Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Merasa Ada Tidak Adil, Kuasa Hukum BKMJ Kirim Surat ke Presiden

        Merasa Ada Tidak Adil, Kuasa Hukum BKMJ Kirim Surat ke Presiden Kredit Foto: Rawpixel
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Perkara kepailitan yang melibatkan PT. Budi Kencana Megah Jaya (PT BKMJ) dan PT. Gugus Rimbarta  yang didaftarkan pada tanggal 30 Mei 2020 di Kepaniteraan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 19 Agustus 2003 menimbulkan pertanyaan besar di kalangan pemerhati hukum, terutama pihak termohon.

        Salah seorang kuasa hukum termohon PT BKMJ, Renita M. A. Girsang merasa keberatan dengan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat per tanggal 19 Agustus 2020 dengan nomor :211/Pdt.Sus-PKPU/PN.Niaga.Jkt.Pst. yang dipimpin oleh ketua Majelis Hakim Robert, S.H., M.Hum.

        Baca Juga: 75 Pegawai Pengadilan Negeri Medan Positif Corona!

        Menurutnya, kasus piutang ini membuat termohon merasa disudutkan dengan dinyatakan memiliki utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, padahal termohon menginginkan agar kasus utang ini diadakan pengujian terlebih dahulu

        "Klien kami sebagai termohon seperti telah disudutkan dan 'dipaksa menerima' atau 'dipaksa' menyatakan dirinya mempunyai utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, meskipun tidak. Setidak-tidaknya, ada atau tidaknya utang ini harus dibuktikan atau diuji terlebih dahulu sesuai dengan hukum pembuktian di pengadilan umum/negeri," ujarnya, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (25/9/2020).

        Lanjutnya, ia mengatakan jika kliennya juga dipaksa untuk menyatakan bahwa pekerjaan pemohon telah selesai 100 persen, walaupun sebenarnya hanya baru 72,27% saja. Soal selesai atau belum, ini pun harusnya  diuji dan dibuktikan terlebih dahulu di pengadilan umum/negeri. 

        "Selain itu klien kami juga 'dipaksa pula untuk mengajukan proposal perdamaian' meskipun tidak ada satu utang pun yang dapat dimintakan restrukturisasinya untuk dituangkan dalam proposal perdamaian pada hari ke-45 nanti, yaitu tanggal 30 September 2020," sebut Renita.

        Lebih lanjut, ia menduga ada implementasi hukum yang salah/keliru yang dilakukan dengan melanggar hukum atau melanggar semua norma hukum yang ada, justru ada pada putusan Majelis Hakim perkara a quo, putusan Nomor 211/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 19 Agustus 2020. 

        "Ada empat hal yang dilanggar dengan putusan itu, Pertama, tidak memenuhi ketentuan dan melanggar Pasal 222 ayat (3), Pasal 8 ayat (4), dan Pasal 271 Undang-undang Nomor. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Kedua, melanggar azas keseimbangan, yaitu memfasilitasi terjadinya penyalahgunaan Pranata dan Lembaga Kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik," ungkapnya.

        "Hal ketiga yaitu melanggar azas keadilan, yaitu tidak memenuhi rasa keadilan bagi termohon akibat terjadinya kesewenang-wenangan dan keempat melanggar hak konstitusional termohon pasal 28A, Pasal 28D ayat (1) akibat implementasi norma hukum yang salah, sehingga termohon PKPU 'terjebak' dalam ketentuan Pasal 235 ayat (1) Undang-undang No.37/2004,".

        Renita menilai telah terjadi mafia peradilan dalam kasus ini sehingga telah menciderai kepercayaan masyarakat terhadap hukum, oleh karenanya tim kuasa hukum termohon telah mengirimkan surat kepada presiden agar memperhatikan persoalan ketidak adilan ini.

        "Saya telah bersurat ke Presiden dan lembaga lainnya untuk 'menggigit sendiri' mafia hukum/mafia peradilan yang telah menciderai kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia dan menciptakan tidak adanya kepastian hukum dengan cara memperdaya pengusaha dengan memanfaatkan celah hukum," tegasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: