Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Perusahaan Seluler di Myanmar Galau, Sudah Merugi Miliaran Dolar Juga Terancam Tangan Besi

        Perusahaan Seluler di Myanmar Galau, Sudah Merugi Miliaran Dolar Juga Terancam Tangan Besi Kredit Foto: Reuters/Stringer
        Warta Ekonomi, Yangon -

        Penutupan operator telekomunikasi oleh junta militer Myanmar, menimbulkan dilema bagi perusahaan telekomunikasi Barat. Salah satunya yaitu perusahaan telekomunikasi Telenor asal Norwegia.

        Sejak milite Myanmar menutup jaringan komunikasi, Telenor telah mengalami kerugian. Pada pekan ini, Telenor mengalami kerugian 783 miliar dolar AS.

        Baca Juga: Dampak Kudeta Junta Makin Jelas, Setengah Populasi Myanmar Diramalkan Jatuh Miskin

        Telenor merupakan salah satu investor asing terbesar di Myanmar. Saat ini perusahaan harus memutuskan apakah akan keluar dari kekacauan, atau menarik diri dari pasar yang tahun lalu menyumbang 7 persen dari pendapatannya.

        "Kami menghadapi banyak dilema," ujar Kepala Eksekutif Telenor Sigve Brekke mengatakan kepada Reuters pekan ini.

        Brekke menyoroti masalah yang dihadapi perusahaan internasional di bawah pengawasan yang meningkat di Myanmar. Brekke mengatakan, sejauh ini Telenor belum memiliki rencana untuk hengkang dari Myanmar.

        Meskipun Telenor mendapat pujian karena mendukung demokrasi, kelompok aktivis telah lama menyuarakan keprihatinan tentang hubungan bisnis dengan militer. Hubungan bisnis tersebut telah meningkat sejak tentara mengambil alih kendali negara.

        Pakar PBB tentang Myanmar, Chris Sidoti mengatakan, Telenor harus menghindari pembayaran pajak atau biaya lisensi yang dapat mendanai militer.

        Seorang juru bicara Kementerian Perdagangan, Industri dan Perikanan Norwegia, yang mewakili pemerintah Norwegia sebagai pemegang saham, mengatakan pada hari Kamis bahwa Telenor saat ini menghadapi beberapa dilema di Myanmar.

        "Dari perspektif tata kelola perusahaan, investasi di Myanmar merupakan tanggung jawab Dewan dan Manajemen perusahaan. Dalam kerangka kerja ini, Kementerian sebagai pemegang saham terus berdialog dengan baik dengan Telenor mengenai situasi tersebut," ujar juru bicara itu.

        Telenor beroperasi di bawah kekuasaan militer di Pakistan dan Thailand, di mana Telenor menantang junta Thailand atas perintah untuk memblokir akses media sosial. Pada waktu yang hampir bersamaan, Telenor mendaftarkan pelanggan pertamanya di Myanmar.

        CEO Telenor pada saat itu, Jon Fredrik Baksaas mengatakan kepada Reuters bahwa, Telenor telah berpikir banyak  tentang risiko bahwa eksperimen Myanmar dengan demokrasi tidak akan bertahan lama.

        "Tapi kami berpendapat pada saat itu, ketika kami masuk ke perusahaan barat yang memberikan telekomunikasi di suatu negara, kami berdiri juga dengan tanggung jawab, dan sedikit jaminan bahwa semuanya dilakukan dengan benar," kata Baksaas.

        Posisi Telenor mendapat dukungan internasional, pada saat Barack Obama menjadi Presiden AS pertama yang mengunjungi Myanmar pada 2012. Ketika itu junta militer secara resmi dibubarkan dan pemerintahan semu sipil telah dilantik.

        Pemerintah Norwegia, yang memiliki saham mayoritas di Telenor, telah lama mendukung demokrasi di Myanmar. Pada1991, Komite Nobel Norwegia memberikan Hadiah Nobel Perdamaian kepada Aung San Suu Kyi. Suu Kyi yang memenangkan suara dalam pemilihan umum tahun lalu, ditangkap oleh militer ketika melancarkan kudeta pada 1 Februari.

        Telenor adalah salah satu dari dua operator asing yang diberikan lisensi pada 2013, bersama Qatar's Ooredoo. Operator lain di Myanmar adalah MPT dan Mytel yang didukung negara, yang sebagian dimiliki oleh perusahaan yang terkait dengan militer.

        Sekitar 95 perden dari 187 juta pelanggan Telenor di seluruh dunia berada di Asia, dan memiliki sekitar 18 juta pelanggan di Myanmar.

        Bagi Telenor, menjalankan bisnis di Myanmar memiliki tantangan, termasuk mencoba menghindari hubungan komersial dengan militer. Mantan CEO Baksaas mengatakan, selama beberapa minggu pertama setelah mulai beroperasi di Myanmar, staf harus duduk di lantai kantor karena Telenor menolak untuk membayar suap kepada petugas bea cukai untuk furnitur yang diimpor.

        Baksaas juga mengatakan, mereka harus menavigasi risiko korupsi saat memperoleh tanah untuk membangun menara seluler. Kemudian ada urusan dengan militer, yang kepentingan ekonominya berkisar dari tanah hingga perusahaan yang terlibat dalam pertambangan dan perbankan.

        Kelompok aktivis Justice for Myanmar mengatakan dalam laporan tahun 2020 bahwa, Telenor telah menunjukkan kegagalan yang mengkhawatirkan dalam uji tuntas hak asasi manusia atas kesepakatan yang dicapai pada 2015. Kesepakatan itu yaitu untuk membangun menara bergerak yang melibatkan kontraktor militer.

        Laporan lain oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2019 mengatakan, Telenor menyewa kantor di gedung yang dibangun di atas tanah milik militer. Laporan itu mengatakan perusahaan-perusahaan di Myanmar harus mengakhiri semua hubungan dengan militer karena pelanggaran hak asasi manusia.

        Seorang juru bicara Telenor mengatakan dalam email pada 9 April kepada Reuters bahwa, mereka telah membahas masalah kesepakatan 2015. Itu adalah satu-satunya pilihan yang layak, mengingat faktor keamanan.

        "Telenor Myanmar telah difokuskan agar memiliki sedikit kontak dengan militer dan tidak memiliki hubungan langsung dengan entitas yang dikendalikan militer," kata juru bicara itu.

        Sejak kudeta, Telenor memutuskan hubungan dengan tiga pemasok setelah menemukan hubungan dengan militer. Seperti operator lain, Telenor membayar biaya lisensi kepada pemerintah yang sekarang dikendalikan militer pada bulan Maret.

        Salah satu pemegang saham utama Telenor, KLP Norwegia mengatakan, pihaknya telah berdialog dengan Telenor setelah kudeta untuk memastikan mereka mengidentifikasi risiko hak asasi manusia.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: