Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Tarif Cukai Naik: Industri Legal Menjerit, Rokok Ilegal Semakin Merajalela

        Tarif Cukai Naik: Industri Legal Menjerit, Rokok Ilegal Semakin Merajalela Kredit Foto: Antara/Adeng Bustomi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) kembali ditunda hingga akhir November ini. Tarif CHT yang terus naik setiap tahun, dinilai Pemerintah dapat menekan prevalensi merokok masyarakat.

        Faktanya, kenaikan tarif CHT bukannya menurunkan prevalensi merokok masyarakat Indonesia, namun justru membuat peredaran rokok ilegal semakin merajalela.

        Satriya Wibawa, Peneliti dari Universitas Padjajaran (UNPAD), Bandung, menilai bahwa ini hanya akal-akalan Pemerintah saja. Tembakau seolah dijadikan kambing hitam yang kontra dengan kehidupan yang lebih sehat.

        Menurutnya, Pemerintah melihat sektor tembakau sebagai peluang yang bisa dimainkan. Ia juga melihat adanya tekanan dari luar atau pihak asing, seperti kewajiban untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebuah konvensi yang diinisiasi oleh WHO untuk mengatasi isu konsumsi rokok di dunia, yang dijadikan syarat untuk pinjaman luar negeri.

        “Seperti yang kita ketahui, FCTC bahkan dijadikan syarat untuk pinjaman luar negeri. Kita juga tidak menutup mata, bahwa ada industri raksasa yang dinilai mengincar tembakau di Indonesia. Pertama, karena pasar dalam negeri sangat potensial. Kedua, tembakau di Indonesia lebih murah dibanding tembakau manapun,” ungkapnya.

        Alih-alih menaikkan tarif CHT untuk menekan prevalensi merokok di Indonesia, kenaikan tarif ini dinilai justru membuat peredaran rokok ilegal semakin marak, terutama di wilayah Batam dan Sumatera bagian utara.

        Menurutnya, aturan ini kontra produktif. “Justru kalau cukai semakin tinggi, semakin tidak masuk akal, semakin banyak orang tidak membeli pita cukai atau akan mengakali pita cukai. Suatu saat, orang akan berani memproduksi sesuatu yang ilegal, dan negara justru tidak akan menerima pemasukan lagi dari Industri Hasil Tembakau (IHT),” jelasnya.

        Ia menambahkan bahwa kenaikan tarif CHT yang tinggi bukan hanya akan mematikan industri kecil, tapi juga akan membuat negara ini menyesal, karena pada akhirnya, tembakau yang kita tanam sendiri, kita produksi sendiri, akan menjadi milik asing.

        “Jangan sampai Indonesia menyesal pernah memiliki tembakau dan hanya tinggal sejarah. Padahal tembakau merupakan komoditi asli Indonesia yang telah menjadi aset dan dignity dari Indonesia.” Tutupnya.

        Senada dengan Satriya Wibawa, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO), Benny Wachyudi yang diwawancara via telepon menilai bahwa semakin tinggi kenaikan tarif cukai, maka akan semakin semangat produsen rokok ilegal memanfaatkan momentum ini.

        “Data dari survey selama ini, konsumsi rokok tidak turun, tapi faktanya pembelian cukai menurun, artinya terdapat selisih yang diisi oleh rokok ilegal,” jelasnya. Ia juga mengatakan bahwa rokok ilegal tidak berjalan sendiri.

        “Ini ada pelaku utamanya, ada pelindungnya, ada juga yang memuluskan jalannya, dan ada pengedarnya. Ini harus jadi serious crime, atau bahkan extraordinary crime!” tegasnya.

        Menanggapi isu kenaikan tarif cukai hasil tembakau, yang berbarengan dengan rencana penyederhanaan golongan tarif cukai atau Simplifikasi, Firman Soebagyo, anggota Komisi IV DPR-RI menilai bahwa tembakau masih menjadi potensi penerimaan negara yang cukup besar yang memberikan andil hingga mencapai Rp173 Triliun.

        “Jangan sampai, Simplifikasi dan kenaikan tarif cukai mematikan perusahaan-perusahaan kecil,” tegasnya. “Amanat Presiden, pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) harus dilindungi, karena menyerap tenaga kerja dengan padat karya,” tambahnya.

        Penyederhanaan golongan tarif cukai dapat dipastikan berdampak pada pengangguran dan matinya industri kecil. Firman khawatir akan nasib petani tembakau dan usaha kecil menengah, jika Pemerintah terus menaikkan tarif cukai hasil tembakau dan melakukan Simplifikasi.

        “Jangan menggilas pribumi hanya untuk membela kepentingan asing,” tambahnya.

        Ia menyayangkan sikap Pemerintah yang dinilai menggunakan teori yang tidak mendasar dan berpihak pada kepentingan asing.

        Firman mengingatkan bahwa rokok hanya berbahaya jika dikonsumsi berlebihan, sama halnya dengan konsumsi gula berlebih yang menyebabkan diabetes dan konsumsi alkohol yang lebih berbahaya dari rokok. “Kenapa hanya rokok yang dicecar? Rokok itu dianggap sumber penyakit, tapi cukainya dipakai untuk mensubsidi BPJS Kesehatan hingga Rp12 Triliun,” jelasnya.

        Diakhir perbincangan, Firman mengatakan bahwa tembakau dan kretek adalah rempah-rempah warisan bangsa, yang juga bisa dimanfaatkan untuk banyak hal, diantaranya bisa dibuat parfum, obat-obatan dan penyembuhan berbabagai penyakit.

        “Jangan terus menekan pertembakauan. Semakin ditekan, semakin mati, rokok ilegal semakin marak,” tutupnya.

        Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga Dasar, Direktorat Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan, Akbar Harfianto memberi tanggapan terkait pro dan kontra rencana Simplifikasi dan kenaikan tarif cukai yang akan segera diumumkan Pemerintah.

        “Dengan adanya Simplifikasi dan kenaikan tarif cukai, pendapatan negara tentu akan bertambah. Namun kita harus menganalisa lebih lanjut, apakah penambahan tersebut cukup signifikan dibandingkan dengan penurunan produksi yang diakibatkan oleh kenaikan tarif cukai dan Simplifikasi tersebut,” jelasnya.

        Ia menambahkan bahwa saat ini pihaknya masih mengalkulasi dan menghitung kembali. “Karena ada titik optimalitas, tidak mungkin linier. Tidak mungkin tarif cukainya naik tinggi, lalu penerimaan jadi tinggi. Tapi sekali lagi, masih kami pertimbangkan. Kami tetap memperhatikan keberlangsungan industri,” tutupnnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: