Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Perkenalkan Tessa Wijaya, Co-Founder Wanita Pendiri Xendit, Startup Unicorn Baru Indonesia!

        Perkenalkan Tessa Wijaya, Co-Founder Wanita Pendiri Xendit, Startup Unicorn Baru Indonesia! Kredit Foto: Twitter/Julia Sanders
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Startup Indonesia semakin terkenal di mancanegara. Salah satunya adalah Xendit yang didirikan oleh Tessa Wijaya. Ia menggambarkan dirinya sebagai unicorn di antara unicorn-unicorn lainnya yang tengah populer di Indonesia.

        Sebagai seorang wanita Indonesia yang menjalankan start-up teknologi keuangan, Tessa berhasil membawa Xendit mencapai penilaian USD1 miliar (Rp14,2 triliun) di Asia Tenggara.

        Dalam liputan CNBC Make It yang dikutip di Jakarta, Selasa (12/10/21) Tessa termasuk ke dalam pemimpin wanita yang langka di bidang teknologi. Terutama dalam startup fintech.

        Baca Juga: Wow, Startup Digital Tumbuh Bak Jamur di Era Pandemi

        Namun, Tessa mengatakan dia berharap stigma itu akan berubah dengan menunjukkan lebih banyak perempuan dan anak perempuan bahwa mereka dapat mengikuti jalan yang jarang dilalui.

        “Saya benar-benar ingin mendorong lebih banyak wanita untuk terjun ke bidang teknologi,” kata pengusaha milenial itu kepada CNBC Make It.

        Tessa adalah co-founder dan chief operating officer Xendit, platform fintech Indonesia yang memproses pembayaran digital untuk bisnis di Asia Tenggara, seperti Grab, Wise, dan Traveloka.

        Sejak diluncurkan pada tahun 2015, Xendit telah berkembang pesat. Saat ini, Xendit memproses lebih dari 65 juta transaksi senilai USD6,5 miliar (Rp92 triliun) per tahun sehingga mencapai status "unicorn" USD1 miliar pada bulan September. Namun bagi Tessa, kesuksesan masih terasa asing.

        “Ketidakmungkinan seseorang seperti saya — seorang wanita yang lahir dan besar di kota kecil di Indonesia — menjadi salah satu pendiri di perusahaan teknologi yang diinvestasikan oleh dana miliaran dolar, tidak luput dari saya,” katanya.

        Sebagai seorang gadis muda yang tumbuh di Indonesia, Tessa mengatakan bahwa dia lebih suka bermain dengan action figure dibandingkan dengan boneka. Namun, Tessa juga ambisius, ia terinspirasi oleh nenek yang membesarkannya dan sepupunya, sambil menjalankan bisnis makanan kecil-kecilan.

        Di awal usia 20-an, Tessa diwawancarai untuk pekerjaan analis di dana ekuitas swasta baru di Jakarta. Meskipun dia tidak memiliki pengalaman keuangan tradisional, pemikiran kritis dan tekadnya membuat perusahaan terkesan, dan dia mendapatkan pekerjaan itu. Dia mempelajari industri di luar jam kerja untuk membangun pengetahuannya.

        Tetap saja, perjalanannya tidak mudah.

        Sebagai salah satu dari sedikit wanita dalam tim, Tessa berjuang untuk didengar. Dia tidak memiliki gelar dari Harvard atau MIT, seperti banyak rekannya. Bahkan, manajer umum salah satu perusahaan dana akan mengabaikannya ketika dia berbicara.

        “Bagi saya, itu adalah tantangan besar... bagaimana saya bisa bersaing dengan orang-orang ini? Saya tidak punya gelar Ivy League,” kata Wijaya. “Saya juga terlihat sangat muda. Dianggap serius ketika Anda terlihat muda dan Anda seorang wanita sangat sulit.”

        Namun, dia tidak terpengaruh. Tessa sangat ingin berperan dalam kancah bisnis yang berkembang di Asia Tenggara.

        Bekerja sama dengan perusahaan rintisan yang baru muncul di ruang ekuitas swasta, dia melihat pesatnya perkembangan teknologi pada awal 2010-an. Tapi dia juga melihat ada mata rantai yang hilang.

        “Ada ride hailing, ada e-commerce,” kata Wijaya. "Mereka bukan apa-apa tanpa pembayaran. Saya telah diberi kesempatan besar untuk mengubah perilaku tempat kerja, sehingga lebih banyak wanita dapat naik."

        Hingga suatu hari, secara kebetulan, Tessa diperkenalkan kepada sekelompok mahasiswa dari University of California, Berkeley yang sedang mengerjakan proyek serupa melalui akselerator start-up Y Combinator.

        “Itu cinta pada pandangan pertama pada pekerjaan,” kata Wijaya.

        Tim itu pun segera mulai mengerjakan platform pembayaran baru, yang menjadi cikal bakal Xendit.

        Enam tahun kemudian, para pendiri dan tim yang terdiri dari 600 orang memproses pembayaran online, menjalankan pasar, dan mengelola keuangan untuk bisnis di Malaysia, Filipina, Singapura, dan lainnya.

        Dari staf Xendit, sekitar 40% adalah perempuan. Tessa mengatakan dia memandang membantu kemajuan wanita dalam karir mereka sebagai tanggung jawab pribadi.

        “Saya telah diberi kesempatan besar untuk mengubah perilaku tempat kerja, sehingga lebih banyak wanita dapat naik pangkat dan menjadi generasi pemimpin berikutnya,” katanya.

        Xendit melakukannya dengan menjalankan skema bimbingan “Women In Tech” untuk perempuan dan anak perempuan muda, menawarkan skema kembali bekerja untuk ibu baru, dan menyediakan pengiriman makanan untuk orang tua yang bekerja selama pandemi.

        Tessa berharap dukungan ekstra akan membuat perbedaan dalam mendorong generasi profesional fintech perempuan berikutnya untuk percaya bahwa mereka juga bisa menjadi pemimpin.

        “Kadang-kadang saya berpikir tentang di mana nenek saya jika dia memiliki kesempatan yang diberikan kepada saya,” katanya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Fajria Anindya Utami
        Editor: Fajria Anindya Utami

        Bagikan Artikel: