuara di dewan CFP. Prancis diberi wewenang mengajukan dua calon komisaris untuk petinggi perusahaan, dengan maksud melindungi kepentingan negara.
Sang pimpinan saat itu, Mercier, mengakui kesepakatan tersebut adalah hasil memuaskan. Dia mengaku telah memenangkan dukungan politik untuk proyek besarnya. CFR tercatat sukses memasok hampir 20 persen permintaan minyak sulingan Prancis dari dua pabrik yang ada di Normandia dan La Mede. Capaian tersebut berhasil dibukukan pada 1936.
Dengan pecahnya Perang Dunia II, CFR menjadi perusahaan minyak terintegrasi. Itu ditandai dengan perusahaan mulai mengekstraksi, mengangkut, dan memurnikan minyak itu sendiri.
Namun kondisi tersebut menciptakan dua kekurangan. Pertama, kapasitas distribusi berkurang. Kedua, perusahaan menjadi terlalu bergantung pada minyak yang dipasok dari Timur Tengah.
Sang pimpinan, Ernest Mercier, mengundurkan diri pada 1940 karena tidak disukai oleh Vichy. Mercier langsung digantikan oleh pimpinan baru, Jules Meny di tahun yang sama. Namun, suksesi cepat para pimpinan CFP selama PD II mencerminkan ketidakstabilan pada masa itu. Tapi setidaknya Vichy mengizinkan Mercier melepaskan jabatannya dengan damai.
Nasib buruk menimpa Meny pada 1943. Tentara Nazi menculik Meny dan mengasingkannya ke Dachau. Suksesor kuat Meny, Marcel Champin, wafat pada 1945, tiga tahun setelah pendahulunya diculik. Lantas deputi perusahaan, Victor de Metz harus duduk di pucuk pimpinan perusahaan --diketahui berlangsung selama 25 tahun.
Pada akhir 1940-an dan awal 1950-an CFP berkembang pesat baik di dalam maupun luar negeri. Pasokan minyak tahunan perusahaan dari Timur Tengah meningkat dari 806.000 ton pada 1945 menjadi 1,61 juta ton pada 1950. Lalu pasokan minyak meningkat lagi menjadi 8,82 juta ton tiga tahun kemudian. Hal ini terjadi akibat runtuhnya perjanjian Red Line di bawah tekanan AS. Di tahun yang sama pula, produksi tahunan perusahaan mencapai 3,5 juta ton per tahun.
Beda cerita dengan pasokan minyak dari Venezuela. Total menandatangani kontrak dengan perusahaan minyak asal negara Amerika Latin itu, Pantepec, pada 1947 yang nyatanya tidak berhasil. Dari sana, Total hanya menerima pengiriman minyak mentah sebanyak 600.000 ton per tahun. Hal terburuk, perjanjian dengan Pantepec tentang pengembangan ladang baru pun gagal karena pertikaian sengit pada 1950.
Usaha nyata Prancis mengembangkan kekayaan minyak di Aljazair bernasib lebih baik. Pada 1946, Bureau de Recherches des Petroles bersama pemerintah kolonial Prancis di Aljazair mendirikan perusahaan eksplorasi minyak, Societe Nationale de Recherche de Petrole en Algerie. Sebuah ladang minyak besar sukses ditemukan di Hassi-Messaiud pada 1956.
CFR memperkenalkan nama merek barunya, Total pada 1954. Distributor minyak itu sejak saat itu berhak menghiasi perusahaannya dengan logo Total. Itu dimaksudkan memberi mereka identitas pasar yang lebih kuat.
Pengiriman minyak pertama dengan nama Total sukses dilakukan di Afrika pada 1957. Lalu pada 1961, kilang minyak perusahaan itu sukses mengolah 12 juta ton minyak. Tujuh juta ton produksinya kemudian didistribusikan dengan merek Total.
Takut kehilangan pengaruhnya, CFP kemudian mengambil alih Omnium Francaise de Petroles, sebuah distributor minyak di Afrika Utara, pada 1960. Enam tahun kemudian, CFP mengakuisisi 10 persen saham Desmarais Freres, distributor independen terbesar di Prancis.
Setelah de Metz pensiun pada 1971, CFP sukses menjadi salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia. Itu ditandai dengan meningkatnya produksi minyak perusahaan sebesar 30 persen selama dekade 1960-an.
Dasawarsa 1970-an terbukti lebih sulit. Pimpinan baru perusahaan, Granier de Liliac, rupanya sudah memimpin grup selama lima tahun. Di dekade ini, aktivitas pemurnian CFP semakin sulit. Aktivitas penyulingan masih terkonsentrasi di Prancis, meski pada 1975, penjualan luar negeri melampaui penjualan di Prancis sendiri. Kenaikan harga minyak pada 1971 oleh OPEC juga menyebabkan penurunan tajam permintaan minyak dunia.
Pada 1975, kilang minyak CFR hanya bekerja 67 persen. Pada saat yang sama, biaya eksplorasi, khususnya di Laut Utara meningkat tajam.
CFP mulai mengembangkan sumber energi lainnya, yaitu pengembangan uranium. Ini adalah usaha inti lain milik Total yang menambang uranium di Prancis dan AS. Pada 1989, perusahaan mampu menambang 711 ton uranium, dan berhasil menjual 5,2 batu bara pada tahun yang sama.
Pada 1985, CFP memiliki nama lengkap baru, yakni Total CFP. Pada saat yang sama, CFR anak perusahaan distribusinya, bergabung menjadi CRD Total.
Rene Granier de Liliac mundur dari pucuk pimpinan pada awal 1990. Lalu ia digantikan oleh Serge Tchuruk, seorang insinyur yang pernah menjabat sebagai manajer perencanaan Mobil Oil pada 1970-an. Salah satu tugas pertama Tchuruk adalah mengakuisisi bisnis kimia Prancis, Orkem. Perusahaan itu memproduksi tinta, lem perekat, cat, dan resin.
Di bawah komando Tchuruk, Total bergerak cepat pada 1990-an. Ia mengubah perusahaan menjadi grup yang lebih ramping, modern, dan agresif. Dua ratus anak perusahaan dihapuskan sehingga ia menghemat biaya ratusan juta franc. Ia menggantinya dengan enam pusat waralaba. Tapi sepertujuh dari layanan milik Total ditutup dan sekitar 6.500 pekerjaan hilang pada 1991. Pada saat yang sama, Tchuruk secara agresif memperluas operasi pemasaran perusahaan ke pasar baru yang lebih menguntungkan, yakni di Spanyol, Portugal, Cekoslowakia, Hungaria, dan Turki.
Dari sisi produksi, Tchuruk berusaha mengurangi ketergantungan Total pada Timur Tengah yang tak stabil. Sebagai gantinya, ia menargetkan 50 persen produksi minyak di luar Timur Tengah pada 1995. Lalu sejak 1991, British Petroleum and Triton Energy dan Total --sebuah usaha patungan-- menemukan ladang minyak baru di Cuisiana Colombia. Sedangkan Total menemukan ladang gas di Peciko Indonesia. Pada 1995 secara signifikan, Total mengalami peningkatan bisnis gas. Dengan demikian Total menjadi produsen gas terbesar ketiga di dunia, di belakang Royal Ducth Shell dan Mobil.
Perusahaan kembali mengganti namanya menjadi Total SA pada Juni 1991. Tak lama setelah itu, saham Total mulai diperdagangkan di Bursa Efek New York untuk pertama kalinya. Setahun kemudian, Tchuruk sukses meyakinkan pemerintah Prancis mengurangi saham di perusahaan itu menjadi 5,4 persen saja. Perkembangan ini meningkatkan kemandirian Total sehingga bisa bertindak menjadi lebih cepat dan agresif.
Pada 1993, Total mengoperasikan 2.600 ritel di bawah merek Vickers, Apco, Road Runner dan Total itu sendiri. Tahun itu pula, perusahaan mulai merombak dan mengubah merek semua bahan minyaknya dengan menggunakan nama Total.
Sayang, pada 1995, Tchuruk meninggalkan Total dan merapat ke Alcatel Alsthom. Tchuruk digantikan Thierry Desmarest dengan kesepakatan kontrak 610 juta dolar AS. Uang itu kemudian dipakai untuk mengembangkan dua ladang minyak di lepas pantai Iran.
Total memiliki biaya operasi dan eksplorasi lebih rendah sehingga mengalami peningkatan keuntungan terus-menerus. Laba bersih perusahaan naik dari 2,85 franc Prancis (600 juta dolar AS) pada 1992, menjadi 7,61 miliar franc Prancis setara (1,26 miliar dolar AS pada 1997).
Prancis kembali kehilangan empat persen saham di Total sehingga kini negara hanya memiliki 0,97 persen saham. Setahun kemudian, perusahaan memperkuat kegiatan di hulu dengan membentuk konsorsium yang 40 persennya dimiliki oleh Total. Dari situ perusahaan bisa dengan bebas mengekstraksi dan mengembangkan lahan sehingga mampu mencatatkan produksi 175.000 barel per hari di Venezuela.
Asia menghadapi krisis keuangan besar pada 1997. Meski begitu, di tahun itu kondisi keuangan Total dianggap sangat sehat karena berhasil mencatatkan penjualan 191 franc Prancis (31,75 miliar dolar AS) atau lebih baik 7,9 persen dari tahun sebelumnya. Untuk laba perusahaan juga meningkat 35 persen menjadi 7,61 franc (1,26 miliar dolar AS).
Pendekatan Total yang agresif pada 1990-an telah mengubah perusahaan tersebut menjadi salah satu yang paling menguntungkan di industri dan juga salah satu yang paling berani dalam hal pembuatan kesepakatan yang kontroversial.
Setelah Total mengambil alih Petrofina dari Belgia pada 1999, perusahaan kemudian dikenal sebagai Total Fina. Setelah itu, perusahaan mengakuisisi Elf Aquitaine. Dari itu penyatuan dilakukan pada 2000 dan menghasilkan nama baru, TotalFinaElf. Nama panjang itu malah memiliki umur pendek. Pada 2003, perusahaan kembali menggantinya dengan nama Total.
Pada 2003, Total menandatangani 30 persen saham dalam usaha eksplorasi gas di Kerajaan Arab Saudi --usaha patungan South Rub 'al-Khali bersama dengan Royal Dutch Shell dan Saudi Aramco. Saham tersebut kemudian dibeli oleh mitranya.
Pada Mei 2006, Saudi Aramco dan Total menandatangani MOU untuk mengembangkan proyek Kilang dan Petrokimia Jubail di Arab Saudi yang menargetkan 400.000 barel per hari. Pada 21 September 2008, kedua perusahaan secara resmi mendirikan perusahaan patungan bernama Saudi Aramco Total Perusahaan Penyulingan dan Petrokimia (SATORP) --62,5 persen saham dipegang oleh Saudi Aramco dan sisanya 37,5 persen dipegang oleh Total.
Selama tender kontrak jasa minyak Irak 2009-2010, sebuah konsorsium yang dipimpin oleh CNPC (37,5 persen), yang juga termasuk Total (18,75 persen) dan Petronas (18,75 persen) mendapatkan kontrak produksi untuk ladang Halfaya di selatan Irak, yang mengandung sekitar 4,1 miliar barel (650.000.000 m3) minyak.
Pada 2010, Total memiliki lebih dari 96.000 karyawan dan beroperasi di lebih dari 130 negara. Pada September 2010, Total mengumumkan rencana untuk menarik diri dari pasar halaman depan di Inggris Raya.
Pada November 2012, Total mengumumkan akan menjual 20 persen sahamnya dan mandat operasi dalam proyek lepas pantai Nigeria ke unit China Petrochemical Corp senilai 2,5 miliar dolar AS.
Pada 2013, Total memulai operasi di Kashagan dengan Perusahaan Operasi Kaspia Utara. Ini merupakan penemuan cadangan minyak terbesar sejak 1968. Pada 2013, Total meningkatkan kepemilikannya di Novatek menjadi 16,96 persen. Pada September 2013, Total dan mitra usaha patungannya setuju untuk membeli bisnis distribusi ritel Chevron Corporation di Pakistan dengan jumlah yang tidak diungkapkan.
Pada Januari 2014, Total menjadi perusahaan minyak dan gas besar pertama yang memperoleh hak eksplorasi untuk shale gas di Inggris setelah membeli 40 persen saham di dua lisensi di daerah Gainsborough Trough di Inggris utara seharga 48 juta dolar AS. Pada Juli 2014, perusahaan tersebut mengungkapkan sedang dalam pembicaraan eksklusif untuk menjual bisnis distribusi LPG di Prancis kepada UGI Corporation yang berbasis di Pennsylvania seharga 450 juta pounds (615 juta dolar AS).
Pada 20 Oktober 2014, sebuah jet bisnis Dassault Falcon 50 yang menuju ke Paris terbakar dan meledak saat lepas landas setelah bertabrakan dengan kendaraan penghilang salju di Bandara Internasional Vnukovo, dan menewaskan empat orang, termasuk tiga anggota awak dan CEO Total SA Christophe de Margerie di pesawat. Kehadiran alkohol dikonfirmasi dalam darah pengemudi kendaraan di darat. Patrick Pouyanne, yang saat itu menjabat sebagai Total's Refining Chief, diangkat sebagai CEO, dan juga sebagai chairman Total pada 16 Desember 2015.
Pada Juli 2017, Total menandatangani kesepakatan dengan jumlah 4,8 miliar dolar AS dengan Iran untuk pengembangan dan produksi South Pars, ladang gas terbesar di dunia. Kesepakatan itu adalah investasi asing pertama di Iran sejak pada Juli 2015, sanksi atas persenjataan nuklir Iran dicabut oleh JCPOA.
Pada Agustus 2017, Total mengumumkan akuisisi Maersk Oil sebesar 7,45 miliar dolar AS dalam transaksi saham dan utang. Kesepakatan ini akan menempatkan Total sebagai operator kedua di Laut Utara.
Pada September 2017, Total menandatangani perjanjian dengan EREN energi terbarukan untuk mengakuisisi 23 persen saham di EREN RE senilai 237,5 juta pounds.
Pada November 2017, Total mengumumkan peluncuran Total Spring di pasar perumahan Prancis, penawaran gas alam dan tenaga hijau yang 10 persen lebih murah daripada tarif yang diatur. Dengan demikian, Total mengejar strategi integrasi hilir dalam rantai nilai gas dan tenaga listrik di Eropa.
Pada Agustus 2018, Total secara resmi menarik diri dari ladang gas Iranian South Pars karena tekanan sanksi dari AS. Pada Agustus 2019, Total mengumumkan penjualan 30% saham di jaringan pipa Trapil kepada operator penyimpanan minyak mentah Pisto SAS seharga 260 juta pounds.
Pada Agustus 2019, Total menandatangani kesepakatan untuk mentransfer 30 persen dan 28,33 persen dari asetnya masing-masing di Blok 2913B Namibia dan Blok 2912 ke Qatar Petroleum. Perusahaan juga akan mentransfer 40 persen dari 25 persen kepemilikannya yang ada di blok Orinduik dan Kanuku di Guyana dan 25 persen kepemilikan di Blok L11A, L11B dan L12 di Kenya ke Qatar Petroleum.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Muhammad Syahrianto
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: