Haru Biru Perjuangan Ayah Hermanto Tanoko, Kini Jadikan Anaknya Konglomerat Sukses!
Pengusaha Hermanto Tanoko menceritakan perjuangan almarhum sang ayah, Soetikno Tanoko saat pertama kali tiba di Indonesia tahun 1948. Melalui video YouTube 'KISAH SUKSES HERMANTO TANOKO, CRAZY RICH SURABAYAN, BAKTINYA KE ORANG TUA SUNGGUH MENGHARUKAN', sebelum membuka toko cat, Soetikno merupakan pengusaha Polowijo di Singosari.
Hari pertama datang ke Indonesia, beliau langsung bekerja dan belajar bahasa Indonesia dari para petani. Sehingga saat sudah menikah, memiliki rumah dan toko, sepeda motor dan lain-lain, tiba-tiba ada peraturan bahwa WNA tidak boleh berdagang. Saat itu, surat tanda WNI Soetikno belum jadi sehingga semua hartanya dijual murah dan ia harus kembali ke China karena tidak bisa melakukan apa-apa di Indonesia.
Baca Juga: Masya Allah Bikin Terkagum-kagum, Rentetan Kunci Sukses Jusuf Hamka Beda dengan Pengusaha Lain!
Tahun itu, Hermanto Tanoko belum lahir. Ia diceritakan orang tuanya sempat tidak mendapatkan kapal dan tinggal di emperan wihara. Sehari-hari orang tuanya hanya makan seadanya karena penghasilan dari penjualan harta yang dimiliki hanya cukup untuk hidup sehari-hari. Orang tua Hermanto di emperan wihara sampai enam bulan.
Hingga suatu hari, nenek dari ibu Hermanto yang tinggal di Pasuruan meminta mama papa Hermanto untuk ke Pasuruan. Meski papanya mengaku malu, tapi akhirnya mengiyakan karena tak tega dengan istri dan anak-anaknya. Di situlah ayah Hermanto, Soetikno Tanoko membuka toko polowijo, join dengan adik iparnya.
Setelah satu tahun lebih, ayah Hermanto memboyong keluarganya ke Malang sehingga bisnis polowijo itu diserahkan kepada adik iparnya. Keluarga sederhana ini pindah ke Malang hanya dengan menyewa rumah 1x1,5 meter dengan atap seng. Mereka tinggal di rumah tersebut sampai tahun 1964.
Mama Hermanto menjual baju-baju yang tadinya hendak dibawa ke China di depan rumahnya untuk menambah penghasilan. Papanya masih bekerja di Singosari, naik sepeda dari Malang dan menjual hasil bumi. Setiap hari, keluarganya hanya memakan nasi jagung, ikan teri, sayur, bahkan untuk makan telur saja sudah hal yang mewah.
Suatu hari, saat mama Hermanto mendapat penghasilan lebih, ia membeli satu ekor ayam dan dibuat opor. Namun, karena rumahnya hanya sepetak, tetangga pun tahu dan meminta opor ayam tersebut satu potong.
Hingga malam tiba, sekeluarga itu pun hendak memakan opor ayam, tetapi ayahnya yang baru pulang kerja, marah dan mengatakan, "Kita belum saatnya makan ayam!".
"Jadi ayam itu malah gak dimakan dan diberikan ke tetangga sama mama," kenang Hermanto.
Papanya ingin mengajarkan bahwa jangan mengonsumsi sesuatu yang belum pantas untuk didapatkan. Bahkan, jika tidak punya uang, papanya akan menunduk kalau jalan karena takut disangka tukang minta-minta. Sampai dua tahun lamanya, ayah Hermanto tak menerima undangan.
Hingga pada tahun 1962, ia diajak oleh adik tirinya, Suwandi Tanoko ke suatu tempat yang ramai untuk membuka toko. Ayahnya pun semangat, namun tidak punya modal. Alhasil, Soetikno Tanoko meminjam uang kepada rekannya yang harganya setengah kilogram emas dan diberikan. Bahkan, jika usahanya gagal, Soetikno tidak dibebankan untuk membayar kembali pinjaman tersebut.
Awalnya, papa Hermanto Tanoko ingin membuka bisnis polowijo, tetapi tak jadi karena lahannya tidak cukup. Akhirnya dibukalah toko cat impor yang dititipkan oleh teman-temannya. Toko kecil itu merupakan cikal bakal dari PT Avia Avian yang memproduksi cat Avian yang kini terkenal.
Soetikno Tanoko memulai toko cat saat Hermanto lahir di tahun 1962 pada bulan September. Soetikno belajar mencampur cat sendiri hingga akhirnya semakin pintar, banyak orang yang meminta dibikinkan warna sesuai permintaan. Sepanjang berbisnis, peraturan pemerintah pun semakin ketat dan cat impor dibatasi.
Alhasil, keuntungan Soetikno pun semakin banyak lalu pada tahun 1964, ia sudah bisa membeli rumah. Istrinya pun membuka toko kelontong sehingga memberikan contoh kerja keras kepada anak-anaknya, termasuk Hermanto Tanoko.
Hermanto diajarkan berbisnis sejak usia 5 tahun. Kala itu, setiap perayaan Imlek Hermanto akan diarahkan oleh orang tuanya untuk membelanjakan angpau yang ia dapat untuk membeli beberapa barang yang harganya akan naik, mulai dari terigu, biskuit, telur dan sebagainya. Sejak saat itulah, Hermanto mulai akrab dengan investasi.
Sejak usia 8 tahun, Hermanto sudah diajak dan dikenalkan orang tuanya tentang bisnis. Diberitahu produk apa saja yang bagus, yang mahal, presentase keuntungannya berapa, dan lain sebagainya.
Hingga pada tahun 1970an, keluarganya berhasil pindah rumah seluas 1.000 meter persegi. Di samping rumah itu, ada apotek yang hendak dijual. Lalu ayahnya menawarkan apotek itu kepada Hermanto, dan Hermanto mengiyakan untuk mengelola.
Setiap hari sepulang sekolah, Hermanto sudah bekerja sampai malam. Lalu, pukul 4 sampai 5 pagi ia belajar dan mengerjakan tugas sekolahnya.
Saat ia berusia 14 tahun, ia diberi tantangan oleh orang tuanya untuk mengelola apotek. Setelah apotek tersebut dibeli, setiap pulang sekolah Hermanto menjaga apotek tersebut sampai malam. Sayangnya, apotek itu sangat sepi karena banyak obat yang kosong. Padahal, ia memiliki 15 karyawan dan hanya satu resep yang datang per hari.
Akhirnya, Hermanto keliling ke apotek yang ramai hingga ia bertekad untuk menjadikan apotek yang dikelolanya menjadi apotek No. 1 di Malang.
Dengan berkeliling mempelajari apotek-apotek yang ramai, Hermanto mencatat berapa margin yang dan keuntungan yang didapat dari setiap obat. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk meminta tambahan modal dari sang ayah agar bisa membeli obat secara cash.
Saat itu, membeli obat secara cash bisa mendapat diskon 15-20% dari PBF (Pabrik Besar Farmasi) pada tahun 1976. Dari diskon itulah Hermanto mendapatkan untung dan menjual obat dengan harga murah dan gratis ongkos kirim bagi resep yang obatnya kosong agar bisa dicarikan dahulu.
Tak butuh waktu lama, dalam kurang dari satu tahun, apotek tersebut ramai sekali hingga Hermanto menggambarkan bahwa ia tidak bisa duduk saking ramainya.
Selain itu, demi kenyamanan pelanggan, obat-obatan juga akan diantar jemput gratis. Hermanto mengelola apotek itu selama enam tahun sampai akhirnya menikah.
"Saya hal obat apapun tanpa melihat kartu stock, padahal ribuan," ujarnya.
Setelah menikah, pada tahun 1978, Hermanto diajak papanya membantu di pabrik cat. Saat itu papanya baru saja membeli pabrik cat dengan 18 karyawan di Sidoarjo.
Hari pertama bekerja yakni 1 November, terjadi devaluasi. Sehingga nilai pabrik yang baru dibeli ini menurun. Tetapi, papa Hermanto Tanoko sangat ulet dan pekerja keras. Meski memiliki mobil sedan, papa Hermanto Tanoko naik bis sejak jam 5 pagi, pulang jam 7 malam sehingga selalu membawa makan pagi, siang, malam.
Padahal saat itu, papa Hermanto sudah pindah rumah lagi ke komplek elit yang lebih besar. Bahkan, mamanya tidak lagi membuka toko kelontong.
"Rumah besar, punya mobil, punya pabrik, tapi papa kerja pakai bis," ujar Hermanto.
Hermanto bergabung dengan perusahaan sang papa pada tahun 1982 bulan Desember dan efektif pada tahun 1983. Dan apotek yang awalnya dikelola, diserahkan kepada kakaknya yang perempuan, dan telah dikembangkan menjadi 6 apotek bersama suaminya.
Hermanto mengaku, ia bahkan baru kuliah setelah krisis 1998. Tetapi, Hermanto berujar bahwa pelajaran yang sangat penting diambilnya justru saat bekerja sehari-hari.
Hermanto bercerita, meski orang tuanya sibuk bekerja, tetapi mereka selalu menyempatkan untuk makan malam dengan anak-anaknya. Meski Hermanto pernah pulang larut karena apotek ramai, tetapi ayahnya tetap menunggu. Kalau weekend, biasanya sekeluarga akan makan soto lamongan dan ayam goreng di pinggir jalan.
Hermanto pun meniru pendidikan orang tuanya kepada anak-anaknya. Ia selalu mendekati anak-anaknya sejak kecil dan bertanya kalau besar mau jadi apa.
Setiap dikasih uang bulanan juga setiap akhir bulan harus dibuat laporan untuk apa saja. Anak-anaknya juga harus menyelesaikan S1 baru bekerja di pabrik Hermanto. Meski ada yang ditawarkan S2 dan lain sebagainya, tetapi Hermanto menegaskan agar anaknya bekerja di perusahaan sehingga akan memajukan perusahaan, dan akan dibimbing oleh konsultan yang juga sama hebatnya jika ia kuliah S2.
Keempat anaknya begitu terjun ke perusahaan, sudah sangat ahli sehingga Hermanto tak perlu lagi masuk terlalu dalam. Jika terjadi kesalahan, Hermanto akan senang karena itu menjadi pembelajaran bagi mereka. Bahkan, anak-anaknya juga turut menghargai waktu bersama keluarga.
Karena itulah, Hermanto meminta ketika anak-anaknya kuliah, jangan jauh dari Surabaya.
"Kami tidak mau anak hanya diberikan uang tapi kami tidak mengetahui perkembangan mereka seperti apa," ujar Hermanto.
Hermanto mengaku sebagai ayah ia memiliki ekspektasi tinggi terhadap anak-anaknya sehingga mungkin ini cukup berat untuk anak-anaknya.
Papa Hermanto Tanoko, Soetikno Tanoko mengidap Alzheimer. Hermanto sendiri bercerita papanya sering menanggap ia sebagai adiknya. Pada 1 November 2020, Soetikno Tanoko meninggal dunia pada usia 95 tahun.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajria Anindya Utami
Editor: Fajria Anindya Utami
Tag Terkait: