Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan, proses amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 masih sangat panjang. Karena itu, pihak yang keberatan tidak perlu emosional dengan proses ini.
"Perjalanan masih panjang. Jadi, tidak usah marah-marah apalagi sampai kebakaran jenggot. Karena MPR saat ini hanya melaksanakan tugas konstitusional yang menjadi rekomendasi MPR periode sebelumnya," kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya, Jumat (20/8).
Baca Juga: Bamsoet Ajak Wujudkan Makna Kemerdekaan dari Berbagai Sudut Pandang
Saat ini, Bamsoet mengatakan, Badan Pengkajian MPR sedang menyelesaikan kajian terhadap Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Ia berharap hasil kajian yang dilakukan Badan Pengkajian MPR terkait PPHN bisa selesai awal 2022.
Namun, ia mengatakan, persetujuan amendemen UUD 1945 untuk menghadirkan PPHN sangat bergantung pada dinamika politik, keputusan partai politik, dan DPD.
“Apabila semua pimpinan partai politik sudah sepaham serta sepakat dan menugaskan anggotanya untuk mengajukan dukungan tanda tangan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR yang terdiri dari DPR dan DPD, barulah pimpinan MPR RI akan mengurus teknis administrasi pengajuan usul amendemen,” kata dia.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mempertanyakan urgensi dari rencana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 saat ini.
"Apa masalah besar bangsa dan negara pada saat sekarang ini? Apakah masalah besar bangsa negara itu sumber persoalannya dari konstitusi, dari undang-undang dasar, saya kira itulah pertanyaan yang memang harus terjawab, sehingga kelihatan nanti urgensi apa enggak," ujar Hamdan dalam acara kajian di kanal Youtube, Jumat (20/8).
Menurut dia, masalah besar bangsa Indonesia yang paling nyata dalam dua tahun terakhir adalah pandemi Covid-19. Karena itu, Hamdan mempertanyakan apakah masalah-masalah tersebut karena UUD atau akibat tidak adanya Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau kini disebut Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sehingga timbul rencana perubahan konstitusi.
Menurut hasil riset yang dilakukannya, sumber persoalan justru akibat tidak konsistennya pengambilan kebijakan politik, bukan bersumber dari konstitusi. Karena itu, Hamdan mengatakan, tidak ada urgensi untuk melakukan amendemen UUD 1945 saat ini.
Hamdan mengatakan, amendemen satu pasal akan membutuhkan perubahan pada pasal lain yang bukan hanya terkait PPHN.
"Jadi, kalau satu pasal sudah sempat masuk, sudah pasti ada kebutuhan untuk mengubah pasal lain untuk melihat Undang-Undang Dasar sebagai satu sistem," ujar Hamdan.
Guru Besar Ilmu Politik Fisip UIN Syarif Hidayatullah Saiful Mujani mengatakan, adanya rencana MPR menghadirkan kembali GBHN atau PPHN justru memperlemah demokrasi presidensial. Saiful mengatakan, jika MPR membuat GBHN yang harus dipatuhi presiden, posisi MPR di atas presiden.
Menurut dia, hal itu menyalahi demokrasi karena mandat yang diberikan rakyat kepada anggota MPR setara dengan mandat yang diberikan kepada presiden. "Tidak boleh ada yang lebih berwenang menurut dasar demokrasi mereka," ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajria Anindya Utami
Tag Terkait: