Polemik mengenai mahalnya harga pemeriksaan PCR di Indonesia kembali mencuat setelah adanya informasi terkait perbandingan tarif PCR di India.
Dalam sejumlah pemberitaan diketahui bahwa Pemerintah India memangkas tarif PCR dari 800 Rupee menjadi 500 Rupee atau sekitar Rp96.000.
Sedangkan di Indonesia, Kementerian Kesehatan melalui Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 menetapkan tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR sebesar Rp900.000 atau sekitar 10 kali lipat dari tarif di India.
Mahalnya tarif pemeriksaan PCR di Indonesia tentu berdampak pada upaya Pemerintah dalam memutus rantai penularan Covid-19.
Banyaknya kasus pasien Covid-19 tanpa gejala dan mahalnya tarif pemeriksaan, menghambat sejumlah warga untuk melakukan tes PCR secara mandiri.
Berdasarkan penjelasan dari Kementerian Kesehatan, mahalnya tarif pemeriksaan karena bahan baku untuk tes PCR masih bergantung pada impor dan harga reagen yang mahal.
Dari penjelasan yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 2 (dua) permasalahan.
"Pertama, tidak ada biaya impor yang dibebankan kepada Pelaku Usaha untuk produk test kit dan reagent laboratorium. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepaeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dijelaskan bahwa atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa pembebasan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 salah satunya tes PCR," kata Peneliti ICW wana Alamsyah dalam rilisnya.
Dia menambahkan tidak adanya biaya impor barang tentu akan mempengaruhi komponen dalam menyusun tarif PCR.
"Yang menjadi masalah adalah publik tidak pernah diberikan informasi mengenai apa saja komponen pembentuk harga dalam kegiatan tarif pemeriksaan PCR," terangnya.
Kedua, hasil penelusuran ICW menemukan bahwa rentang harga reagen PCR yang selama ini dibeli oleh pelaku usaha senilai Rp180.000 hingga Rp375.000.
Jika dibandingkan antara penetapan harga dalam Surat Edaran milik Kementerian Kesehatan dengan harga pembelian oleh Pelaku Usaha, gap harga reagen PCR mencapai 5 kali lipat.
Kementerian Kesehatan pun tidak pernah menyampaikan mengenai besaran komponen persentase keuntungan yang didapatkan oleh Pelaku Usaha yang bergerak pada industri pemeriksaan PCR.
Kebijakan yang dibuat tanpa adanya keterbukaan berakibat pada kemahalan harga penetapan pemeriksaan PCR dan pada akhirnya hanya akan menguntungkan sejumlah pihak saja.
"Dari sejumlah permasalahan tersebut, ICW mendesak agar:
1. Kementerian Kesehatan segera merevisi Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan PCR.
2. Kementerian Kesehatan segera membuka informasi mengenai komponen penetapan tarif PCR kepada publik.
3. Kementerian Kesehatan harus memberikan subsidi terhadap pemeriksaan PCR yang dilakukan secara mandiri," kata Wana.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat