Balitbangtan Tawarkan Opsi Soft Integration atau Integrasi Parsial untuk BRIN
Forum Komunikasi Profesor Riset Kementerian Pertanian menawarkan dua opsi integrasi kelembagaan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Balitbangtan di Kementerian Pertanian ke Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN.
Dua opsi itu, soft integration dan integrasi parsial, merupakan hasil kajian knowledge sector innitiative, yang diyakini lebih baik dari opsi lain.
Demikian diungkapkan oleh Ketua Forum Komunikasi Profesor Riset Kementerian Pertanian Tahlim Sudaryanto pada Alinea Forum bertajuk "Dampak Peleburan LPNK dan Litbang K/L ke BRIN", Kamis (19/8).
Dikatakan, hasil kajian ini sudah disampaikan di berbagai forum. Bukan hanya di internal Kementan, tapi juga di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi dan Sekretariat Negara. Kajian ini sepenuhnya hasil Forum yang diketuai Tahlim.
Pada opsi soft integration, jelas Tahlim, kelembagaan tetap melekat di kementerian, tetapi program dan anggaran dikoordinasikan oleh BRIN.
Pada opsi ini, keterkaitan riset dengan kebijakan/program kementerian masih terjaga, tidak menimbulkan gejolak dalam masa transisi.
Menurutnya, BRIN memang tidak memiliki kekuasaan penuh dalam koordinasi apabila opsi ini dipilih. Akan tetapi, Tahlim meyakini opsi ini bisa menguatkan skema Prioritas Riset Nasional (PRN) 2020-2024.
Pada opsi integrasi parsial, kata Tahlim sebagian unit kerja litbang bertransformasi menjadi lembaga nonlitbang, dan sebagian berintegrasi dengan BRIN.
Jika opsi dipilih, Tahlim menggarisbawahi perlunya pengunduran deadline integrasi ke BRIN tidak dipatok akhir tahun 2022.
Selain itu, tambah Tahlim, jabatan fungsional peneliti (JFP) masih dimungkinkan pada lembaga baru yang dibentuk Kementan. Selain itu, sebagian besar JFP bisa berintegrasi dengan BRIN secara penuh.
Integrasi litbang di kementerian/lembaga (K/L) menjadi salah satu yang didorong pemerintah. Lewat surat 22 Juli 2021, MenPAN-RB Tjahjo Kumolo meminta pejabat pembina kepegawaian di 48 K/L untuk memastikan pengalihan peneliti di litbang ke BRIN tuntas 31 Desember 2022.
Tersedia tiga opsi integrasi: integrasi total, integrasi parsial atau konversi ke nomenklatur, tugas, dan fungsi berbeda.
BRIN akan menerima program, SDM priset, dan aset lain. Untuk menjamin karier, BRIN dan K/L akan memetakan dan menentukan pejabat fungsional peneliti yang dialihkan atau tidak dialihkan. Bagi yang tidak dialihkan ke BRIN, pejabat fungsional bisa beralih ke jabatan fungsional di K/L.
Menanggapi rencana peleburan itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta Azyumardi Azra menyebut ini sebagai bentuk negara yang rakus. Azyumardi sangsi inovasi dan riset di Tanah Air dapat berjalan baik lantaran ada pretensi negara untuk menguasai lembaga penelitian.
"Saya kira ini menunjukkan apa yang disebut oleh Taufik Abdullah sebagai negara yang rakus (greed state). Negara yang rakus itu adalah negara yang ingin menguasai segala sesuatu," kata Azyumardi.
Bentuk kerakusan negara terhadap lembaga riset juga terlihat dari rencana meleburkan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) bidang iptek, yakni Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Bahkan, kata dia, BRIN juga akan meleburkan litbangjirap di seluruh k/L yang berjumlah 48. Juga Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) di 34 provinsi. Menurutnya ini mencerminkan kerakusan untuk berkuasa.
Integrasi dalam skala raksasa itu dikhawatirkan menghilangkan otonomi kelembagaan litbangjirap. Ini bertentangan dengan semangat reformasi yang memberi otonomi yang lebih besar pada lembaga ilmu pengetahuan.
Dia sangsi riset dan inovasi akan berjalan baik ke depan dalam kondisi dikendalikan oleh sebuah struktur yang gemuk namun minim SDM. Jangan dulu soal apa bisa melakukan riset dan inovasi, soal kelembagaan saja lagi-lagi mengatakan nafsu besar tenaga kurang.
“Apa punya kemampuan melakukan riset dan inovasi? Apalagi inovasi yang terpusat/tersentralisasi di BRIN," kata guru besar sejarah itu.
Menurut Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI 2006-2011 Jan Sopaheluwakan, lanskap iptek di Indonesia dewasa ini kian tidak jelas.
Iptek didikte para politikus dan dihela oleh kepentingan politik yang transaksional. Ini membuat arah kebijakan iptek amat pragmatis dan tidak sinkron.
Bahkan, kata dia, perkembangan terbaru berpotensi terjadi tumpang tindih kewenangan antara Kemendikbudristek yang berlevel kementerian dengan BRIN yang hanya berbentuk badan. Sekarang ada dualisme (otoritas) antara Kemendikbudristek dengan BRIN.
Menurut Sopaheluwakan, dualisme tersebut berdampak buruk pada proses pengambilan kebijakan ilmu pengetahuan, teknologi, riset, dan inovasi. Padahal, antara ilmu pengetahuan, teknologi, riset, dan inovasi saling berkait tetapi berbeda satu sama lain.
Gonjang-ganjing integrasi ke BRIN, kata dia, hanya kelanjutan apa yang terjadi di LIPI saat dipimpin Laksana Tri Handoko -- yang juga Kepala BRIN saat ini.
Menanggapi sengkarut itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari melihat sejumlah kemungkinan membatalkan keberadaan BRIN yang hendak mengintegrasikan litbangjirap berbentuk LPNK maupun litbang di kementerian/lembaga.
Menurut Feri, peluang itu bisa dilihat dari tidak padunya Pasal 48 UU Nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan Pasal 1 angka 1 Perpres No. 33 Tahun 2021 tentang BRIN.
Penjelasan Pasal 48 ayat (1) ditulis, yang dimaksud "terintegrasi" adalah upaya mengarahkan dan menyinergikan antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang litbangjirap untuk menghasilkan invensi dan inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional.
"Sementara Pasal 1 angka 1 Perpres 33/2021 menyatakan, Badan Riset dan lnovasi Nasional, yang selanjutnya disingkat BRIN, adalah lembaga pemerintah yang menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi," papar dia.
Hal lain yang bisa dipersoalkan adalah kedudukan BRIN dan BRIDA. Khususnya terkait masalah anggaran dan kewenangan.
BRIN, kata dia, merupakan lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. BRIDA dibentuk oleh pemerintah daerah. BRIDA di bawah BRIN tetapi anggarannya dibebankan ke pemerintah daerah.
Hal lain yang mengejutkan dia adalah Ketua Dewan Pengarah ex-officio berasal dari unsur Dewan Pengarah badan yang menyelenggarakan pembinaan ideologi Pancasila. "Ini ya BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Bu Megawati (Ketua Dewan Pengarah BPIP) penentunya," kata dia.
Padahal, kata dia, BPIP bukanlah lembaga yang tepat untuk menduduki posisi itu.
BPIP dibentuk melalui perpres, yang kedudukannya lebih rendah dari aturan yang membentuk BRIN, yakni undang-undang. Sebagai lembaga yang dimandatkan UU, kata dia, seharusnya BRIN tidak dikendalikan lembaga yang payung hukumnya hanya peraturan presiden.
"Secara tugas dan fungsi menurut Perpres BPIP, badan ini tidak ditugaskan dalam kepentingan riset dan inovasi. Hanya berkaitan dengan ideologi pancasila dalam pendidikan dan pelatihan," jelas dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat