Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Menimbang Wacana Pajak Karbon Demi Lingkungan yang Asri

        Menimbang Wacana Pajak Karbon Demi Lingkungan yang Asri Kredit Foto: Antara/Galih Pradipta
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Semakin majunya industri yang berbanding lurus dengan konsumsi energi membikin emisi gas CO2 meningkat drastis sejak 1950-an. Demi mengurangi emisi karbon yang berdampak negatif bagi lingkungan hidup, Indonesia berencana untuk menarik pajak karbon pada tahun depan.

        Rencana tersebut tertuang dalam Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang tengah dibahas Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Komisi XI DPR RI. Rencananya, pemerintah bakal mengenakan pajak karbon sebesar Rp75 per kg karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

        "Salah atau instrumen untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca adalah diperlukan ketentuan mengenai pengenaan pajak karbon," papar Menkeu Sri Mulyani saat rapat dengan Komisi XI DPR, (8/7/2021).

        Baca Juga: Jaga Daya Saing Indonesia, Pengamat Dorong Pemerintah Realisasikan Pajak Karbon

        Dijelaskan juga, subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Adapun, pajak karbon yang berlaku yakni barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu dan pada periode tertentu.

        Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo memastikan besaran pungutan pajak karbon tidak akan membebani pelaku usaha dan penerapannya dilakukan pada waktu yang tepat.

        Menurutnya, pemerintah tidak sekadar menerapkan pajak karbon untuk menambah penerimaan negara, melainkan juga untuk memenuhi komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris, utamanya terkait penurunan emisi karbon.

        "Akan dipilih sektor tertentu yang kontribusinya besar dan cukup siap untuk dipungut pajak karbon. Serta akan dikaitkan dengan insentif non-fiskal agar memberi daya dukung lebih kuat bagi investasi dan transformasi ekonomi," kata Prastowo dalam kespempatan yang sama.

        Saat ini, lanjutnya, pemerintah sedang memetakan berbagai pungutan yang bertujuan untuk mengurangi emisi karbon, termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pajak daerah. Ketentuan ini akan diintegrasikan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penerapannya ke depan.

        "Ini pentingnya mendesain bagaimana formulasi pajak karbon yang efektif untuk mencapai tujuan, tapi sekaligus tidak menjadi beban dengan pajak berganda," kata Prastowo.

        Prastowo sampaikan, pemerintah telah mengundang berbagai lapisan masyarakat, seperti asosiasi pelaku usaha, akademisi, dan aktivis lingkungan untuk memformulasikan pajak karbon yang adil.

        "Masih cukup waktu bagi kita untuk berdiskusi, baik pemerintah, dewan perwakilan rakyat, pelaku usaha, dan aktivitas untuk memberi masukan agar kebijakan pajak karbon didesain secara holistik dan komprehensif. Kita memerlukan pertimbangan yang adil dan memperhatikan pemulihan ekonomi," tukasnya.

        Tingkatkan PDB RI

        Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti berharap pajak karbon bisa menjadi salah satu alat kebijakan yang efektif untuk mempercepat implementasi ekonomi hijau, memberikan fasilitas untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global, dan mendorong transformasi ekonomi hijau dan berkelanjutan.

        Pasalnya, menurut Amalia, ekonomi hijau dapat mendorong terjadinya pengembangan industri hijau. Sehingga nantinya bakal menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih hijau atau dikenal dengan green jobs.

        "Ekonomi hijau di dalamnya industri hijau akan mendukung penciptaan green jobs," bebernya dalam webinar pajak karbon yang digelar Tax Centre UI, beberapa waktu lalu.

        Dilihat dari referensi internasional (IRENA, 2017), sekitar 11,3 juta pekerjaan di seluruh dunia ini berasal dari energi terbarukan, yang merupakan cakupan dari ekonomi hijau. Sekitar 62% darinya berada di Asia. Sekitar 1,7 juta pekerja Indonesia berada pada sektor energi terbarukan pada tahun 2040 (IESR).

        Oleh karenanya, dia menekankan bahwa ekonomi hijau tidak akan memberikan dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi nasional. Justru sebaliknya, ekonomi hijau dapat memberikan dampak positif dengan terciptanya lapangan kerja baru.

        "Paradigma sekarang yang harus kita yakini adalah penerapan ekonomi hijau tidak akan memberikan trade off terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi penerapan ekonomi hijau ini akan menjadi new sources of economy growth Indonesia di masa mendatang," jelasnya.

        Bahkan menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), penerapan kebijakan yang tepat untuk mempromosikan ekonomi hijau mampu menciptakan 24 juta lapangan kerja pada tahun 2030. Dari 163 sektor yang dianalisis, hanya 14 sektor yang akan mengalami kehilangan pekerjaan dengan beralihnya investasi kepada sektor-sektor hijau.

        "Ini akan dikompensasi dengan terciptanya lapangan pekerjaan baru dari sektor-sektor lain. Sehingga nanti secara netto, akan tercipta lapangan kerja baru yang lebih green," ujarnya.

        Ia juga meyakini ekonomi hijau ini akan menjadi sumber baru pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang.

        Baca Juga: Bappenas: Ekonomi Hijau Tingkatkan Lapangan Kerja, Jadi Sumber Baru Pertumbuhan Ekonomi

        Hasil dari penelitian Bappenas menunjukkan, ekonomi sirkular dapat menghasilkan tambahan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp593 triiliun hingga Rp638 triliun pada 2030. Sementara itu, ekonomi sirkular akan meningkatkan pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 0,6% pada 2030.

        "Rata-rata baseline ekonomi kita sekarang kira-kira 4,9% berdasarkan PDB potensial. Kalau saja kita bisa menerapkan ekonomi sirkular secara konsisten maka akan mengangkat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,6%. Sehingga, nantinya diperkirakan ekonomi Indonesia bisa tumbuh pada 5,5%," beber Amalia.

        Dia bilang, "potensi industri hijau di Indonesia cukup besar. Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi hijau yang cukup tinggi dibandingkan dengan India, Filipina, Afrika Selatan, dan Brasil."

        Pengusaha Keberatan

        Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengaku keberatan atas wacana pemerintah yang ingin memberlakukan pajak karbon. Pasalnya, kebijakan ini bakal berdampak secara luas tidak hanya pada industri, termasuk masyarakat Indonesia itu sendiri.

        APBI ingin pengenaan pajak karbon ini ditunda lantaran perlu dikaji secara komprehensif. Banyak faktor yang melingkupi wacana ini sehingga membutuhkan waktu yang panjang.

        "Kami telah menyampaikan masukan kepada DPR agar sebaiknya pajak karbon ini ditunda dulu agar dibahas lebih komprehensif mengingat potensi dampaknya," tutur Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia kepada Warta Ekonomi, belum lama ini.

        Hendra juga meminta pemerintah untuk mengkaji korelasi antara pajak karbon dengan perdagangan karbon. Menurutnya, pajak karbon hanyalah salah satu dari instrumen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Bahkan, belum banyak negara yang menerapkan pajak karbon. Di Asia Tenggara sendiri, baru Singapura yang menerapkan.

        "Bahkan China, negara penghasil batu bara terbesar 4 miliar ton satu tahun, belum ada pajak karbonnya. Di Australia, dibatalkan. Jadi, perlu dipelajari dulu secara matang. Ini kan mendadak baru bulan Juli lalu. Tak usah terburu-buru," ungkapnya.

        Baca Juga: Fokus Pemanfaatan EBT, Jerman Mulai Hentikan PLTU Batu Bara

        Dia pun mempertanyakan pemanfaatan dana dari pajak karbon ini bakal digunakan untuk apa. Apakah hanya untuk penerimaan negara atau untuk memitigasi perubahan iklim. "Ini kan belum jelas," singkatnya.

        APBI sendiri mempunyai komitmen yang sama dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mengingat Indonesia masuk ke dalam Perjanjian Iklim Paris. Perjanjian Paris merupakan kesepakatan global untuk menghadapi perubahan iklim.

        "Kami juga kerja sama dengan Apindo untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan program-program karena Indonesia masuk dalam Perjanjian Paris," bebernya.

        Bertahap & Sederhana

        Tenaga Ahli Tax Centre Universitas Indonesia (UI) Titi Muswati meminta pemerintah untuk memikirkan cara agar tidak terjadi pemungutan pajak ganda saat pajak karbon nantinya diterapkan.

        Sebelumnya, pemerintah telah memiliki pajak yang terkait dengan penurunan emisi karbon seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) atas kendaraan bermotor yang dipungut oleh pemerintah pusat.

        Sementara di tingkat provinsi, pemerintah daerah menarik Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dan pajak air permukaan.

        "Perlu dipetakan agar tidak ada over tax burden. Apakah aturan pajak terebut nanti akan dilebur atau disilangkan," ujar Titi di kesempatan yang sama.

        Ia juga meminta pemerintah untuk membuat insentif pajak karbon bagi pelaku industri yang berhasil menurunkan emisi karbon. Karenanya, perlu dipetakan terlebih dahulu insentif yang dapat diberikan. Menurutnya, penerapan pajak karbon juga harus dilakukan secara bertahap. Saran lainnya ialah dalam waktu dekat pemerintah perlu mengenakan cukai atas komoditas yang menimbulkan emisi karbon melalui peraturan pemerintah terlebih dahulu.

        "Dibandingkan undang-undang, pembuatan PP membutuhkan waktu relatif singkat," katanya.

        Sementara dalam jangka panjang, pemerintah bisa melanjutkan pembuatan desain pajak karbon yang lebih komprehensif.

        "Pembuatan pajak karbon sebaiknya dipisahkan dari RUU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). UU berkaitan dengan pajak karbon yang lebih teknis pelu dibuat secara transparan, komprehensif, dan inklusi berdasarkan kajian ilmiah," tutupnya.

        Sementara itu, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam mengatakan pajak karbon harus dilakukan secara sederhana agar tidak menimbulkan biaya administrasi yang membebani pelaku usaha maupun pemerintah.

        "Desain apapun bentuknya nanti harus sederhana dan tidak meningkatkan beban administrasi bagi pemerintah maupun dunia usaha," ucapnya.

        Pajak karbon, katanya, juga perlu dikenalkan secara hati-hati dan bertahap kepada masyarakat sebagaimana dilakukan oleh beberapa negara. Dia mencontohkan pemerintah Australia dan Kanada yang memerlukan waktu enam tahun untuk mempersiapkan pengenaan pajak karbon, sedangkan Kolombia butuh waktu 13 tahun.

        "Harus dikomunikasikan terus, termasuk kejelasan desainnya. Yang paling penting, pemanfaatan pendapatan dari pajak karbon digunakan untuk apa," tanya dia.

        Ia menyarankan pemerintah memanfaatkan pemasukan dari pajak karbon untuk berbagai program pembangunan rendah karbon secara transparan dan akuntabel.

        Bisa Contek Inggris

        Head of UK Climate Change Unit Philips Douglas bilang Indonesia bisa belajar dari Inggris soal pengenaan pajak karbon ini. Ia bercerita pajak karbon dimulai Pemerintah Inggris sejak 20 tahun lalu dengan tidak mudah. Ada berbagai tantangan yang dihadapi, utamanya sektor industri yang pada 1990-an sedang maju-majunya.

        "Saat itu, ada risiko lapangan pekerjaan demi kredensial energi hijau. Pemerintah Inggris tidak ingin kemiskinan meningkat karena pajak karbon. Dari sisi hulu, memang di 1990-an fokus pemerintah dalam hal ini, PLTU. Akhirnya pada 2013 ada tarif khusus yang diberlakukan yaitu carbon price support," kisahnya.

        Baca Juga: Demi Jaga Daya Saing Indonesia, Pemerintah Wajib Masifkan Komunikasi Penerapan Pajak Karbon

        Philips sampaikan, kunci penting dari penerapan pajak karbon adalah data-data yang akurat mengenai sektor mana saja yang menghasilkan karbon selama ini. Tanpa adanya data yang akurat, hasil penerapan pajak karbon tidak bakal maksimal.

        Selain berdampak pada kemiskinan, pengenaan pajak karbon yang tidak berdasarkan data-data akurat justru akan membuat harga karbon jatuh. Pasokan berlebih, sementara pasarnya kurang. Hal itu juga terjadi di Inggris pada awal-awal penerapan pajak karbon.

        Namun, jika pajak karbon ini diterapkan secara proporsional dengan mempertimbangkan data-data mengenai emisi dari sektor-sektor yang ditargetkan, akan menjadi kekuatan besar bagi Indonesia dan negara lain untuk menangani perubahan iklim. Selain itu, pajak karbon dan kredit karbon juga menjadi sumber pendapatan bagi Indonesia.

        "Pajak ini bisa jadi superpower dalam perubahan iklim, jadi sumber pendapatan juga bagi Indonesia, sesuai standar pemerintah Indonesia. Indonesia perlu memilih opsi terbaik," sarannya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rosmayanti
        Editor: Cahyo Prayogo

        Bagikan Artikel: