Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kisah Perusahaan Raksasa: PTT, Pertamina-nya Thailand Jadi Taipan Minyak Paling Tajir Se-ASEAN

        Kisah Perusahaan Raksasa: PTT, Pertamina-nya Thailand Jadi Taipan Minyak Paling Tajir Se-ASEAN Kredit Foto: Reuters
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        PTT Public Company Limited atau disingkat PTT adalah badan usaha milik pemerintah Thailand yang bergerak dalam bidang minyak dan gas. Perusahaan raksasa ini, yang dahulu dikenal sebagai Petroleum Authority of Thailand, kini menjadi salah satu yang terkaya versi Fortune Global 500.

        Berdasar pada laporan Fortune tahun 2020, PTT menjadi perusahaan terkaya peringkat ke-140 dunia. Ia juga merupakan salah satu dari 50 perusahaan teratas kawasan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN.

        Baca Juga: Kisah Perusahaan Raksasa: Zurich, Konglomerat Asuransi Nomor Wahid di Swiss Sejak Abad ke-19

        Soalnya, PTT mengklaim dirinya sebagai taipan minyak dan gas yang terintegerasi penuh mulai dari operasi hulu, transmisi hingga hilir. Pasarnya juga tak main-main karena sudah mencakup pasar perdagangan minyak internasional.

        Sebab itulah, dalam hitungan Fortune, total pendapatan PTT mencapai 71,50 miliar dolar AS. Tapi sayang, capaian ini sedikit tercoreng karena mengalami penurunan sekitar 1,1 persen di tahun 2020. 

        PTT juga tidak begitu untung karena ia hanya membukukan laba senilai 2,99 miliar dolar tahun itu. Pasalnya, kontraksi penjualan tahun itu menyebabkan nilainya harus turun sekitar 19,2 persen. 

        Wajar jika peringkatnya dalam Fortune merosot 10 poin dari 130 (2019) menuju 140 di tahun ini. Jadi, kunci keuangan PTT tahun ini memiliki aset sebesar 82,95 miliar dolar, sedangkan total ekuitas pemegang sahamnya di angka 29,33 miliar dolar.

        Lebih lanjut, perlu kiranya Warta Ekonomi pada Jumat (5/3/2021) mengulas secara ringkas kisah "Pertamina-nya" Thailand dalam artikel sebagai berikut.

        Produksi minyak Thailand mulai dilirik ketika muncul ide untuk mengurangi ketergantungan negara atas minyak dan bensin impor. Sebab itulah, negara membentuk Departemen Eenergi Pertahan. Tepat tahun 1921, lembaga negara itu mulai mengebor minyak di Cekungan Fang, di utara Thailand. 

        Nasib mujur belum menghampiri Thailand, sebab hingga 1950-an, di titik itu hanya menghasilkan sedikit minyak bumi. Untuk merespons hal itu, lembaga negara itu membangun kilang kecil berkapasitas 1.000 barel per hari di dekat titik itu tahun 1956.

        Pemerintah Thailand telah membentuk Organisasi Bahan Bakar Minyak (OFO) untuk mengalokasikan impor minyak jadi terbatas di negara itu. Salah satunya adalah Summit Industrial Corporation, yang didirikan di Amerika Serikat (AS). Summit kemudian membeli tanah dan mendirikan fasilitas penyimpanannya sendiri.

        Untuk menyelesaikan pengujian fasilitas kilang multiguna yang lebih besar di Bangchak dengan 5.000 barel per hari, Departemen Energi Pertahanan beralih ke Summit. Pada tahun 1965, Summit menandatangani perjanjian operasi dengan pemerintah yang memberikan izin kepada perusahaan untuk memperluas produksi hingga 20.000 barel per hari sambil beroperasi dengan dasar bebas pajak. Sebagai gantinya, Summit setuju untuk membayar 20 juta dolar biaya konstruksi fasilitas tersebut dan menyerahkannya kepada pemerintah pada 1980.

        Thailand saat ini mengalami permintaan yang meningkat pesat untuk produk bahan bakar di negaranya. Dua kilang utamanya --Bangchak dan situs kedua yang lebih besar yang dibangun oleh Shell dan dioperasikan melalui Thai Oil Refinery Corporation-- tidak dapat mengimbangi permintaan.

        Pemerintah menyetujui perluasan kilang, dengan kapasitas pabrik Bangchak dinaikkan menjadi 65.000 barel per hari. Sewa Summit kemudian diperpanjang hingga 1990.

        Harapan Thailand untuk menemukan cadangan minyak dalam negeri skala besar pupus pada pertengahan 1970-an. Meskipun sejumlah kecil cadangan telah ditemukan, negara itu masih sangat bergantung pada impor bahan bakar. Embargo Minyak Arab dan krisis dunia yang diakibatkannya secara khusus menghancurkan Thailand.

        Sebagai tanggapan, pemerintah Thailand membentuk Organisasi Gas Alam Thailand (NGOT), yang berfungsi sebagai mitra OFO. Namun, dengan semakin parahnya krisis ekonomi, pemerintah Thailand pindah untuk mengelompokkan semua operasi bahan bakarnya di bawah satu entitas. Pemerintah mengeluarkan undang-undang pada bulan Desember 1978, membentuk Petroleum Authority of Thailand (PTT).

        PTT mengambil alih NGOT dan OFO. Ia lantas menjadi pemilik kilang Bangchak, yang tetap disewakan kepada Summit.

        Juga pada tahun 1981, PTT mengambil alih operasi Kilang Minyak Thailand sebagai bagian dari perjanjian awal. Perkembangan lain pada tahun itu adalah negosiasi langsung pemerintah Thailand atas kontrak pasokan minyak mentah dengan Arab Saudi. Hal ini pada gilirannya menyebabkan penghentian mendadak sewa Summit atas kilang Bangchak, yang telah sering menjadi lokasi perselisihan perburuhan, hal yang jarang terjadi di Thailand.

        PTT sekarang mengendalikan langsung lebih dari dua pertiga kapasitas kilang negara. Seiring waktu, PTT meningkatkan kapasitas kilangnya, dan pada tahun 1991 fasilitas Bangchak saja telah mendekati 250.000 barel per hari.

        Hanya dalam beberapa tahun yang singkat, PTT telah berkembang dari modal awal sebesar 149 juta bath atau setara 9,68 miliar dolar AS menjadi perusahaan gas dan minyak bumi yang terintegrasi penuh dengan pendapatan lebih dari THB26 miliar. Pada tahun 1988, organisasi telah berkembang hingga mencakup empat ladang gas alam utama, termasuk Erawan, dan lokasi baru di Baanpot, Satun, dan Platong.

        Ledakan (booming) ekonomi Thailand meningkatkan permintaan minyak bumi pada 1990-an. Sebagai tanggapan, PTT mendirikan dua perusahaan kilang baru pada tahun 1992: Kilang Rayong, bermitra dengan Shell Thailand, dan Kilang Minyak Star, bermitra dengan Caltex. 

        Sementara itu, PTT mulai mempersiapkan privatisasi yang akan datang, yang semula dijadwalkan pada 1999. Berdasarkan rencana privatisasi awal, perusahaan akan melakukan spin-off sejumlah unit bisnisnya, sebuah proses yang dimulai dengan penawaran umum PTTEP di 1996. Pada akhir tahun, rencana privatisasi PTT telah direvisi, menyerukan PTT Public Company Plc yang diusulkan untuk mempertahankan semua operasi yang ada.

        PTT akhirnya menjadi perusahaan publik pada November 2001, ketika pemerintah Thailand menjual 30 persen sahamnya. Pencatatan tersebut mengumpulkan sekitar 726 juta dolar untuk pemerintah, yang menghadapi tenggat waktu atas utangnya yang sebesar 17 miliar dolar kepada Dana Moneter Internasional (IMF).

        Sebagai perusahaan teratas di Thailand dan salah satu dari 50 perusahaan terbesar di kawasan pasar ASEAN, PTT menargetkan peningkatan kehadiran di pasar energi internasional. Upaya ini sudah dilakukan pada tahun 1990-an, diawali dengan pembelian 35 persen saham Petroasia, yang pada 1993 mulai membuka bengkel di China.

        Lebih jauh di 2012, PTT membeli sisa 55 persen Sakari Resources, operator tambang batu bara Singapura. Di tahun yang sama pula, PTT mengambil alih Cove Energy plc, yang memiliki 8,5 persen saham di ladang gas alam besar di lepas pantai Mozambik. Yang terakhir, taipan asal Thailand dan Pertamina bermitra untuk membangun kompleks petrokimia baru di Indonesia dengan perkiraan biaya 4–5 miliar dolar.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Muhammad Syahrianto
        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: