Kurang Ajar! Junta Militer Buru Warga Sipil Penentang Kudeta Sampai ke Rumah-rumah
Pemerintahan junta militer Myanmar terus berupaya menaklukan kelompok masyarakat penentang kudeta. Mereka kini memberlakukan jam malam. Dan, menangkapi siapa saja yang melanggarnya.
Tak hanya menghalau aksi demonstrasi, aparat keamanan negeri itu kini semakin agresif menangkapi para demonstran. Bahkan, tak segan-segan mengejarnya hingga ke rumah mereka.
Baca Juga: Bikin Junta Militer Sampai Bertekuk Lutut, Biarawati Myanmar Tuai Pujian Rakyat
Hal itu diceritakan Warga Yangon, yang lingkungannya dikepung aparat keamanan, pada Senin malam (8/3/2021).
Dikutip Channel News Asia, kemarin, ratusan pendemo di Distrik Sanchaung, Yangon, diburu aparatur keamanan. Karena, para pemuda itu dianggap melanggar jam malam.
Dalam operasinya, polisi menargetkan apartemen yang memasang bendera Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang menaungi pemimpin de-facto, Aung San Suu Kyi, yang ditahan sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu.
Sejumlah penduduk setempat menuturkan kepada AFP, bahwa pasukan keamanan mulai menggeledah apartemen-apartemen di area tersebut, setelah pemadaman internet yang rutin dilakukan pada malam hari sekitar pukul 01.00 waktu setempat.
“Mereka menggeledah setiap gedung di jalan Kyun Taw, mereka menghancurkan gembok gedung apartemen jika dikunci di lantai bawah,” tutur warga yang tidak menyebut namanya itu.
Penggeledahan di San Chaung itu terjadi setelah tiga demonstran ditembak mati dalam unjuk rasa pada hari yang sama. Banyak pertokoan, pabrik dan bank yang tutup sebagai bagian dari aksi protes melawan kudeta.
Lebih dari sebulan sejak kudeta, aksi protes terus terjadi. Di Distrik Sanchaung, polisi menggunakan senjata dan granat kejut untuk menghadapi massa. Militer juga menegaskan, akan memeriksa rumah warga, dan akan menghukum siapa pun yang ketahuan menyembunyikannya pengunjuk rasa.
Warga setempat mengaku dirinya mendengar ada puluhan orang yang ditangkap. Menjelang fajar, atau kemarin, pasukan keamanan mulai mundur dan membiarkan beberapa demonstran kabur dari area tersebut.
Dilansir AFP, ratusan pengunjuk rasa anti Junta Myanmar, akhirnya berhasil bebas dari kepungan tentara di sebuah distrik di Yangon. Pembebasan dilakukan setelah tekanan dari Barat dan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).
Aktivis Shar Ya Mone yang turut dibebaskan mengatakan, tadinya mereka dikurung di gedung. Dengan sekitar 15 hingga 20 orang lainnya. Mereka tertahan selama beberapa jam hingga akhirnya bisa bebas dan pulang.
“Kami pulang naik tumpangan gratis. Warga menyambut para pengunjuk rasa,” kata Ya Mone, dikutip Reuters.
Pengunjuk rasa lain memposting di media sosial, bahwa mereka diperkenankan meninggalkan kawasan itu sekitar pukul lima pagi. Setelah pasukan keamanan mundur. Pembebasan dilakukan setelah Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres menyerukan pembebasan para pengujuk rasa dengan aman, tanpa kekerasan. Seruan itu juga dikeluarkan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) dan Inggris, di Myanmar.
Juru bicara Junta belum merespons terkait pembebasan para pengunjuk rasa. Tapi, teve pemerintah MRTV mengatakan, kesabaran pemerintah telah habis. Dan Pemerintah Myanmar mencoba meminimalkan korban saat menghentikan kerusuhan.
“Warga menginginkan stabilitas penuh dan menyerukan tindakan yang lebih efektif terhadap kerusuhan,” bunyi pernyataan di stasiun teve itu.
Seperti dilansir AFP, kemarin, laporan kantor HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebut pasukan keamanan Myanmar memblokir ruas jalanan pada satu blok area permukiman di San Chaung, Yangon, pada Senin malam (8/3/2021), dengan sekitar 200 demonstran masih ada di dalam area tersebut.
San Chaung yang ramai dengan kafe, bar dan restorannya, telah berubah sejak unjuk rasa meluas, dengan barikade darurat dari bambu, karung pasir, tumpukan meja dan kawat berduri dipasang para demonstran dalam upaya memperlambat gerak pasukan keamanan.
Tekanan Meluas
Aksi protes terhadap terhadap junta telah berubah jadi gerakan pembangkangan sipil. Yang telah melumpuhkan aktivitas bisnis pemerintah, buntut dari pemogokan di bank, pabrik, dan toko yang tutup. Selain itu, saat ini Uni Eropa sedang bersiap untuk memperluas sanksi untuk menargetkan bisnis yang dijalankan tentara.
Di tempat lain, tekanan terhadap Junta terus membesar. Bahkan, dari pejabat diplomatik Myanmar di luar negeri. Duta Besar (Dubes) Myanmar di Inggris mengaku, mendukung gerakan protes dan pembangkangan sipil warga. Selain itu, sang Dubes juga menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi.
Sejak kudeta dilancarkan pada awal Februari lalu, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), lebih dari 60 orang tewas di tangan pasukan keamanan dan menahan lebih dari 1.800 warga.
Militer Myanmar menolak bertanggung jawab atas hilangnya nyawa dalam unjuk rasa dan menegaskan perebutan kekuasaan yang dilakukan karena adanya kecurangan meluas dalam pemilu November tahun lalu, yang dimenangkan NLD.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: