Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Terkuak! AS Pernah Ingin Buat Jalur Alternatif Terusan Suez Melalui Israel Gunakan 520 Bom Nuklir

        Terkuak! AS Pernah Ingin Buat Jalur Alternatif Terusan Suez Melalui Israel Gunakan 520 Bom Nuklir Kredit Foto: SINDONews/Yahoo
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Amerika Serikat (AS) pernah mempertimbangkan proposal untuk menggunakan 520 bom nuklir guna membuat jalur alternatif ke Terusan Suez melalui Israel pada 1960-an. Hal itu terungkap dari sebuahmemo yang tidak diklasifikasikan atau dirahasiakan.

        Rencana tersebut tidak pernah terwujud, namun memiliki jalur air alternatif ke Terusan Suez begitu berguna di situasi saat ini. Sebuah kapal kargo raksasa terjebak di jalur Terusan Suez dan memblokade salah satu rute pengiriman paling vital di dunia itu.

        Baca Juga: Kapal Selebar Lapangan Sepak Bola Mampet di Terusan Suez, Lusinan Kapal Logistik Tertahan

        Menurut memorandum 1963, yang dideklasifikasi pada tahun 1996, rencananya akan mengandalkan 520 bom nuklir untuk membuat jalur air. Memo itu menyerukan penggunaanbom nuklir untuk penggalian kanal Laut Mati melintasi gurun Negev.

        Sejarawan Alex Wellerstein menyebut rencana itu sebagai proposal sederhana untuk situasi Terusan Suez di Twitter pada hari Rabu lalu.

        Memorandum tersebut berasal dari Laboratorium Nasional Lawrence Livermore yang didukung oleh Departemen Energi AS.

        Memorandum itu menyarankan penggunanaan nuklir untuk penggalian akan menjadikan permukaan laut sebagai kanal sepanjang 160 mil melintasi Israel.

        Menurut memo itu metode penggalian konvensional akan sangat mahal. Tampaknya bahan peledak nuklir dapat digunakan secara menguntungkan untuk situasi ini.

        "Kanal seperti itu akan menjadi alternatif strategis yang berharga untuk Terusan Suez saat ini dan mungkin akan memberikan kontribusi besar bagi pembangunan ekonomi," kata Wellerstein, seperti dilansir dari Business Insider, Jumat (26/3/2021).

        Sebagai bagian dari model penetapan harga, memorandum tersebut memperkirakan bahwa empat perangkat 2-megaton akan dibutuhkan untuk setiap mil, yang dihitung oleh Wellerstein sebagai "520 nuklir" atau 1,04 gigaton bahan peledak, tweetnya.

        Salah satu kemungkinan rute yang diusulkan memorandum itu membentang melintasi gurun Negev di Israel, menghubungkan Mediterania ke Teluk Aqaba, membuka akses ke Laut Merah dan Samudra Hindia.

        Pihak laboratorium mencatat bahwa ada 130 mil gurun pasir yang hampir tidak berpenghuni, dan dengan demikian setuju dengan metode penggalian nuklir.

        "Penyelidikan awal yang kasar menunjukkan bahwa penggunaan bom untuk membuat kanal melalui Israel tampaknya berada dalam jangkauan kelayakan teknologi," kata memo itu.

        Tetapi memo tersebut memahami bahwa satu masalah, yang tidak dipertimbangkan oleh penulisnya, mungkin kelayakan politik, karena kemungkinan negara-negara Arab di sekitar Israel akan sangat keberatan dengan pembangunan kanal semacam itu.

        Memo itu muncul saat Komisi Energi Atom AS sedang menyelidiki penggunaan "ledakan nuklir damai" (PNE) untuk menggali infrastruktur yang berguna, Forbes melaporkan pada 2018. Ada juga rencana untuk menggunakan metode ini untuk menggali kanal di Amerika Tengah, Forbes melaporkan.

        Namun proyek PNE tetap eksperimental, setelah AS menemukan bahwa 27 eksperimen dengan PNE sangat meradiasi daratan. Komisi Energi Atom juga dihapuskan pada tahun 1974.

        Sementara itu, Laboratorium Nasional Lawrence Livermore masih ada. Menurut situs webnya, laboratorium itu didedikasikan untuk memastikan keselamatan, keamanan dan keandalan penangkal nuklir negara.

        Memorandum 1963 juga datang kurang dari satu dekade setelah krisis Suez, konflik untuk penguasaan jalur air strategis yang merupakan peristiwa penting dalam Perang Dingin.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Alfi Dinilhaq

        Bagikan Artikel: