Demokrat Doyan Kibarkan Isu HAM, Jika Biden Menang, Prabowo Tamat?
Seharian kemarin, mata dunia tertuju ke Amerika Serikat (AS). Warga dunia ikut penasaran siapa yang akan jadi Presiden AS periode 2020-2024. Apakah Trump lagi? Atau diganti Biden?
Lalu, apa dampaknya bagi RI? Prof Tjipta Lesmana menilai, ada plus minus kedua capres ini bagi RI. Jika Trump menang, dia akan menyeret RI untuk konfrontasi dengan China. Jika Biden menang, bisa saja mempengaruhi kans Prabowo di Pilpres 2024. lho, kok bisa?
Baca Juga: Joe Biden Hanya Butuh 6 Suara Tambahan Untuk Tumbangkan Trump
Sampai tadi malam, pukul 21.00 WiB, pemenang pilpres AS masih misterius. Electoral College (EC) yang diraih kedua capres, masih berkejaran. Jaraknya juga tipis. Trump raih 213. Biden dapat 238. Trump unggul di 23 negara bagian, terutama di negara bagian yang jadi kantong suara Partai Republik seperti Texas, Arkansas, Alabama, Florida, dan Oklahoma.
Sedangkan Biden unggul di 20 negara bagian. Negara-negara yang dimenangkan seperti California, New York, Delaware, Virginia, dan Washington DC.
Laporan terakhir, baru 43 negara bagian yang sudah mengumumkan hasil pilpres. Ada 7 negara bagian yang belum mengumumkan hasilnya. Ketujuh negara bagian itu; Alaska, Georgia, Michigan, Nevada, North Carolina, Pennsylvania, dan Wisconsin. Ada 87 Electoral College yang diperebutkan.
Melihat perolehan suara seperti ini, publik di Amerika, juga di sini, sampai geleng-geleng kepala. Ini pilpres paling ketat dan menegangkan selama pesta demokrasi itu digelar di Negeri Paman Sam.
Ada banyak hal menarik. Menakjubkan. Juga menjengkelkan, dan menganehkan. Yang menarik, proses pemungutan suara di AS ini unik. Tak seperti di kita --yang sama-sama menganut paham demokrasi dan pemilu langsung.
Teknisnya, rakyat AS memilih dulu para wakilnya yang akan duduk di dua lembaga, yaitu DPR atau House of Representative dan Senat. Jumlah anggota DPR yang dipilih tiap negara bagian berbeda-beda, tergantung jumlah populasinya.
Sementara dalam Senat, tiap negara bagian diwakili dua Senator. Negara bagian New York misalnya, punya 27 kursi DPR, dan dua Senator. Artinya, jumlah Electoral College yang diperebutkan adalah 29. Pilpres juga menerapkan prinsip The Winner Takes All. Artinya, kandidat yang bisa memperoleh suara terbanyak di suatu negara bagian, akan mengambil seluruh Electoral College di negara bagian itu, termasuk dari mereka yang tidak memilihnya.
Dengan prinsip ini, capres yang memperoleh suara terbanyak dari rakyat atau disebut popular vote, tidak otomatis menjadi pemenang. Kemenangan diperoleh dari jumlah Electoral College. Di AS, total ada 538 Electoral College yang tersebar di 50 negara bagian. Artinya, untuk bisa menang, seorang capres minimal harus meraup 270 Electoral College.
Yang menarik lain, di pilpres ini soal perebutan kantong-kantong suara. Dulu, negara bagian Arizona jadi kantongnya Republik, tapi sekarang dicuri Biden yang dari Demokrat. Begitu pula sebaliknya. Negara bagian South Carolina yang pilpres lalu dikuasai Demokrat, bisa dicaplok Republik.
Yang menakjubkan apa? Meski banyak sistem warga AS memberikan hak pilihnya, seperti lewat pencoblosan di hari H, ada juga yang memilih duluan (early voting) atau lewat pos, tapi metode yang ribet seperti itu tak membuat kepercayaan warganya terhadap keabsahan pilpres, berkurang.
Beda dengan di sini, pencoblosan hanya dilakukan di hari H. Tidak ada early voting, juga memberikan suara lewat pos. Yang menjengkelkan dan menganehkan tentu kelakuan kedua capresnya.
Sangat langka di AS, capres memproklamirkan kemenangan sebelum hasil finalnya diketahui. Hal ini terlihat saat Trump mengumumkan sebagai pemenang dengan angka 60 persen. Pendukung Trump juga begitu. Sudah rame-rame pesta di jalan-jalan.
Anehnya yang lain, Trump yang seorang petahana menuding dicurangi. Padahal, biasanya yang nuduh begitu selalu disuarakan lawan. Tambah aneh lagi saat Trump menyerukan penghentian penghitungan suara. Biden juga mengklaim kemenangan, tapi dia tak seaneh Trump.
Melihat klaim kemenangan kedua capres yang begitu kuat, ada prediksi pilpres AS ini akan berakhir di Supreme Court atau Mahkamah Agung, bukan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Untuk RI, Trump Apa Biden?
Tadi malam, Trump ngariung di Gedung Putih menunggu hasil pilpres. Sedangkan Biden memilih menunggu sambil jagain markas. Nah, sambil menunggu hasil final pilpres AS, kita perlu bicara yang lain, apa sih dampaknya bagi RI kalau Trump yang menang lagi, atau Biden yang unggul?
Pengamat masalah Internasional, Prof Tjipta Lesmana punya analisis tajam. Kata dia, Trump atau Biden itu ada plus minus buat RI. Partai Republik yang jadi kendaraan Trump, kata Tjipta, selalu pragmatis, selalu memilih mana yang untungkan AS.
“Indonesia akan terseret untuk melaksanakan kepentingan AS jika Trump lagi yang menang, terutama dia akan mengajak RI untuk konfrontasi dengan China,” kata Tjipta.
Sebaliknya, tegas Tjipta, jika Biden yang menang, maka isu HAM akan dikibarkan.
“Prabowo akan tamat, peristiwa penculikan aktivis mahasiswa 1997-1998 pasti dikorek lagi, Biden takkan dukung Prabowo Presiden RI 2024,” ujar Tjipta mengaitkan dampak kemenangan Biden langsung ke kans Menhan Prabowo yang digadang-gadang akan jadi capres di 2024.
Padahal, Prabowo baru-baru ini dari AS memenuhi undangan Menhan AS Mark Esper. Kedatangan Prabowo ke AS sempat heboh karena berpuluh-puluh tahun Prabowo tak mendapat visa dari AS.
“Kalau Biden menang, Menhan AS yang senang ke Prabowo itu, pasti dicopot kan,” katanya.
Tjipta juga menganalisis, jika Biden menang, maka ketegangan dengan China bisa diperlunak. “Karena Menlu AS Mike Pompeo juga pasti dicopotkan,” ujar Tjipta.
Tapi, Tjipta menilai RI rugi kalau perang dagang AS Vs China diperlunak, karena selama ini pertarungan itu menguntungkan bisnis RI.
Analisis soal pertarungan Trump vs Biden dan dampaknya bagi RI juga disampaikan Dosen Hubungan Iternasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rizasyah. Kata dia, memang banyak yang memperkirakan kalau Biden terpilih, ia pasti akan meributkan HAM, perubahan iklim, dan demokrasi. Alasannya, Biden dari Partai Demokrat, sementara Trump dari Republik. Garis politik kedua partai ini memang berbeda.
Namun, menurut dia, siapa pun capres yang terpilih, hubungan kerja sama AS dan Indonesia tak akan terganggu. Menurut dia, banyak aktor yang terlibat dalam sebuah kerja sama bilateral. Apalagi, cakupan kerja sama ini sangat luas.
“Jadi siapa pun Presidennya, Amerika akan membutuhkan kerja sama dengan Indonesia. Apalagi dua negara sama-sama negara demokrasi,” kata Teuku, tadi malam.
Dia juga mengatakan, Amerika tak akan sembarangan mempersoalkan demokrasi, HAM dan perusakan lingkungan, jika memang negara kita tidak melakukan kesalahan serius.
“Selama kita menjalankan demokrasi dengan serius dan melakukan penegakan hukum kepada perambah hutan misalnya, Amerika tak akan ikut campur,” pungkasnya.
Bagaimana tanggapan Gerindra mengenai analisis Prabowo terancam jika Biden yang menang? Politikus Partai Gerindra, Andre Rosiade tak mau berkomentar banyak soal rumor Prabowo akan mendapat dukungan dari AS untuk nyapres jika Trump menang. Dan sebaliknya, jika Biden yang menang.
Menurut dia, pilpres 2024 masih lama. Empat tahun lagi. Apalagi, Gerindra belum memutuskan siapa calon yang akan diusung nanti.
Dia memastikan, apa yang ada di pikiran Prabowo saat ini adalah mengatasi wabah pandemi dan ekonomi yang masuk jurang resesi. “Tugas Pak Prabowo bersama pemerintah sekarang menyelamatkan ekonomi agar tidak terus tenggelam di jurang resesi,” ujarnya. [
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto