Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Nihil Bantuan Sosial, dan Melonjaknya Jumlah Kasus Buruh Migran

        Nihil Bantuan Sosial, dan Melonjaknya Jumlah Kasus Buruh Migran Kredit Foto: Antara/Asprilla Dwi Adha
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sejumlah aktivis buruh migran menyebut terjadi lonjakan kasus buruh migran Indonesia sepanjang tahun 2020. Jaringan Buruh Migran (JBM) mencatat terjadi lonjakan kasus sebanyak 61 persen bila dibandingkan pada tahun 2019.

        Kasus terbanyak adalah pemulangan secara deportasi dan repatriasi pekerja migran Indonesia (PMI), khususnya mereka yang tidak memiliki dokumen paspor. Kondisi pekerja migran Indonesia pada masa pandemi juga lebih rentan. Situasi kerja menjadi lebih buruk, beban kerja yang semakin berat, pemotongan upah, tidak ada hari libur, dan sulit untuk berkumpul terutama untuk berorganisasi.

        Baca Juga: Upah Buruh Tani Naik, Tapi Daya Beli Lesu

        Koordinator Sekretariat Nasional JBM Savitri Wisnuwardhani mengatakan, kebijakan perlindungan pekerja migran Indonesia kurang efektif.

        "Hingga sekarang, seluruh aturan turunan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia belum disahkan. Hal ini sangat berdampak pada implementasi perlindungan," kata Savitri dalam keterangannya memperingati Hari Buruh Migran Internasional yang jatuh pada Jumat (18/12/2020).

        Sementara itu, Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar mencatat, tahun ini ada peningkatan kasus kekerasan dibandingkan tahun lalu. Kasus yang dimaksud berupa kekerasan fisik, penganiayaan, pelecehan seksual, pelanggaran kontrak kerja, eksploitasi ekonomi, perdagangan orang hingga penghilangan nyawa secara paksa.

        Dari 643 kasus yang ditangani oleh lembaganya pada tahun 2020, masalah penempatan non prosedural menjadi penyumbang kasus terbanyak hingga 75,74 persen. Selebihnya adalah masalah prosedural, 24,26 persen. Penempatan non prosedural ini kebanyakan dilakukan orang perseorangan 59,14 persen dan sisanya sebanyak 40,86 persen dilakukan oleh P3MI dan Perusahaan Penempatan Pelaut Awak Kapal.

        Ketua Solidaritas Perempuan Dinda N Yura menambahkan, sepanjang tahun 2020, pihaknya telah menangani 63 kasus kekerasan, pelanggaran hak, eksploitasi hingga trafficking yang dialami oleh Perempuan Buruh Migran.

        Dari 63 kasus tersebut, sebesar 14 kasus merupakan kasus pemberangkatan pasca Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 260 tahun 2015, yang seluruh korbannya merupakan perempuan.

        Sedangkan, Migrant Care menemukan banyak kasus pekerja migran Indonesia menjadi korban pertama pandemi Corona. Pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor pekerja rumah tangga semakin terbebani dengan jam kerja yang bertambah, waktu istirahat berkurang, dan terancam pengurangan upah, serta rentan mengalami kekerasan berbasis gender.

        "Pekerja migran juga rentan mengalami stigmatisasi sebagai pembawa virus, diskriminasi sebagai warga asing, dan kriminalisasi akibat kebijakan pembatasan mobilitas yang mengawasi secara ketat pergerakan manusia," ujar Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo.

        Ditambahkannya, pemberlakuan Movement Control Order (MCO) di Malaysia berkontribusi besar pada ketidakpastian nasib jutaan pekerja migran Indonesia yang tidak berdokumen di Malaysia. Karena status kerjanya sebagai pekerja upah harian dan mingguan, otomatis mereka kehilangan pekerjaan, jauh dari akses kesehatan, dan rentan mengalami penangkapan akibat penerapan Operasi Benteng.

        Di sisi lain, lanjutnya, pemerintah Indonesia terlihat tidak memiliki kesiapan dalam mempersiapkan tata kelola penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia di masa pandemi Covid-19.

        Kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan menghadapi pandemi ini cuman ditujukan untuk pekerja sektor formal. Ini nampak sekali pada kebijakan pemberian subsidi upah hanya untuk mereka yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.

        Derasnya arus pemulangan yang mencapai lebih dari 166 ribu pekerja migran Indonesia pada tahun 2020, tambah Wahyu, juga tidak dibarengi dengan kesiapan akses jaring pengaman sosial.

        "Pemerintah abai pada pekerja di sektor informal dan pekerja migran. Para pekerja migran yang pulang semasa pandemi tidak dapat bantuan sosial karena tak terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang merupakan basis data penyaluran bantuan sosial," pungkas Wahyu.

        Menaker Beri Berbagai Bantuan

        Kementerian Ketenagakerjaan mengklaim telah melakukan upaya perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia selama pandemi Covid-19. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengaku sudah bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan untuk memberikan bantuan masker untuk PMI di Hong Kong, Taiwan, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, dan Brunei Darussalam.

        "Kementerian Ketenagakerjaan juga memberikan bantuan Alat Pelindung Diri dan suplemen kepada 42 Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) dan memberikan bantuan APD dan suplemen kepada 324 P3MI," kata Ida dalam acara Peringatan Hari Migran Internasional.

        Pemerintah juga memberikan bantuan bahan pokok di negara-negara penempatan serta pengalokasian program perluasan kesempatan kerja bagi calon pekerja migran dan keluarganya. Adapun perluasan kesempatan kerja tersebut berupa Program Padat Karya Infrastruktur, Padat Karya Produktif, Inkubasi Bisnis, Teknologi Tepat Guna, dan Tenaga Kerja Mandiri.  

        "Untuk program kartu prakerja, Kementerian Ketenagakerjaan juga telah berkoordinasi beberapa pihak untuk mensosialisasikan program-program tersebut calon PMI dan PMI terdampak Covid-19," ungkap dia. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: