Menyusul aksi demonstrasi dan mogok kerja buruh pada 6-8 Oktober lalu, gabungan konfederasi dan serikat buruh memastikan akan terus melanjutkan aksi penolakan UU Cipta Kerja (Ciptaker). Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal hari ini, menerangkan, langkah lanutan buruh melalui 32 Konfederasi Serikat Buruh di Indonesia akan menjalankan empat cara menolak UU Ciptaker.
Pertama, kata dia, buruh akan tetap melakukan aksi penolakan UU Cipta Kerja ini, dengan berbagai cara. Ia mencontohkan seperti yang kemarin dilakukan para buruh, dengan berunjuk rasa di luar pabrik, dengan tetap menjaga kondisi pandemi saat ini. Atau, sambung dia, dengan cara lain dengan melakukan aksi mogok dengan cuti secara bersamaan di rumah.
Baca Juga: Pengamat ini Malah Izinkan Negara Otoriter Hadapi Pendemo Omnibus Law
"Aksi penolakan RUU Cipta Kerja ini tetap terukur dan terarah sesuai konstitusi," kata Said dalam Konferensi Pers daring kepada wartawan, Senin (12/10).
Kemudian, Said melanjutkan, opsi lain sebelum UU Ciptaker ditandatangani Presiden Jokowi adalah meminta eksekutif yakni presiden dan legislatif yakni DPR RI, melakukan tinjauan ulang (review). Kepada presiden ia meminta dilakukan executive review dengan menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU tersebut.
Dan kepada DPR, Said menyebut ada langkah legislative review dengan uji RUU yang sudah disahkan. "Kami akan lakukan lobi-lobi ke DPR," katanya.
Said menegaskan, pihak buruh merasa dikhianati. Karena beberapa pasal dalam UU Ciptaker yang katanya merujuk UU Ketenagakerjaan lama ternyata tidak berubah dengan draf RUU seperti yang diinginkan pemerintah.
Kemudian apakah ada jalan lain? Said Iqbal mengakui jalan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) memang menjadi pilihan konstitusional. Meskipun, Said melihat ada indikasi beberapa pihak yang akan mengajukan JR dengan dalil yang lemah sehingga ditolak MK.
"Kami melihat ada upaya JR dari beberapa pihak karena ingin mengajukan dengan dalil yang lemah dengan tujuan sengaja digagalkan MK," terangnya.
Langkah keempat, adalah melakukan sosialisasi dengan apa yang sebenarnya terjadi di UU Cipta Kerja tersebut. Di mana, ternyata UU Cipta Kerja yang dijanjikan pemerintah tersebut faktanya tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan dan konfederasi akan berupaya mengadvokasi pihak buruh yang dirugikan.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronika dan Mesin (FSP LEM) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Arif Minardi menambahkan, aksi yang dilakukan pada pekan lalu memang berujung anarkistis karena DPR tanpa malu mengubah jadwal sidangnya. Meski demikian, Arif menegaskan, aksi akan terus berjalan dengan tetap menolak UU Cipta Kerja dan mendesak Presiden Jokowi menerbitkan perppu membatalkan UU tersrbut.
"Kita sudah rapat dengan 32 elemen buruh, di mana aksi penolakan akan berlanjut, tapi dengan cara yang berbeda dengan cara yang damai. Kita menghindari adanya politisasi mengatasnamakan buruh, kita tidak ingin menjadi pemicu anarkistis dan pengerusakan," kata dia.
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) dan 10 federasi afiliasi KSBSI pada Senin (12/10) menggelar aksi unjuk rasa lanjutan menolak pengesahan UU Ciptaker. Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban mengatakan aksi unjuk rasa akan digelar pukul 10-17 WIB di sekitaran Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jalan Merdeka Barat, Jakarta.
"Hari ini kami aksi menolak omnibus law naker, dan meminta pak Jokowi mengeluarkan Perppu," kata Elly kepada Republika, Senin.
Elly mengatakan, serikat buruh merasa dibohongi lantaran usulan serikat pekerja/serikat buruh dalam pertemuan Tim Tripartit ternyata tidak diakomodasi dalam UU Ciptaker khususnya pada klaster ketenagakerjaan. Ia juga beranggapan, UU Ciptaker mendegradasi hak-hak dasar buruh jika dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan.
Di Semarang, Jawa Tengah (Jateng), ribuan elemen buruh kembali menggelar aksi unjuk rasa menolak UU Ciptaker di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Tengah, di Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (12/10). Dibandingkan aksi sebelumnya, aspirasi para buruh kali ini disuarakan dengan cara- cara yang lebih damai, hingga mereka ditemui oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo bersama dengan Yudi Indras Wiendarto dan Abdul Aziz, mewakili representasi wakil rakyat provinsi Jawa Tengah.
Di hadapan ribuan buruh, anggota Fraksi Partai Gerindra, Yudi Indras Wiendarto mengapresiasi aksi damai yang dilakukan para buruh. Hal itu patut dicontoh oleh buruh di manapun.
“Aksi tetap tertib, tidak merusak fasilitas umum dan tidak merugikan masyarakat,” jelasnya.
Terkait dengan aspirasi yang disuarakan oleh buruh, Yudi meminta, kepada para buruh diminta melakukan aksi damai dan menunggu salinan resmi Undang Undang yang telah disahkan oleh DPR RI tersebut.
“Mari sama-sama kita tunggu (salinan) UU tersebut dengan hati damai dan tidak terpancing oleh hal- hal yang dapat merugikan perjuangan para buruh, karena yang beredar saat ini belum ada yang resmi,’’ ungkapnya, di hadapan massa aksi.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Jawa Tengah, Nanang Setyono mengaku masih kecewa dengan DPR RI. Pasalnya, UU Ciptaker sudah disahkan, namun belum ada salinan resminya.
Karena itu ia menjadi curiga ada apa- apa yang memang didesain merugikan buruh. “Karena itu, kami berharap kepada pemerintah daerah serta wakil rakyat Provinsi Jawa Tengah untuk membantu merealisasikan perjuangan buruh di Jawa Tengah,” tegasnya.
Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menegaskan siap mendampingi para buruh menyampaikan aspirasi mereka kepada Pemerintah Pusat, terkait polemik UU Ciptaker. Pemprov Jateng, kata Ganjar, mendorong Pemerintah Pusat agar segera memberikan draf salinan undang-undang yang disoal masyarakat buruh tersebut.
“Teman- teman jangan khawatir, Jakarta sudah mendengar suara dari Jawa Tengah soal penolakan Undang undang Cipta Kerja,” kata Ganjar.
Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Nana Sudjana menegaskan, aksi penyampaian pendapat di muka umum atau unjuk rasa diperbolehkan berdasarkan undang-undang. Namun, ia mengingatkan, demonstrasi harus dilaksanakan dengan tertib.
"Aksi unjuk rasa itu dibolehkan mengacu pada UU nomor 9 tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Selama aksi itu berjalan damai, tertib tentunya kami dari kepolisian dan dibantu TNI dan juga Pemda. Kami akan melakukan dan melayani kami akan mengawal dan mengamankan," tegas Nana dalam konferensi pers di Kompleks Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin (12/10).
Nana menegaskan, ketika unjuk rasa tersebut berubah menjadi anarkisme maka pihaknya akan menindak tegas dan melakukan penegakan hukum. Kendati demikian, sesuai arahan Kapolri, pihaknya yaitu selalu mengedepankan upaya persuasif, humanis tetapi tegas.
Nana menerangkan, aksi unjuk rasa yang terjadi pada 8 Oktober 2020 di depan Istana Negara itu awalnya berjalan dengan tertib. Tetapi, ketika mulai ada penyusupan atau ada kelompok yang bermain atau menunggangi kegiatan tersebut terjadilah kerusuhan. Pelemparan terhadap petugas kemudian terjadi perusakan dan pembakaran beberapa fasilitas umum.
Dari aksi unjuk rasa yang berujung kerusuhan tersbut pihaknya telah mengamankan sebanyak 1.192 orang. Dari angka itu, itu sebabyak 135 orang yang berpotensi di tingkatkan ke penyidikan dan sebanyak 83 orang sudah di tingkat proses penyidikan.
"Kemudian 54 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan 28 di anataranya dilakukan penahanan. Tadi dari 1.192 orang ini hampir 64 persen adalah pelajar. Jadi banyak mayoritas pelajar dan mereka semua kami pulangkan tentunya orang tua dengan syarat datang dan mereka membuat pernyataan," terang Nana.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: