Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pandemi Covid-19, Rektor Ini Bicarakan 5 'Alarm' Bahaya

        Pandemi Covid-19, Rektor Ini Bicarakan 5 'Alarm' Bahaya Kredit Foto: Instagram/Didik Junaedi Rachbini
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ada lima hal yang harus diperhatikan dalam krisis pandemi Covid-19 ini.

        Begitu disampaikan Rektor Universitas Paramadina, Prof. Dr. Didik J. Rachbini dalam diskusi berjudul "Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Fondasi Ekonomi & Agenda Pembangunan di Indonesia yang digelar Paramadina Public Policy Institute (PPPI).

        Baca Juga: Anies Terangkan Pemakaman Covid-19 Jakarta: Protap Naik Pesat hingga Puncaknya...

        Selain Didik, hadir pembicara lain yaitu Managing Director PPPI A. Khoirul Umam, PhD, Ekonom Senior Indef Faisal Basri, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin dan Direktur Eksekutif CORE Indonesia Muhammad Faisal, PhD.

        Lima masalah itu, sebut Didik adalah; fiskal rapuh dan utang besar, tidak memadai dalam kepemimpinan dan kebijakan mengatasi Covid-19, jatuh menjadi negara menengah ke bawah atau middle income trap, ketergantungan ekonomi politik terhadap China, dan kehilangan prinsip bebas aktif.

        "Kelima masalah ini harus menjadi perhatian agar kelak Indonesia tidak mundur ke belakang," kata Didik.   

        Lalu, Didik menjelaskan satu persatu masalah tersebut. Pertama, fiskal yang rapuh dan utang besar. Sebelum krisis, pemerintah Indonesia cenderung menggenjot utang untuk membangun infrastruktur, tetapi dengan efisiensi rendah sehingga ICOR terlihat tinggi. 

        Setelah covid, pemerintah memutuskan utang setiap tahun sangat tinggi, sekitar 1.225 triliun rupiah tahun lalu dan lebih tinggi lagi tahun ini. "Ini akan menjadi warisan dan jebakan berbahaya bagi presiden berikutnya," warningnya.

        Kedua, masalah kepemimpinan dan kebijakan yang tidak memadai dalam mengatasi Covid-19, sehingga Indonesia termasuk yang parah dalam kasus harian dan kasus kematian. "Kepemimpinan diuji saat krisis. Dengan hasil seperti ini kepemimpinan dalam penangan Covid jauh dari memadai," tuturnya.   

        Ketiga, Indonesia jatuh menjadi negara menengah bawah karena pertumbuhan rendah. "Jika ekonomi terus tumbuh rendah saat ini dan masa mendatang, maka Indonesia potensial masuk ke dalam jebakan kelas menengah (middle  income trap), yang tidak mampu menerobos menjadi negara berpendapatan tinggi," jelasnya.

        Keempat, ketergantungan ekonomi dan politik terhadap China sangat tinggi. "Indonesia mengalami defisit sangat besar dalam neraca perdagangan dengan China. Defisit turun sedikit karena Covid dan tidak bisa impor maksimal tetapi defisit ini bersifat laten dan akan melemahkan sektor ekonomi luar negeri Indonesia. Nilai tukar rupiah akan selamanya lemah, apalagi dirundung defisit jasa, yang juga laten," kata Didik.

        Kelima, Indonesia sekarang secara politik kehilangan prinsip bebas aktif. Politik laur negerinya sangat lemah, jauh dibandingkan di masa lalu, misal semasa kepemimpinan Ali Alatas.  Kemudian Didik menilai bahwa kepemimpinan Indonesia dalam masyarakat internasional terutama ASEAN sangat jauh sekali jika dibandingkan dengan pada masa Ali alatas seorang diplomat Indonesia yang pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia tahun 1988-1999.

        “Saya melihat bahwa kepemimpinan Indonesia di dalam masyarakat internasional terutama ASEAN saja itu jauh sekali dibandingkan dengan masa-masa Ali Alatas walaupun income waktu itu sangat rendah, belum terlalu tinggi,” ucap Didik. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: