Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kian Represif pada Rakyat, Militer Tembak 2 Pengunjuk Rasa Myanmar

        Kian Represif pada Rakyat, Militer Tembak 2 Pengunjuk Rasa Myanmar Kredit Foto: Reuters/Thar Byaw
        Warta Ekonomi, Yangon -

        Militer Myanmar akhirnya menggunakan “tangan besi” untuk membubarkan unjuk rasa Selasa (9/2/2021) malam waktu setempat.

        Aparat menyerang markas Par­tai Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy/ NLD), dan menembak dua peserta unjuk rasa yang memprotes ku­deta di negara tersebut.

        Baca Juga: Redam Pengunjuk Rasa, Polisi Myanmar Mulai Berani Gunakan Peluru Karet

        Hingga kemarin, belum ada penjelasan resmi dari junta militer atas penyerbuan terse­but. Namun, NLD memberikan pernyataan melalui media so­sialnya. “Diktator militer meng­geruduk dan menghancurkan markas NLD sekitar pukul 20.30 malam,” bunyi pernyataan NLD di halaman Facebook-nya.

        Pada 1 Februari 2021 dini hari, militer melakukan kudeta atas pemerintahan sipil di bawah Presiden Win Mint dan Pemimpin defakto Aung San Suu Kyi. Keduanya ditahan militer di bawah Jenderal Angkatan Darat Min Aung Hliang. NLD yang diketuai Suu Kyi adalah partai pemenang Pemilu November lalu.

        Tindakan represif militer itu, merupakan buntut dari aksi massa dari berbagai elemen di negara yang dulu disebut Burma. Unjuk rasa itu terjadi secara nasional melibatkan ratusan ribu orang. Kendati diancam, demonstrasi terus berlanjut.

        Di berbagai kota, polisi anti huru hara menembaki para pendemo dengan meriam air dan peluru karet. Di Ibu Kota Myanmar, Nay­pyidaw, dan di Kota Mandalay, aparat menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.

        “Mereka melepaskan temba­kan peringatan ke langit dua kali. Kemudian mereka menembak (ke arah pengunjuk rasa) dengan pe­luru karet,” kata seorang warga.

        Seorang dokter di ruang gawat darurat sebuah rumah sakit men­jelaskan, militer juga menggunakan peluru tajam. Dua pria berusia 23 tahun dan 19 tahun berada dalam kondisi kritis di rumah sakit. “Kami yakin itu peluru sungguhan karena luka mereka,” kata dokter itu.

        Kendati direspons militer dengan tangan besi, warga tampaknya tak akan mundur. Salah seorang pendemo bernama Htet Shar Ko menegaskan, mereka tidak akan mundur. “Kaum muda akan terus berjuang melawan rezim, dengan semboyan kami, ‘kediktatoran militer harus gagal’,” katanya.

        Di tempat terpisah, Amerika Serikat (AS), yang memimpin kecaman global atas kudeta tersebut, memperbarui seruannya untuk kebebasan berekspresi di Myanmar, dan menuntut para petinggi militer mundur.

        “Kami mengutuk keras kekerasan ter­hadap demonstran, serta men­desak militer mencabut semua pembatasan telekomunikasi dan menahan diri dari kekerasan,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price.

        Ia menambahkan, permintaan AS untuk berbicara dengan pimpinan Partai NLD Aung San Suu Kyi yang ditahan, ditolak militer.

        Kecaman atas aksi represif mi­liter juga datang dari Perserika­tan Bangsa Bangsa (PBB). Ola Almgren, Koordinator Penduduk dan Kemanusiaan PBB di Myan­mar mengatakan, penggunaan kekuatan yang tidak proporsional terhadap para pengunjuk rasa, tidak dapat diterima.

        Sedangkan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Bor­rell mengatakan, organisasi itu bisa saja menjatuhkan sanksi baru pada militer Myanmar. Namun dia menggarisbawahi, bahwa sanksi itu tidak boleh membuat warga semakin menderita. “Kami saat ini sedang meninjau semua opsi,” kata Borrell.

        Seluruh elemen masyarakat bergabung dalam aksi protes dan mogok kerja. Termasuk para pekerja pengawas penerbangan sipil dan pengawas lalu lintas udara. Hal itu berdampak pada penerbangan internasional yang ingin melewati ruang udara Myanmar, dan akan membebani kas pemerintah. Uang masuk dari penerbangan bisa mencapai hingga 182 ribu dolar AS per hari, atau sekitar Rp 2,5 miliar.

        Tak cuma pekerja di bidang aviasi, sekelompok polisi di wilayah Negara Bagian Kayah, turut serta dalam aksi protes. Mereka berbaris memakai seragam, dan memekik­kan nada-nada protes terhadap junta. “Kami tidak ingin kedikta­toran,” tulisan di sejumlah poster dan spanduk yang mereka bawa.

        Aksi massa yang terjadi di Myanmar saat ini mengingatkan pada pendudukan militer yang berlangsung selama hampir 60 tahun, dan diwarnai gelombang pemberontakan berdarah, hingga militer melepaskan sebagian kekuasaan pada 2011. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: