Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pencabutan SKB 3 Menteri Dinilai Tidak Terapkan Asas Transparansi

        Pencabutan SKB 3 Menteri Dinilai Tidak Terapkan Asas Transparansi Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Mahkamah Agung (MA) membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah pada Mei 2021 lalu. Namun, hingga saat ini dokumen yang menjadi landasan putusan MA masih belum dikeluarkan. Hal ini menyiratkan tidak adanya sikap transparansi oleh lembaga hukum.

        Banyak pihak yang menyesalkan tindakan MA ini, salah satunya adalah psikolog klinik Ifa Hanifah Misbach. Dia mengatakan, MA tidak bersikap transparan karena tidak membiarkan publik mengetahui proses sampai hasil keputusan tersebut.

        Baca Juga: Dibatalkan MA, Berikut Pasal yang Dilanggar SKB 3 Menteri Soal Seragam Sekolah

        "Sampai hari ini kita tidak bisa mengakses dokumen putusan tersebut sehingga keputusan jadi terkesan terburu-buru dan tertutup. Ini mencerminkan tidak adanya verifikasi mendalam atas berbagai pelanggaran aturan berjilbab di berbagai provinsi," ujar Ifa melalui diskusi virtual Seruan Indonesia: Hentikan Perundungan dan Intimidasi Lewat Aturan Berbusana, Jumat (4/6/2021).

        Padahal, menurut Ifa, SKB 3 Menteri tentang aturan seragam sekolah sudah sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia yang ingin melindungi hak semua warga negaranya. Dalam hal ini, hak yang dimaksud adalah hak setara bagi anak dan perempuan untuk tidak diancam wajib menggunakan jilbab dan juga tidak melarang bagi yang ingin menggunakan jilbab.

        Hal tersebut diamini oleh Direktur Eksekutif Kalyanamitra Lilis Listyowati. Lilis mengatakan, konstitusi di Indonesia melindungi hak setiap masyarakatnya untuk kemudian memiliki kebebasan dalam menentukan keputusannya sendiri.

        "Karena sekali lagi, kita berbicara Indonesia, berarti kita berbicara keberagaman. Kita tidak hanya berbicara satu kultur, satu agama, atau satu ras," tukas Lilis.

        Oleh karena itu, seharusnya tidak ada unsur pemaksaan atas apapun dan kebebasan individu dalam memilih sesuatu harus dijunjung tinggi, termasuk keputusan cara berpakaian.

        Atas dasar tersebut, Ifa meminta Komisi Yudisial MA untuk memeriksa ketiga hakim yang telah membatalkan SKB 3 Menteri. Dia menilai, ketiga hakim tersebut tidak meminta masukan komprehensif dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dan keterwakilan unsur-unsur masyarakat lain yang mengalami kerugian atas intimidasi aturan berpakaian.

        Psikolog klinik tersebut menyampaikan, berdasarkan data dari Komnas Perempuan, setidaknya terdapat 62 aturan wajib jilbab di 24 provinsi Indonesia. Awalnya, aturan tersebut menyasar kepada Aparatur Sipil Negara (ASN), guru, dan dosen perempuan. Namun kemudian, aturan tersebut meluas kepada pelaku seni, Ibu Rumah Tangga (IRT), ahli hukum, dokter, dan profesi-profesi lainnya.

        "Intinya, kami menolak tindakan diskriminasi pada anak dan perempuan. Karena setiap anak dan perempuan berhak memiliki kuasa atas tubuh mereka," tegas Ifa.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Imamatul Silfia
        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: