Ketua Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat menyebutkan, kehadiran Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) adalah urgen untuk bangsa Indonesia. PPHN ini sangat penting karena menjadi peta jalan atau road map bagaimana wajah Indonesia pada 25 atau 50 tahun ke depan.
"Ketika tidak ada haluan negara, apa yang kita alami adalah ketidakselarasan antara visi misi gubernur, visi misi bupati atau walikota, dan visi misi presiden. Selain itu, tidak ada keberlanjutan dan kesinambungan pembangunan," katanya dalam Empat Pilar MPR dengan tema "Urgensi PPHN dalam Pembangunan Nasional" di Media Center MPR/DPR/DPD, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (13/9/2021). Turut berbicara dalam diskusi ini Ketua Fraksi Partai Nasdem MPR Taufik Basari dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Prof Dr Asep Warlan Yusuf, SH, MH.
Baca Juga: MPR Bantah Pernah Bahas Soal Perpanjangan Jabatan Presiden
Djarot Saiful Hidayat mengungkapkan, Badan Pengkajian MPR sudah melakukan kajian terhadap haluan negara. Hasil kajian "Rekomendasi Badan Pengkajian Tahun 2020" menyangkut tentang haluan negara itu sudah disampaikan kepada Pimpinan MPR. "Rekomendasi ini sudah disepakati seluruh anggota Badan Pengkajian MPR dan ditandatangani Pimpinan Badan Pengkajian. Dalam pengambilan keputusan di Badan Pengkajian tidak pernah dilakukan dengan voting," ungkapnya.
Menurut Djarot, dalam rekomendasi itu disebutkan bahwa bentuk hukum untuk PPHN yang terbaik adalah Ketetapan MPR. Karena itu, mau tidak mau atau suka tidak suka, perlu dilakukan amandemen terbatas khususnya terkait dengan Pasal 3 dan Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 dengan memberikan tambahan kewenangan kepada MPR untuk merumuskan dan mengubah PPHN.
Namun, lanjut Djarot, ketika Ketua MPR menyampaikan soal amandemen terbatas UUD ini dalam Sidang Tahunan MPR dan Peringatan Hari Konstitusi, soal amandemen ini "digoreng". "Sehingga merambat ke mana-mana sampai pada masa jabatan presiden tiga periode, dan membuka kotak pandora. Padahal, kita (Badan Pengkajian) tidak pernah mengkaji pasal-pasal lain di luar Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945," tegas politisi PDI Perjuangan ini.
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Nasdem MPR, Taufik Basari, mengungkapkan, Fraksi Partai Nasdem sampai saat ini menyatakan masih belum melihat urgensi untuk melakukan amandemen terbatas terhadap UUD NRI Tahun 1945. Menurut Taufik ada tiga alasan amandemen UUD belum urgen. Pertama, hasil kajian (Badan Pengkajian) MPR harus diuji publik. "Karena belum dilakukan uji publik dan belum ada kesimpulan, kita melihat amandemen terbatas UUD belum urgen," ujarnya.
Kedua, agar mendapat legitimasi moral melakukan amandemen UUD, amandemen harus dilakukan "bersama" rakyat. Karena itu, MPR harus melakukan konsultasi publik yang massif. Artinya, gagasan amandemen UUD ini harus menjadi diskursus publik. "Karena belum menjadi diskursus publik dan belum 'membumi' menjadi pembicaraan sehari-hari, amandemen belum urgen," tuturnya.
Bagi Taufik Basari, amandemen UUD adalah persoalan fundamental, maka amandemen harus datang dari bawah atau bottom up. "Jangan sampai gagasan amandemen itu adalah gagasan elite. Amandemen harus didasarkan kebutuhan yang urgen dan datangnya dari rakyat," tegasnya.
Ketiga, karena masih dalam masa pandemi Covid-19, amandemen UUD bukan sesuatu yang urgen. "Karena keterbatasan itu, Fraksi Partai Nasdem sedang melakukan survei yang menjadi salah satu pertimbangan untuk mengambil keputusan terkait dengan amandemen UUD," ungkapnya.
Taufik juga menyebutkan, dalam proses amandemen UUD, tidak tertutup kemungkinan akan membuka kotak pandora. "Sebab, ketika dilakukan perubahan terhadap satu atau dua pasal, tidak tertutup kemungkinan terkait dengan pasal-pasal lain karena pasal-pasal di dalam konstitusi saling terkait. Badan Pengkajian MPR harus melakukan kajian lebih mendalam agar bisa menjawab persoalan-persoalan yang muncul terkait dengan amandemen UUD," katanya.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Prof Asep Warlan Yusuf menyebutkan bahwa Garis-Garis Besar Haluan negara saat ini penting tapi belum urgen dan tidak emergensi. Alasannya, ada lima isu yang harus dijabarkan dalam haluan negara. Pertama, soal bagaimana memantapkan ideologi Pancasila. Kedua, bagaimana membangun demokrasi yang beradab. Ketiga, mewujudkan negara hukum yang berkeadilan. Keempat, mewujudkan negara kesejahteraan. Kelima, bagaimana menata kelembagaan negara.
"Haluan negara itu penting karena kita membuat aturan dasar negara seperti ideologi, negara demokrasi, dan hak asasi manusia. Kemudian juga untuk membuat aturan sebagai negara hukum yang berkeadilan, kesejahteraan rakyat, dan menata soal kelembagaan negara," ujarnya.
Asep Warlan setuju bila bentuk hukum haluan negara adalah Ketetapan MPR, bukan UU. Sebab, materi UU mudah diubah. Selain itu, UU juga bisa diajukan judicial review ke MK, dan bisa dibatalkan MK. Pembentukan UU pun sangat politis karena tergantung kesepakatan DPR dan pemerintah. "Tap MPR sebagai payung hukum haluan negara adalah sangat mendasar sebagai landasan bagi penyelenggara negara bekerja," katanya.
Bentuknya bukan UU. Sebab, UU sudah ada perubahan. UU yang baru mengesampingkan UU yang lama. Kedua, UU mudah diuji ke MK. Ketiga, UU sangat politis. "Tap MPR untuk haluan negara adalah mendasar sebagai landasan penyelenggara negara bekerja," ujarnya.
Baca Juga: Pimpinan MPR Heran: Kok Jokowi yang Dituduh Ingin 3 Periode?
Namun, Asep mengatakan bahwa payung hukum haluan negara dalam bentuk Ketetapan (Tap) MPR yang dilakukan bukan dengan cara mengamandemen UUD. "Agak kurang pas kalau hanya untuk haluan negara harus dilakukan melalui amandemen UUD. Sebab, amandemen memerlukan argumentasi yuridis dan filosofis yang sangat kuat. Alasan memasukkan haluan negara dalam amandemen UUD adalah kurang kuat dan kurang pas. Tidak ada dasar dan alasan kuat untuk mengubah UUD saat ini," paparnya.
"Tapi kita bisa lakukan dengan mengubah Tap MPR yang masih berlaku, misalnya Tap MPR tentang Demokrasi Ekonomi, Tap MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Tap MPR tentang reformasi agrarian. MPR bisa mengubah Tap MPR karena lembaga yang membuat Tap bisa juga mengubah Tap. Tap MPR itu sebenarnya adalah haluan negara. Jadi, jalan keluarnya tidak harus dengan melakukan perubahan atau amandemen UUD, melainkan ubah saja Tap-Tap MPR yang ada," imbuhnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum