Terkait Pilkada di era corona, Ketua MPR, yakni Bambang Soesatyo (Bamsoet) berani beda dengan Presiden Jokowi. Dia menyarankan, pemerintah menunda Pilkada serentak yang akan digelar Desember mendatang jika kasus corona terus meningkat.
Padahal, Jokowi sudah menegaskan tak ada penundaan Pilkada. Bamsoet mengingatkan, saat ini kesehatan masyarakat harus menjadi prioritas bersama.
“Kemendagri dan KPU jangan memaksakan Pilkada dilaksanakan tahun ini apabila situasi cukup riskan,” ujarnya, kemarin.
Baca Juga: PDIP Nilai Terobosan Gubernur DKI Nol Besar, Anies Balas: Kami Tuh Levelnya Bukan...
Bamsoet menyebut, 45 kabupaten/ kota yang melaksanakan Pilkada, masuk dalam zona merah. Politisi Golkar ini meminta pemerintah dan Tim Satuan Tugas Covid-19 terus memantau kondisi 45 daerah tersebut. Hal ini, demi menghindari terbentuknya klaster corona di Pilkada.
Selain itu, dia menilai, perlu ada evaluasi terhadap perkembangan tahapan Pilkada yang sudah dilaksanakan. Soalnya, banyak pelanggaran terhadap protokol kesehatan pada masa proses tahapan Pilkada.
Baca Juga: Hadapi Provokator, PDIP: Jangan Grasa-Grusu, Kalem...
Menanggapi usulan itu, Ketua KPU, Arief Budiman mengatakan, komisinya tidak bisa memutuskan penundaan Pilkada. Perlu adanya pembahasan dengan pemerintah dan DPR.
“Kan bukan hanya KPU yang nanti akan terlibat dalam proses penentuan penundaan,” ujar Arief usai menggelar simulasi pemungutan suara di Cilenggang, Serpong, Tangsel, kemarin.
Sementara pemerintah lewat Menko Polhukam, Mahfud MD, memastikan bahwa Pilkada serentak bakal tetap digelar Desember mendatang. Menurut dia, tidak ada alasan yang cukup untuk menunda pesta demokrasi lima tahunan itu.
“Kalau alasannya pandemi, lalu apakah tidak ada pemerintahan kalau pandemi? Apakah semuanya sembunyi?” tanya Mahfud.
Menurut eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, meski dalam pandemi Corona, pemerintahan harus terus berjalan. Jika pemerintahan tidak segera diganti menurut agenda konstitusional, maka akan terjadi masalah.
“Nunggu habis pandemi? Enggak ada yang tahu kapan selesai,” imbuhnya.
Yang penting, kata Mahfud, Pilkada digelar dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Dan tentu, mengusahakan demokrasi berkualitas, tanpa korupsi. Terpisah, anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, juga tak sepakat dengan penundaan Pilkada.
“Penundaan agenda nasional ini akan menimbulkan beragam permasalahan baru,” ujar Fritz.
Permasalahan yang muncul antara lain dalam aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah, pengelolaan anggaran, dan sebagainya. Sebelumnya, Presiden Jokowi sudah menegaskan, pilkada serentak tetap harus dilaksanakan meskipun saat ini Indonesia masih dirundung pandemi Corona.
“Penyelenggaraan pilkada harus tetap dilakukan,” tegas Presiden saat membuka rapat terbatas, Selasa (8/9).
Menurutnya, Pilkada tidak bisa menunggu sampai pandemi berakhir. Sebab, tidak ada yang tahu kapan pandemi Corona akan berakhir.
“Negara manapun tidak tahu kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir,” selorohnya.
Apakah ini berarti Bamsoet berani melawan Jokowi? Sepertinya tidak. Pengamat Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio menilai, wacana penundaan Pilkada yang dilontarkan Bamsoet hanya mengikuti gelombang protes sebagian rakyat di medsos yang menyuarakan penundaan Pilkada.
“Kendati demikian Bamsoet tetap akan satu suara dengan eksekutif, dengan Presiden,” ujar Hendri kepada Rakyat Merdeka, semalam.
Sikap itu bisa saja berubah jika ada pasangan calon yang meninggal dunia karena Corona. Serta meningkatnya jumlah positif Corona di daerah yang menyelenggarakan Pilkada. “Tapi saat ini, nggak akan Bamsoet ngelawan Jokowi,” tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Lestari Ningsih