Perusahaan pelayaran berbasis di Panama, Shining Shipping S.A menggugat Jaksa Agung ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, penggugat merasa keberatan dengan adanya penyitaan 51% saham PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) di PT Hanochem Shipping.
Menanggapi gugatan tersebut Pakar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada, Muhammad Fatahillah Akbar mengatakan pada dasarnyaShining Shipping S.A masuk sebagai pihak ketiga yang memiliki itikad baik dan seharusnya dilindungi oleh undang-undang.
Namun dirinya menyarankan agar Shining Shipping S.A tidak hanya menggugat Jaksa Agung di PTUN namun juga mengajukan keberatan terhadap Pengadilan Tipikor wilayah hukum kasus tersebut. Hal itu sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca Juga: Kejaksaan Buat Meme, Pengamat: Kejaksaan itu Tugasnya Menegakan Hukum, Bukan Membuat Meme
Pasal itu menyebutkan bahwa: “Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan."
"Aksi hukum Shining Shipping S.A tersebut adalah hal yang wajar, lantaran merasa dirugikan terkait penyitaan yang dilakukan oleh penyidik Kejaksaan Agung," ujar Akbar kepada wartawan, Rabu 25 Agustus 2021.
"Pada dasarnya memang masuk sebagai pihak ketiga yang beritikad baik. Dalam konteks ini, seharusnya juga mengajukan keberatan terhadap Pengadilan Tipikor wilayah hukum kasus tersebut sebagaimana Pasal 19 UU Tipikor. Shinning Shipping bisa juga mengajukan praperadilan terhadap penyitaan tersebut," ujarnya lagi.
Sebelumnya Akbar menyebut jika penegakan hukum yang salah bisa mempengaruhi ekosistem pasar modal ataupun dunia investasi sebuah negara, apalagi jika investasi tersebut melibatkan negara lain. Ia lantas mencontohkan ketika penegak hukum melakukan penyidikan ke lembaga-lembaga tertentu, otomatis saham perusahaan yang terdampak ikut jatuh dan jika ternyata pihak yang terdampak adalah perusahaan asing maka efeknya sudah tidak sesederhana yang dibayangkan.
"Untuk itulah bagaimana pasar modal dan penegakan hukum itu harus berintegrasi dengan baik. Seharusnya kalau ada penegakan hukum terhadap dugaan tindak pidana di sebuah perusahaan atau yang menyangkut pasar modal, seharusnya prinsip good corporate governancenya tetap harus dijaga," kata Akbar.
Menurutnya, kasus penyitaan aset dalam kasus Jiwasraya-Asabri ini pun mirip dengan kasus First Travel. Di mana sebanyak 1000 calon jamaah umrah dirugikan dalam kasus tersebut. "Sekarang uang para jamaah itu di mana? Uangnya dirampas untuk negara, sesuatu hal yang luar biasa melanggar hak asasi manusia. Apa logikanya hingga uang dalam kasus first travel itu harus dirampas untuk negara?," ujarnya.
Baca Juga: Survei Nasional SMRC: Publik Menilai Kinerja Kejaksaan Semakin Buruk
Kondisi itu, kata Akbar membuktikan bahwa Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP itu masih sangat lemah, karena tidak memiliki prosedur penyitaan pada aset yang tersebar secara kompleks. Ia menegaskan, dalam pasal 39 sampai 49 KUHAP menyebut bahwa penyitaan hanya bisa dilakukan jika keputusan sudah berkekuatan hukum tetap.
"Ini dipertegas dalam pasal 18-19,yang mengatakan penyitaan terhadap aset dalam pembayaran uang pengganti dilakukan 1 bulan, ketika tidak dibayar 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap," ujarnya.
Akbar pun kembali memberikan contoh upaya hukum yang dilakukan KPK dalam kasus M Nazaruddin. "Dalam penanganan kasus tersebut, KPK tidak melakukan pembekuan investasi Nazaruddin di saham Garuda Indonesia, kenapa? Saat itu pertimbangannya adalah, jika dibekukan kemungkinan akan merugikan Garuda dan pasar modal sekaligus makin merugikan negara juga. Ini adalah metode improvisasi dari KPK yang saya rasaharus diapresiasi dan ditiru oleh Kejaksaan," imbuhnya.
Sementara Fauzi Jurnalis dari Jurnalis & Ponto Law Firm sebagai kuasa hukum dari Shining Shipping SA memberikan penjelasan mengenai gugatan tersebut. "Klien kami yang bernama Shining Shipping S.A. (selaku Penggugat pada Perkara Tata Usaha Negara No. 199/G/2921/PTUN-JKT tanggal 20 Agustus 2021) adalah perusahaan yang bergerak di bidang pendanaan perkapalan yang berkedudukan di Panama serta merupakan kreditur yang sah dari PT Hanochem Shipping berdasarkan perjanjian pinjaman yang dibuat sejak 2012," ujar Fauzi dalam keterangan resmi.
Fauzi mengatakan bahwa pemegang saham dalam PT Hanochem Shipping adalah PT Trada Alam Minera Tbk selaku pemegang 51% saham dan Mitsui O.S.K. Lines, Ltd (perusahaan asing berkedudukan di Jepang) selaku pemegang 49% saham.
Menurutnya, terkait fasilitas pinjaman yang diberikan kepada PT Hanochem Shipping, maka berdasarkan Hukum Keperdataan Indonesia, pinjaman tersebut telah diberikan jaminan berupa Kapal yang benama LNG Aquarius milik PT Hanochem Shipping dan 51% saham PT Trada Alam Minera Tbk pada PT Hanochem Shipping, sebagaimana dimuat pada Akta Hipotek Pertama yang diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan dan Akta Notaril Perjanjian Gadai Saham.
"Bahwa dengan adanya proses penyidikan atas dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana dan investasi pada PT Asabri (persero) yang melibatkan sdr Heru Hidayat sebagai tersangka, kemudian Kejaksaan Agung telah melakukan penyitaan terhadap objek-objek yang sudah diikat sempurna sebagai jaminan pembayaran hutang kepada Shining Shipping S.A, yakni Kapal LNG Aquarius dan Gadai 51% Saham milik PT Trada Alam Minera Tbk pada PT Hanochem Shipping," katanya.
Baca Juga: Dakwaan Korporasi Skandal Jiwasraya Batal, Pakar: Ini Bukti Turunnya Kualitas Kejaksaan
Ia pun mengatakan alasan pihaknya mengajukan gugatan Tata Usaha Negara melawan Jaksa Agung. Yaitu karena Jaksa Agung tidak pernah membalas secara formal serangkaian surat keberatan dan penjelasan yang telah diajukan oleh kliennya. Yaitu sesuai dengan kedudukan kliennya selaku kreditur sekaligus pemegang jaminan yang sah terhadap objek-objek yang disita.
"Klien kami sangat berkeberatan dengan tindakan penyitaan yang dilakukan oleh Jaksa Agung dan para bawahannya terhadap objek-objek yang sudah diikat sebagai jaminan pembayaran hutang kepada Shining Shipping S.A," ujarnya.
Fauzi mengatakan bahwa tindakan Jaksa Agung tersebut telah merugikan kepentingan Shining Shipping S.A. selaku kreditur yang menjalankan usaha dengan iktikad yang baik, karena dilakukan tanpa mengindahkan prinsip ketelitian dan mengabaikan hak-hak kliennya yang dijamin oleh Hukum Negara Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri