Main-main ke Kandang Singa, Pesawat Mata-mata AS Terobos Benteng Udara China
Pesawat mata-mata Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) muncul dalam jarak 51 mil laut dari pantai timur China saat melewati zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) Beijing pada hari Kamis. Manuver ini berlangsung ketika kedua negara sedang bersitegang.
Menurut data pelacakan penerbangan yang dikutip Newsweek, Jumat (11/12/2020), pesawat mata-mata U-2A yang dijuluki "Dragon Lady", lepas landas dari Seoul, Korea Selatan, dan melakukan "serangan mendadak" ke Selat Taiwan. Data pelacakan penerbangan itu diungkap South China Sea Probing Initiative (SCSPI), sebuah kelompok think tank Beijing.
Baca Juga: Curigai Militer hingga Mahasiswa, NATO-AS Kompak Pindai Ancaman China
Pesawat mata-mata Lockheed Martin era Perang Dingin tersebut melakukan perjalanan di sepanjang ADIZ Laut China Timur sebelum berbalik kira-kira 51 mil laut dari provinsi Fujian di China timur dan sekitar 70 mil laut dari lepas pantai barat laut Taiwan.
Data dari lembaga think tank tersebut menunjukkan bahwa itu adalah penerbangan pengintaian terdekat di Selat Taiwan oleh pesawat militer AS sejak Oktober, di mana Washington ingin menangkal setiap upaya China untuk bertindak secara militer terhadap Taiwan—pulau yang sudah lama memerintah sendiri secara demokratis.
Pesawat asing idealnya memberi tahu otoritas penerbangan saat memasuki ADIZ suatu negara, tetapi zona tersebut, meskipun digunakan secara luas, tidak diatur secara internasional. (Baca juga: Putin Unjuk Kekuatan Triad Nuklir Rusia, Isyarat Siap Perang Nuklir )
Bulan lalu, data pelacak penerbangan menunjukkan dua pesawat pembom Angkatan Udara AS lepas landas dari Pangkalan Angkatan Udara Anderson di Guam dan melakukan "serangan mendadak" ke ADIZ Laut China Timur. Kedatangan dua pesawat itu mendapat tanggapan dari sepasang jet pencegat Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China.
Menurut SCSPI kepada Newsweek Oktober lalu, Amerika Serikat hampir menggandakan jumlah misi pesawat mata-mata di dekat China sejak 2009. Angkatan Udara AS sekarang menerbangkan lebih dari 1.500 "serangan mendadak" setahun ke Laut China Selatan, sedangkan kapal-kapal Angkatan Laut AS tercatat melakukan manuver 1000 hari di wilayah tersebut selama periode yang sama.
Dalam laporan November, lembaga think tank tersebut mengatakan militer AS menyamarkan misi pengintaiannya dengan menerbangkan pesawat sipil, melakukan lebih dari 160 "serangan mendadak" ke Laut Kuning, serta perairan yang diperebutkan di Laut China Timur dan Laut China Selatan antara Maret hingga November.
Peningkatan aktivitas terjadi pada saat meningkatnya ketegangan militer antara China dan Taiwan, yang diklaim Beijing sebagai provinsinya yang memisahkan diri dan akan dipaksa bersatu kembali dengan China suatu hari nanti.
Namun Taiwan, di bawah kepemimpinan Presiden Tsai Ing-wen, semakin menjauh dari pengaruh Beijing.
Keyakinan baru yang ditemukan dari Partai Demokrat Taiwan telah dibantu oleh Amerika Serikat, terutama sejak 2016, ketika Tsai menjabat dan Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS.
Sejak Tsai memenangkan kembali pemilu Taiwan pada Januari tahun ini, Beijing telah menanggapi dengan kemarahan dan kecaman ketika pemerintahan Trump menyetujui penjualan senjata defensif ke Taiwan—total 11 paket sejak pelantikan Trump pada 2017—dan kemudian menjatuhkan sanksi dua kunjungan pejabat level kabinet AS ke Taipei pada bulan Agustus dan September.
Sementara itu, latihan Angkatan Udara dan Angkatan Laut PLA di Selat Taiwan telah berlangsung selama beberapa bulan. Pada Oktober lalu, pesawat tempur China telah memecahkan rekor "serangan" terbanyak ke wilayah udara Taiwan sejak 1990.
Jumat lalu, Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan AS mengungkapkan dalam laporan tahunannya bahwa Taipei adalah penerima terbesar penjualan militer asing pada tahun fiskal 2020, membeli perlatan militer sekitar USD11,8 miliar.
Presiden Tsai dan Kementerian Luar Negeri-nya telah menyatakan keyakinan bahwa dukungan serupa akan terus berlanjut di bawah Presiden terpilih AS Joe Biden dan kabinetnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: