Tindakan Saraswati sebagai calon wali kota Tangerang Selatan, yang melaporkan dugaan kampanye hitam yang menimpanya justru menuai kritik.
Analis politik dari Universitas Pamulang (Unpam) Lukman Hakim mengatakan, kebebasan berpendapat juga menyampaikan kritik merupakan hak konstitusional yang dimiliki seluruh masyarakat.
Menurut Lukman, diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1946, hak konstitusional tersebut kerap dicederai dengan gaya kepemimpinan yang represif, seperti dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Gaya kepemimpinan tersebut yang dikhawatirkan berkembang di Tangerang Selatan jika pasangan Muhamad dan Rahayu Sarawasti terpilih sebagai kepala daerah. Respons Saras yang menanggapi kritik masyarakat dengan aduan ke kepolisian, termasuk menggunakan ancaman UU ITE, dinilai berlebihan dan mencerminkan gaya kepemimpinan yang represif. Baca Juga: Debat Terbuka Pilkada Tolitoli Disiarkan Langsung di iNews
"Di Tangsel itu, gaya kepemimpinan yang mengedepankan persuasi dan dialog sudah menjadi ciri khas, bukannya menjawab kritik dengan jerat sanksi pidana. Gaya kepemimpinan yang represif, termasuk lebih mengutamakan pendekatan hukum ketimbang dialog dan kekeluargaan, tidak boleh berkembang di Tangsel," kata Lukman kepada wartawan di kawasan BSD City, Minggu (1/11/2020).
Lukman mengatakan, Saras sebagai calon wakil walikota, mantan anggota DPR, bahkan punya jabatan tinggi di partai sebagai wakil ketua umum, seharusnya sadar jika masyarakat akan menelusuri rekam jejaknya. Medianya bisa beragam, mulai dari pemberitaan di media massa, juga melalui saluran media sosial termasuk menelusuri dokumen yang tayang di akun sosmed pribadi yang open atau bisa diakses publik.
Sebagai calon pejabat publik, Mba Saras itu tentu saja menarik perhatian masyarakat untuk mencari tahu bagaimana karakter aslinya, apakah sesuai yang dicitrakan di hadapan media, atau berbeda 180 derajat. Dengan semakin berkembangnya teknologi, masyarakat tentu dengan sangat mudah mengakses media sosial milik pejabat publik, tentu catatannya yang bisa diakses tidak privat.
"Kalau akun media sosialnya dikunci atau menjadi privat, pasti publik tidak bisa mengakses," ujar Lukman.
Karenanya, Lukman mengingatkan, seorang pejabat publik harus menjaga dan memberikan keteladanan bagi masyarakat. Jika masyarakat melihat karakter berbeda antara yang dicitrakan dengan kehidupan pribadinya, maka beragam kritik akan bermunculan.
"Kritik dan tanggapan negatif tentu reaksi yang tak bisa dibendung. Hanya saja bagaimana respons untuk menanggapi kritik tersebut yang bisa menunjukkan karakter seseorang," ujar Lukman.
Ke depan, Lukman berharap setiap kritik yang disuarakan masyarakat, apalagi warga Tangsel, tak lantas direspon dengan pendekatan hukum, apalagi muaranya adalah jerat pidana. Menurut Lukman, pendekatan yang lebih bersifat persuasif, dialog juga kekeluargaan lebih bisa memberikan pendidikan kepada masyarakat.
Lukman mengakui, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, juga berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Ini hak konstitusi masyarakat yang harus terus diakomodasi.
"Tentu kalau ada ketersinggungan menjadi hak Saras untuk melapor. Hanya saja melaporkan rakyat sendiri di suasana pilkada begini, rasanya aneh," tutup Lukman.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil