- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
DEN: Pemanfaatan FABA Bisa Dongkrak Ekonomi Nasional, Bisa Tembus Rp4,1 T per Tahun
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Agus Puji Prasetyono menilai pemanfaatan Fly Ash and Bottom Ash (FABA) atau abu hasil pembakaran batubara di PLTU atau industri sangat besar dan menjanjikan.
Hal tersebut diakatakan langsung dalam Webinar Ruang Energi “Optimalisasi Pemanfaatan Faba Sumber PLTU Untuk Kesejahteraan Masyarakat” di Jakarta Rabu (14/4/2021). Baca Juga: KLHK Dorong PLTU Jawa 9 dan 10 Sebagai Role Model Pembangkit Ramah Lingkungan
Menurut dia, hal tersebut bisa bermanfaat lantaran batubara menjadi sumber energi utama khususnya d PLTU di Tanah Air.
"Faba bukan masuk kategori B3. Dan bisa dijadikan bahan campuran semen, bahan bangunan, konblok, dan lainnya. Faba sesuai PP No.22/2021 tidak termasuk limbah B3," katanya.
Lanjutnya, tercatat hingga kini konsumsi batubara di Indonesia sekitar 151 juta ton per tahun.
"Bisa dibayangkan, berapa besarnya Faba yang dihasilkan di Indonesia dan bisa diolah kembali. Faba bisa diolah menjadi aneka produk baru bernilai ekonomi tinggi." katanya. Baca Juga: Pemanfaatan FABA Perlu Regulasi yang Mendukung
Sambung dia, "Ini tantangan bagi kita semua, khususnya pelaku industri terkait, termasuk UMKM yang makin banyak dan kreatif," katanya lagi.
Pasalnya, menurut dia, Faba yang dihasilkan industri di Indonesia dapat memberikan peluang untuk pemberdayaan UMKM nasional.
"Proses ini akan sangat membantu, karena limbah dari proses industri langsung diolah dan dimanfaatkan menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi," jelasnya.
Selain itu, ia mengatakan jika menurut perhitungan DEN, industri pengolah Faba, bisa mendorong penciptaan lapangan kerja baru sampai 566.000 orang lebih, dengan nilai yang dihasilkan mencapai kisaran Rp4,1 triliun per tahun.
"Ini potensi ekonomi yang sangat besar dan menjanjikan di tengah kondisi pandemi yang belum berakhir," tukanya.
Sementara itu, Ketua Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI) Antonius R.Artono, mengatakan dari potensi Faba yang dihasilkan Indonesia setara 5 juta ton sampai 7 juta ton, atau baru sekitar 10%.
"Ke depan bisa lebih dioptimalkan lagi, sekaligus menarik bagi investor untuk terjun langsung ke bisnis masih terbuka luas ini," katanya.
Menurut dia, banyak sektor-sektor usaha yang bisa digarap dari Faba ini. Seperti, bahan campuran semen, bahan baku konblok, atau bahan kontruksi lainnya.
"Secara ilmiah, Faba aman dan bisa digunakan untuk bahan baku industri di Indonesia. Oleh karenanya, perlu regulasi yang jelas dan pro pada investor termasuk kemauan memberdayakan UMKM lokal terutama di sektar industri dan PLTU penghasil Faba," kata Antonis.
Namun, kendati demikian, ia mengatakan pemanfaatan Faba harus tetap menggunakan produk iptek yang baik dan ramah lingkungan.
"Bila perlu, mulai pemanfaatan batubara dilakukan dengan teknologi ramah lingkungan."
"Dan Faba yang dihasilkan diolah menjadi produk lain yang bernilai tinggi dengan teknologi baik dan ramah lingkungan. Dengan begitu, penggunaan batubata dan Faba yang dihasilkan bukan lagi momok yang menakutkan. Tapi sebaliknya menjadi aset ekonomi yang bernilai tinggi," tambahnya.
Adapun Ketua YLKI Tulus Abadi mengusulkan kepada pihak industri khususnya PLTU untuk memberikan insentif kepada warga terdampak FABA di sekitar PLTU atau industri pengguna batubara lainnya.
"Penggunaan batubara sebagai bahan baku industri atau energi fosil lainnya akan selalu meninggalkan dampak negatif bagi lingkungan. Dampak ini yang harus terus ditekan semaksimal mungkin," katanya.
Menurut dia, pemberian insentif bagi warga sekitar industri termasuk PLTU adalah sesuatu yang mendesak untuk dilakukan.
Terlebih, selama ini mereka menerima dampak negatif langsung dari pebakaran batubara.
Namun, yang menjadi anehnya, kini pemerintah berwacana untuk menaikkan tarif listrik pada kuartal IV tahun 2021.
"Pemerintah harus fair dong. Kalau biaya pokok produksi (BPP) listrik turun, seharusnya tarif listrik juga turun, bukan sebaliknya akan dinaikkan," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil