Demonstrasi Berdarah Mencekam, Peluru Tajam Polisi Tewaskan 9 Pedemo Myanmar
Seruan ASEAN untuk menahan diri diabaikan Myanmar. Pasukan keamanan Myanmar kembali melepaskan tembakan kepada pengunjuk rasa, Rabu (3/3/2021). Saat berita ini ditulis, sembilan orang dilaporkan tewas sehingga total 31 orang tewas dalam aksi menentang kudeta militer 1 Februari.
Saksi mata menyebutkan, tembakan dengan peluru tajam dilepaskan tanpa banyak peringatan sebelumnya di sejumlah kota. Sedangkan, junta militer tampak kian berkeras untuk menumpas pengunjuk rasa yang memprotes kudeta militer 1 Februari lalu.
Baca Juga: Mencekam, Timah Panas Polisi Hujam 2 Tubuh Demonstran Myanmar
"Mengerikan, ini pembantaian. Tak ada kata yang bisa menggambarkan situasi dan perasaan kami," ujar seorang aktivis, Thinzar Shunlei Yi, dalam pesan tertulis kepada Reuters.
Juru bicara junta militer tak menjawab panggilan telepon ketika dimintai konfirmasinya.
Di pusat Kota Myingyan, seorang remaja belasan tahun ditembak. Pemimpin aksi, Si Thu Maung, mengatakan, awalnya polisi menembakkan gas air mata dan granat kejut. Namun, polisi lalu cepat melepaskan tembakan.
"Mereka tidak lagi melepaskan meriam air, tanpa peringatan untuk membubarkan diri. Mereka (polisi—Red) langsung mengarahkan tembakan," ujarnya.
Jumlah korban terbanyak terjadi di Kota Monywa, tempat lima orang tewas. "Kami telah mengonfirmasi dengan keluarga korban dan dokter. Lima orang terbunuh," ujar editor Monywa Gazette, Ko Thit Sar. "Sekurangnya 30 orang cedera, beberapa orang bahkan tak sadarkan diri."
Polisi di Yangon memerintahkan tiga petugas medis keluar dari ambulans. Polisi menembak kaca depan ambulans lalu menendang dan memukuli petugasnya dengan ujung senapan dan tongkat. Ini terlihat dalam video yang disiarkan Radio Free Asia.
Kantor berita Myanmar Now menyebutkan, pasukan keamanan juga telah menahan sekitar 300 pengunjuk rasa di Yangon. Video yang diunggah di media sosial menunjukkan barisan kaum muda, dengan tangan di belakang kepala, masuk ke dalam truk militer.
Pihak berwenang di Myanmar mendakwa jurnalis Associated Press, Thein Zaw, dan lima personel media lainnya. Thein Zaw (32 tahun) ditahan pada Sabtu pagi di Yangon. Mereka ditahan saat meliput aksi lalu didakwa karena melanggar undang-undang ketertiban umum yang dapat membuat mereka dipenjara hingga tiga tahun.
Dalam kudeta 1 Februari, militer menahan ketua partai National League for Democracy (NLD), Aung San Suu Kyi dan Presiden Myanmar Min Myint. Kudeta dilakukan dengan dalih ada kecurangan dalam pemilihan umum November lalu. Pemilu tersebut dimenangkan oleh NLD.
Kekerasan ini terjadi sehari setelah para menteri luar negeri dari perhimpunan bangsa Asia Tenggara atau ASEAN menyerukan Myanmar menahan diri. Indonesia sendiri menyerukan pembebasan tahanan politik Myanmar dan mendorong Myanmar membuka diri.
"Memulihkan demokrasi kembali ke jalurnya harus dilakukan," ujar Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi, Selasa. "Indonesia menggarisbawahi bahwa keinginan, kepentingan, dan suara rakyat Myanmar harus dihormati."
Kecaman juga datang dari Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong atas penggunaan kekerasan terhadap warga sipil tak bersenjata. Dalam wawancara dengan BBC edisi Selasa, Lee menyerukan Myanmar membebaskan Suu Kyi.
Secara terpisah, Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan mengatakan, meninjau ulang investasi negaranya di Myanmar. Saat ini Singapura adalah investor asing terbesar di Myanmar.
Sedangkan Paus Fransiskus berharap, rakyat Myanmar tidak menderita akibat kekerasan. Ia juga meminta pemerintah militer membebaskan pemimpin sipil.
Ia mengatakan anak-anak muda di seluruh negeri itu pantas memiliki masa depan. "Di mana kebencian dan ketidakadilan memberi jalan pada pertemuan dan rekonsiliasi," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: