Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Inggris Mau Lepas Pembiayaan Bahan Bakar Fosil, Ini Dampaknya bagi Dunia

        Inggris Mau Lepas Pembiayaan Bahan Bakar Fosil, Ini Dampaknya bagi Dunia Kredit Foto: Antara/Finnbarr Webster/Pool via REUTERS
        Warta Ekonomi, London -

        Pemerintah Inggris akan menghentikan dukungan terhadap proyek bahan bakar fosil di luar negeri. Langkah ini berarti, Inggris tidak lagi memberikan dana bantuan untuk proyek minyak, gas dan batu bara.

        Pernyataan itu muncul saat Inggris, Presiden COP26 (KTT Perubahan Iklim), bersama Prancis, dan PBB menjadi tuan rumah Climate Ambition Summit  atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ambisi Iklim 2020 secara virtual pada Sabtu (12/12/2020).

        Baca Juga: Terlalu Subversif, Antropolog Senior Iran-Inggris Dibui 9 Tahun Penjara

        Tepat pada peringatan lima tahun Perjanjian Paris atau Paris Agreement, dalam kemitraan dengan Chili (sebagai Presiden COP25) dan Italia (mitra COP26 Inggris). Sebanyak 75 pemimpin dunia, pelaku bisnis, dan masyarakat sipil menghadiri acara tersebut.

        Sebelumnya Inggris telah dikritik karena mendukung proyek bahan bakar fosil di luar negeri melalui pembiayaan ekspor, pendanaan bantuan, dan promosi perdagangan. Sebab, di dalam negeri Inggris telah menjauhi batu bara, minyak dan gas.

        "Perubahan Iklim adalah salah satu tantangan global terbesar di zaman kita, dan sudah mengorbankan nyawa dan mata pencaharian di seluruh dunia, itulah mengapa Inggris memimpin dengan komitmen baru untuk mengurangi emisi setidaknya 68 persen pada 2030," kata Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.

        "Itulah mengapa saya senang mengatakan bahwa Inggris akan mengakhiri dukungan dari para pembayar pajak kami untuk proyek bahan bakar fosil di luar negeri secepat mungkin. Dengan  tegas  dan ambisius, kami akan menciptakan pekerjaan di masa depan, mendorong pemulihan dari Virus Corona, dan melindungi planet kita yang indah untuk generasi mendatang,” imbuhnya.

        Meski COP26 harus ditunda hingga 2021 karena pandemi Covid-19, aksi iklim tidak bisa menunggu. KTT Ambisi menunjukkan urgensi memenuhi Komitmen Perjanjian Paris.

        Para pemimpin dengan komitmen ambisius berbicara di acara tersebut,  termasuk dari Inggris, Prancis, China, India, Kamboja, Korea Selatan, Singapura, Jepang, dan Myanmar. Seharusnya COP26 akan berlangsung di Glasgow, Inggris tahun ini.

        KTT Ambisi terbuka bagi para pemimpin yang ingin menunjukkan telah memiliki komitmen iklim baru yang ambisius, termasuk Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (Nationally Determined Contributions /NDC) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, strategi untuk mencapai net-zero emissions atau emisi nol bersih, janji pendanaan iklim dan rencana inovatif untuk beradaptasi dan membangun ketahanan terhadap perubahan iklim.

        “Akhirnya, aksi Perubahan Iklim dari banyak negara di kawasan mulai mencerminkan urgensi . Pertama, komitmen untuk mengakhiri kontribusi terhadap perubahan iklim," kata Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins dalam keterangan pers Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, Senin (14/12/20).

        Jenkins menambahkan, target nol bersih telah meningkat; di China pada 2060, Jepang, dan Korea Selatan pada 2050. Sedangkan untuk negara-negara yang baru bergabung, dalam upaya tersebut, katanya, berarti tercakup dengan komitmen nol bersih. Presiden terpilih Amerika Serikat Joe Biden berharap negaranya ikut bergabung.

        Jenkins juga mencatat, Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA) memperkirakan, pada 2025, energi baru terbarukan akan menjadi sumber pembangkit energi terbesar di dunia. Batu bara baru akan berakhir.

        Sebagai informasi, Filipina telah mengumumkan penghentian batu bara, Bangladesh dan Vietnam sedang meninjau rencana serupa. Ketiga negara tersebut berada di daftar 10 negara teratas mengembangkan listrik dengan bahan bakar batu bara.

        "Energi matahari akan menjadi raja baru listrik dunia, lebih murah daripada batu bara atau gas di kebanyakan negara. Jadi, ada alasan untuk optimis," terang Dubes yang resmi bertugas di Tanah Air sejak 7 Agustus 2019.

        "Namun kami masih jauh dari memenuhi Komitmen Paris untuk terus menaikkan suhu global hingga satu setengah derajat Celcius. Kami berharap Indonesia akan memperkuat komitmen sebelum COP26 tahun depan, dan kami siap mendukung upaya ini," tutupnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: