Menuju Pembangkangan Sipil, Rakyat Myanmar Mulai Lakukan Pemogokan Massal
Myanmar memulai pemogokan massal secara nasional pada Senin (22/2/2021). Hal ini sebagai tindakan lebih berani untuk memprotes kudeta militer dan penangkapan tokoh-tokoh politik nasional.
Meskipun ada jam malam, blokade jalan, dan lebih banyak penangkapan oleh polisi, para pengunjuk rasa menyerukan mogok massal dalam menghadapi ancaman militer itu.
Baca Juga: Gak Bikin Ciut, Nyali Demonstran Myanmar Justru Berapi-api Usai Rekannya Didor Polisi karena...
Para pengunjuk rasa merencanakan pemogokan nasional untuk menutup semua kecuali layanan penting pada hari protes terbesar sejak para jenderal merebut kekuasaan tiga minggu lalu.
Media lokal mengatakan swalayan terbesar di negara itu, City Mart akan tutup bersama dengan swalayan swasta lainnya. Sementara jutaan orang dapat melakukan apa yang disebut revolusi "Lima Dua".
Militer melakukan lebih banyak penangkapan pada Minggu (21/2/2021) malam. Aktor populer Lu Min dibawa militer dari rumahnya setelah mengunggah video yang mengutuk kudeta tersebut. Istrinya menyiarkan langsung kejadian tersebut di media sosial.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan 640 orang kini telah ditangkap sejak kudeta dimulai. Sementara 594 orang masih ditahan. Myint Oo, seorang anggota parlemen, juga termasuk di antara mereka yang ditahan pada Minggu malam.
Internet juga dimatikan untuk malam kedelapan. Pemantau pemadaman dan gangguan layanan internet, NetBlocks mengatakan jaringan turun menjadi 13 persen dari level biasanya pada Senin (22/2/2021) pukul 01.00 pagi.
Dua pengunjuk rasa telah menjadi korban meninggal dalam aksi unjuk rasa paling berbeda di Myanmar. Satu pengunjuk rasa tewas pada Jumat (19/2/2021).
Sementara ribuan orang kemudian berkumpul di ibu kota Naypyidaw pada Sabtu (20/2/2021) untuk pemakaman pengunjuk rasa bernama Mya Thwate Thwate Khaing (20 tahun) yang ditembak di kepala pada protes di ibu kota pada 9 Februari.
Kekerasan telah menimbulkan kekhawatiran dunia. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan penggunaan kekuatan mematikan terhadap pengunjuk rasa damai tidak dapat diterima. Pada Ahad malam, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken juga mengutuk kekerasan tersebut.
"Amerika Serikat akan terus mengambil tindakan tegas terhadap mereka yang melakukan kekerasan terhadap rakyat Burma karena mereka menuntut pemulihan pemerintah yang dipilih secara demokratis," tulis Blinken di Twitter seperti dikutip Al Jazeera, Senin (22/1/2021), merujuk pada Myanmar dengan nama sebelumnya.
AS telah menjatuhkan sanksi kepada Jenderal Senior Min Aung Hlaing, yang memimpin kudeta pada 1 Februari dan perwira militer lainnya. Pemimpin yang terpilih secara populer Aung San Suu Kyi, yang juga pemimpin senior di Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), serta anggota komisi pemilihan ditangkap pada dini hari 1 Februari.
Militer mengeklaim harus merebut kekuasaan karena menuding adanya penipuan dalam pemilihan umum November lalu yang dimenangkan oleh NLD secara telak. Namun komisi pemilihan yang dilakukan telah menolak klaim tersebut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: