Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Tagih Fee ‘Selangit’, Kurator PKPU GRP Diminta Lebih Punya Sense Of Crisis

        Tagih Fee ‘Selangit’, Kurator PKPU GRP Diminta Lebih Punya Sense Of Crisis Kredit Foto: Taufan Sukma
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kasus pemberian status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada PT Gunung Raja Paksi (GRP) terus memunculkan babak baru. Usai membereskan seluruh pembayaran utang yang jatuh tempo, kini pihak GRP harus menghadapi kenyataan atas tagihan fee dari pihak pengurus atau kurator yang dianggap tidak fair dan tidak masuk akal lantaran mencapai Rp80 miliar. Padahal nilai utang pemohon dalam kasus ini, yaitu PT Naga Bestindo Utama (NBU) hanya sebesar Rp1,9 Miliar, sangat jauh di bawah tagihan fee yang disodorkan pihak kurator. “Ini nggak bener. Para pengurus tidak boleh seperti aji mumpung. Dalam meminta fee, pengurus hendaknya sesuai aturan, fair dan tidak mengada-ada. Pesan Pak Yasonna (Menteri Hukum dan HAM) harus sungguh-sungguh jadi perhatian,” ujar Pakar Hukum Bisnis Universitas Trisakti, Ary Zulfikar, di Jakarta, Senin (8/3).

        Akhir pekan lalu, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly memang mengkritisi sejumlah praktik kotor yang dilakukan oknum kurator dengan sengaja menarik fee besar tanpa disesuaikan dengan kondisi dan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Menurut Yasonna hal itu tidak memiliki sense of crisis karena justru berpotensi menambah beban pelaku usaha yang tengah bertahan di saat sulit akibat pandemi COVID19. “Dalam konteks itu, permintaan fee (kurator) hingga Rp80 miliar ini jelas terkesan mengada-ada. Karena utang pemohonnya saja hanya Rp1,9 miliar. Di sisi lain, beban kerja pengurus tidak terlalu rumit karena GRP selaku debitur telah membayar lunas semua utang jatuh temponya sebesar Rp215 Miliar,” tutur Ary.

        Dengan semua utang jatuh tempo yang telah dibayar lunas, menurut Ary, maka pekerjaan pengurus bisa dibilang belum terlalu kompleks. Terlebih, penyelesaian kasus ini adalah melalui pencabutan PKPU berdasarkan Pasal 259 UU Kepailitan dan PKPU, dan bukan melalui upaya perdamaian. Selain itu, Debitur juga sudah membayar semua utang yang jatuh tempo. “Jadi ya sebaiknya kembali lagi ke asas fairness, termasuk juga perhitungan fee berdasarkan jam kerja. Karena sesuai Pasal 5 Permenkumham Nomor 2 tahun 2017, pengaturan fee pengurus hanya mengatur dua kondisi, yaitu dengan perdamaian dan tanpa perdamaian. Perhitungannya sama, yaitu persentase berdasarkan utang yang harus dibayarkan. Dan dalam PKPU, yang dimaksud utang yang harus dibayarkan adalah utang jatuh tempo. Jadi bukan keseluruhan utang, termasuk juga utang jangka panjang,” papar Ary.

        Karena hanya mengatur dua kondisi itulah, lanjut Ary, maka dalam kondisi PKPU berakhir pencabutan sesuai Pasal 259, memang terdapat kekosongan hukum. Namun dalam hal ini Hakim Pemutus bisa memberlakukan mutatis mutandis untuk menetapkan besarnya fee Pengurus, yaitu dengan memperhatikan asas fairness tadi. “Bahwa dalam mempertimbangkan besaran fee pengurus, Hakim Pemutus harus memperhatikan prinsip yang sama seperti Pasal 3 Ayat 2, tentang tingkat kerumitan pekerjaan kurator,” tegas Ary.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Taufan Sukma
        Editor: Taufan Sukma

        Bagikan Artikel: