Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ampun Gusti, Industri Hasil Tembakau Jangan Cuma Dijadikan Sapi Perah Dong!

        Ampun Gusti, Industri Hasil Tembakau Jangan Cuma Dijadikan Sapi Perah Dong! Kredit Foto: Antara/Candra Yanuarsyah
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Firman Soebagyo meminta agar pemerintah dalam membuat peraturan perundang-undangan terkait Industri Hasil Tembakau (IHT) harus mengedepankan keadilan. 

        "Industri hasil tembakau ini faktanya hanyalah menjadi sapi perah oleh pemerintah dan negara, kenapa jadi sapi perah?" ucapnya dalam Webinar bertema "Intervensi Rezim Kesehatan dan Ancaman Sektor Pertembakauan" di Jakarta, Kamis (27/5/2021).

        Firman mengungkapkan, industri hasil tembakau selalu diklaim sebagai penyebab kematian terbesar menurut hasil riset yang dilakukan oleh kelompok anti tembakau, namun di sisi lainnya pemerintah juga menggunakan penerimaan cukai untuk kepentingan kesehatan.

        "Bahkan di dalam kebijakan peraturan menteri (Permen) nomor 7 kami melihat sama sekali tidak ada keberpihakan kepada petaninya. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka tentang Industri Hasil Tembakau (IHT) ini harus diberikan satu payung hukum perlindungan," tuturnya kembali.

        Baca Juga: Cukai Hasil Tembakau Buat Danai Kesehatan Dinilai Inkonstitusional, Kok Bisa?

        Baca Juga: Wacana Larangan Total Iklan Rokok Dinilai Tak Adil, Ini Alasannya

        Baca Juga: Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Rokok Cegah Perusahaan Kecil Mati

        Ekonom senior Indef, Enny Sri Hartati menilai kenaikan cukai tahun ini terlalu eksesif bagi industri pertembakauan. Akibatnya, justru kenaikan cukai tak berdampak positif sesuai tujuannya.

        Hingga saat ini, kata Enny, kenaikan cukai malah menyakiti industri, kemudian dinilai gagal menurunkan prevalensi perokok. Bappenas mencatat pada 2019, diharapkan prevalensi merokok anak usia 10-18 tahun sebesar 5,4%, namun yang terjadi mengalami peningkatan menjadi 9,1%.

        "Dengan penerapan cukai yang eksesif malah produksi turun, namun prevalensi tetap tak berkurang," katanya dalam kesempatan yang sama.

        Enny juga mencatat kenaikan cukai juga merugikan negara. Pasalnya, produksi menurun namun konsumsi tetap meningkat dengan rokok ilegal kini menjadi pilihan di tengah harga rokok yang naik.

        Ia menuturkan, ketika harga rokok legal naik dna daya beli masyarakat menurun, sehingga permintaan rokok ilegal malah meningkat. Artinya, menurunkan prevalensi tak tercapai, padahal persoalannya bukan terhadap rokok legal.

        Menurut penelitian Indef, kerugian akibat rokok ilegal pada 2020 sebesar Rp4,38 triliun, jika diestimasikan lewat data penindakan DJBC sebesar 5%. "Itupun yang ditindak, faktanya banyak rokok ilegal yang tidak ditindak," serunya.

        Sebagai informasi, beberapa waktu lalu Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) meminta pemerintah agar bersikap adil terhadap petani dan pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) mengingat besarnya kontribusi industri ini terhadap pendapatan negara.

        Selama ini IHT telah menyumbang banyak pendapatan negara lewat cukai. Kementerian Keuangan mencatat penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) per November 2020 mencapai Rp146 triliun.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Fajar Sulaiman
        Editor: Fajar Sulaiman

        Bagikan Artikel: