- Home
- /
- EkBis
- /
- Agribisnis
Labelisasi POF, Mahendra Siregar: Ingat! Banyak yang Iri dengan Sawit Indonesia
Industri perkebunan kelapa sawit tidak hanya diserang dengan pemberitaan dan isu negatif di berbagai platform media, tetapi juga disudutkan melalui labelisasi Palm Oil Free (POF) atau No Palm Oil di sejumlah produk makanan dan obat-obatan.
Bukan hanya sekali, labelisasi POF tersebut sudah seringkali dilakukan oleh perusahaan swasta penghasil produk pangan hingga pernah dilakukan oleh lembaga internasional.
Pada pertengahan Mei 2020 lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) juga pernah menerbitkan flyer dengan judul Nutrition Advice for Adults during Covid-19, yang berisi imbauan agar orang dewasa tidak mengonsumsi minyak sawit selama pandemi Covid-19.
Baca Juga: Zero Waste Sawit: Value Added dari Limbah Pemurnian Minyak Goreng
Flyer yang diterbitkan WHO tersebut mendapat kritikan, terutama dari negara produsen sawit. Indonesia juga sudah melakukan protes dan mengirimkan surat ke WHO. Dan akhirnya, kalimat yang sebelumnya mencantumkan do not eat palm oil berubah menjadi eat less saturated fats, dan kata palm oil pun dihapuskan.
Tidak hanya itu, pada Agustus 2020 lalu, Kraft Heinz yang juga anggota RSPO justru menyematkan label POF pada produk terbarunya, Hazelnut Butter, yang dipasarkan di Kanada. Merespons hal tersebut, CPOPC menilai Kraft Heinz menunjukkan ketidakjelasan sikap karena mengajak petani kecil untuk menerapkan praktik berkelanjutan, tetapi saat bersamaan memboikot produk mereka.
Labelisasi POF ini dinilai sebagai bagian dari black campaign dan diskriminasi yang mengancam keberlangsungan produk sawit Indonesia di pasar global.
Wakil Menteri Luar Negeri RI, Mahendra Siregar memaparkan, "label POF yang dicantumkan dalam produk baik makanan maupun obat-obatan, sudah banyak beredar, termasuk di Indonesia khususnya untuk produk impor. Memang label POF itu impor terutama dari Eropa. Kita belum tahu secara detail pencantuman label, apakah inisiatif Eropa atau dari pihak lain."
"Dampaknya, pencantuman POF ini bisa mengganggu keberlangsungan pasar sawit Indonesia di pasar global dan domestik. Pelabelan ini juga termasuk kampanye hitam untuk melawan produk kelapa sawit," imbuhnya.
Lebih lanjut, Mahendra menjelaskan, "pemerintah memantau perkembangan tentang sawit Indonesia dan segala bentuk kampanye hitam yang dibuat, termasuk dengan label POF. Ingat, banyak pihak yang iri dengan sawit Indonesia sehingga terus mencari cara agar sawit ditolak karena sawit Indonesia memang kualitasnya baik dan banyak manfaatnya."
Senada dengan hal tersebut, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Reri Indriani mengatakan, turut mendukung upaya melawan berbagai macam bentuk black campaign terhadap kelapa sawit Indonesia.
Pihaknya sudah melarang produk makanan atau obat-obatan yang memiliki label POF untuk beredar di Indonesia. Larangan yang dikeluarkan BPOM merupakan bentuk dukungan terhadap sawit Indonesia dan tidak melanggar ketentuan internasional.
Lebih lanjut Reri mengatakan, BPOM akan melakukan pengawasan yang superintensif terkait pencantuman POF ini, baik untuk produk yang beredar di pasar ibu kota maupun daerah.
"BPOM juga hadir dan siap membela sawit Indonesia karena pencantuman POF sama saja menurunkan daya saing produk sawit Indonesia," ujar Reri.
BPOM mengambil tindakan tegas; bagi produk yang mencantumkan POF, akan diberikan sanksi pembinaan dan bagi perusahaan besar akan diberikan sanksi administratif.
Wakil Direktur Eksekutif CPOPC, Dupito Simamora menuturkan, labelisasi POF ini digunakan sebagai strategi pemasaran untuk menunjukkan seakan produk minyak nabati selain sawit lebih sehat dan lebih ramah lingkungan. Keberadaan labelisasi bebas minyak sawit itu sebenarnya tidak berdasarkan regulasi, namun dikampanyekan murni oleh swasta. Bahkan, labelisasi tersebut bertentangan dengan ketentuan di Uni Eropa, sebagai sumber black campaign yang selama ini dirasakan minyak sawit Indonesia.
Dupito juga menyebutkan, di Uni Eropa terdapat ketentuan yang melarang food information dan tidak boleh bersifat misleading (menyesatkan). Namun, hingga saat ini, masih terdapat lebih dari 2.000 produk dengan labelisasi POF yang beredar di Uni Eropa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: