IFSoc: Meski Punya Potensi Berkembang, Indonesia Harus Belajar dari Kegagalan Neobank Negara Lain
Indonesia Fintech Society (IFSoc) mengatakan, Indonesia memiliki potensi pertumbuhan dan perkembangan neobank. Neobank merupakan bank yang beroperasi 100% digital atau bekerja sama dan mentransformasi bank yang sudah memiliki lisensi menjalankan usaha perbankan.
Namun, Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc) Rudiantara mengingatkan bahwa tidak semua neobank di dunia mengalami keberhasilan. Di Australia, neobank bernama Xinja hanya bertahan 3 tahun dan mengembalikan lisensi perbankan pada 2021 setelah gagal mendapatkan modal tambahan.
Baca Juga: IFSoc Dukung Pertumbuhan Neobank di Indonesia, Bank Konvensional Mulai Beranjak ke Model Digital
"Pelajaran yang bisa kita petik, Xinja tidak mampu bersaing dengan bank konvensional karena tidak memiliki program pengajuan pinjaman (lending) dan program yang fokus kepada UMKM. Pada intinya, neobank juga harus dapat menghasilkan revenue dan efisiensi biaya," tutur Rudiantara pada acara press briefing, Kamis (14/10).
Neobank lain yang juga kurang berhasil adalah N26 yang berasal dari Jerman. Menurutnya, meski mampu melakukan ekspansi di enam negara Eropa, AS, dan Brazil, N26 harus menutup operasinya di Inggris pada 2020.
"Pasalnya, lisensi yang dimiliki oleh N26 di Eropa tidak dapat digunakan di UK setelah Brexit. Neobank ini juga tidak dapat menarik banyak peminat di UK. Setelah dua tahun beroperasi, hanya ada 418.000 pengguna aktif bulanan," tambahnya.
Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc), Mirza Adityaswara, menegaskan bahwa kemunculan neobank membawa berbagai manfaat sekaligus risiko baru. Di satu sisi, neobank memiliki fitur-fitur yang lebih inovatif dan customer centric , seperti pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence), machine learning, dan fitur keamanan yang lebih mudah diakses (pembekuan rekening melalui aplikasi).
Namun, ada beberapa potensi risiko dalam tren neobank di masa depan seperti risiko serangan keamanan siber, risiko terhadap kebocoran data pribadi nasabah, dan juga risiko kegagalan sistemik yang disebabkan interdependensi infrastruktur digital berbagai layanan finansial.
"Risiko-risiko tersebut sebetulnya merupakan risiko yang sama dialami oleh perusahaan fintech, di mana OJK sudah mengatur platform penyedia jasa keuangan agar memitigasi kemungkinan risiko yang akan hadir. Namun, regulator juga harus dapat menyeimbangkan peran antara mengeluarkan aturan untuk memitigasi risiko baru, tetapi juga memberi kesempatan bagi neobank untuk berinovasi," ujar Mirza.
Mirza juga menambahkan besarnya potensi pasar untuk neobank di Indonesia. "Awalnya, dengan pemanfaatan teknologi, neobank akan menyasar kalangan underbanked, terutama kelompok usia muda serta masyarakat di wilayah urban. Namun, pada tahap berikutnya, neobank juga perlu menyasar kalangan unbanked demi mendukung peningkatan inklusi keuangan Indonesia," kata Mirza.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: