Kemenperin Minta Pelabelan ‘Mengandung BPA’ Tidak Dikenakan Terhadap Kemasan AMDK
Kementerian Perindustrian menegaskan Bisfenol A (BPA) bukan merupakan isu yang sangat urgent di Indonesia.
Hal itu disebabkan sudah ada pengaturan yang cukup ketat menyangkut berbagai persyaratan terhadap kemasan pangan yang mengandung BPA ini, mulai dari bahan bakunya, proses produksi dan kemasan yang harus tara pangan, serta hasil pengujian BPOM terhadap migrasi BPA yang menyebutkan bahwa AMDK yang beredar di Indonesia cukup aman untuk dikonsumsi.
“Kemasan pangan yang mengandung BPA itu diduga hanya akan menimbulkan dampak negatif terhadap bayi, balita dan ibu hamil jika digunakan dalam jumlah besar dan pada temperatur tinggi seperti pada penggunaan botol susu bayi,".
"Jadi, kami meminta agar pelabelan BPA Free itu tidak dikenakan terhadap kemasan AMDK melainkan diatur lebih spesifik untuk botol susu bayi dan FCM atau Food Contact Material,” kata Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo, dalam acara diskusi media bertema “Regulasi Kemasan Pangan dan Dampaknya Pada Iklim Usaha dan Perekonomian” yang dilakukan secara daring pada Kamis (2/12).
Edy mengatakan dalam rangka menjaga mutu air mineral dalam kemasan ini sudah ada aturan-aturan yang sangat ketat.
Pertama, mengenai air mineral dalam kemasan ini, menurut Edy, SNI-nya sudah diperlakukan secara wajib dan diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 26 tahun 2019 yang merupakan perubahan dari Permenperin No.78 tahun 2016 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Air Mineral, Air Demineral, Air Mineral Alami dan Air Minum Embun Secara Wajib.
"Jadi, untuk air mineral dalam kemasan ini, SNI berlaku secara wajib dan diawasi secara ketat oleh pemerintah atau pihak terkait seperti Kemenperin, BPOM, dan Kementerian Perdagangan,” ungkapnya.
Selanjutnya, kata Edy, ada lagi Permenperin No. 96 Tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Industri Air Minum Dalam Kemasan, yang antara lain mengatur mengenai persyaratan bahan baku yang juga diawasi dengan sangat ketat. Apalagi, persyaratan itu juga mengacu pada Permenkes No. 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
Disebutkan, air minum yang aman bagi kesehatan apabila memenuhi persyaratan fisika, mikrobiologis, kimiawi dan radioaktif yang dimuat dalam parameter wajib dan paramater tambahan.
Terkait dengan kualitas bahan baku air minum dan juga proses produksinya, Permenperin No.96 Tahun 2011 dan Permenperin No.75 Tahun 2010 mengatur bahwa proses produksi AMDK itu harus memenuhi pedoman CPPOB atau Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik.
“Jadi, artinya, dari proses produksinya juga harus memenuhi ketentuan yang disyaratkan oleh pemerintah. Jadi, secara produk dari bahan baku maupun prosesnya, kemasan AMDK, termasuk galon guna ulang itu dijamin sangat memperhatikan aspek kesehatan,” tuturnya.
Untuk kemasannya sendiri, menurut Edy, juga diatur dalam Peraturan BPOM No.20 tahun 2019 tentang Kemasan Pangan dan Permenperin No.24 tahun 2010 yang menyangkut pencantuman logo tara pangan dan logo daur ulang.
“Jadi, artinya, baik dari sisi air mineralnya maupun dari sisi kemasannya ini diatur dengan ketat supaya ini layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat,” tegasnya.
Tidak hanya itu, terkait kesiapan dari infrastruktur untuk pengujian AMDK ini, Edy mengatakan didukung oleh 25 lembaga sertifikasi produk dan 15 laboratorium yang terakreditasi. “Ini dari sisi pengujiannya juga relatif memadai,” ujarnya.
BPOM sendiri, kata Edy, sudah merilis bahwa kandungan BPA pada kemasan AMDK yang digunakan secara berulang masih aman untuk dikonsumsi.
Hal itu berdasarkan hasil pengujian yang menunjukkan bahwa migrasi BPA pada galon guna ulang itu masih jauh di bawah batas migrasi maksimum yang diijinkan yaitu 0,6 bpj. “Jadi, alasan BPOM untuk melabeli ‘berpotensi mengandung BPA’ pada galon guna ulang karena menganggap berbahaya bagi kesehatan itu jelas tidak berdasar,” ucapnya.
Yang ada, kata Edy, label potensi kandungan BPA itu akan mengganggu pertumbuhan industri AMDK di Indonesia.
“Seharusnya kita sama-sama menjaga iklim usaha yang kondusif bagi industri agar bisa memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Dia memaparkan kontribusi industri pangan dan minuman sangat besar terhadap perekonomian nasional. Pada triwulan III 2021 misalnya, kontribusinya terhadap PDB sebesar 3,49% yoy, dan kontribusi terhadap PDB industri non migas mencapai 38,91% (yoy).
Sementara, ekspor makanan minuman sampai dengan September 2021 mencapai US$ 32,51 miliar dan impornya US$ 10,13 miliar.
“Saya kira investasi yang ada ini perlu dijaga bisa tumbuh dan berkembang untuk tetap menghasilkan pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang kita harapkan,” tukasnya.
Di saat pandemi, hingga Semester I 2021 ini, investasi di industri makanan minuman itu juga masih sangat besar. Realisasi investasinya mencapai Rp 35,8 triliun rupiah.
Dia menuturkan saat ini ada 900 unit usaha AMDK di Indonesia yang menyerap 40 ribu orang tenaga kerja. Produksinya pada tahun 2020 sekitar 29 miliar liter, di mana 69% hasil produksi dari AMDK itu dikemas dalam galon guna ulang.
“Artinya, ada 5,2 miliar liter air mineral yang dikemas dalam galon guna ulang Policarbonat atau dalam dua bulan ada sekitar 880 juta buah galon guna ulang yang beredar di pasar.
"Kalau kita asumsikan satu galon guna ulang dari PC ini harganya Rp 35 ribu maka nilai investasi dari galon guna ulang yang ada di lapangan itu kurang lebih menurut perhitungan kami itu ada sekitar Rp 30,6 triliun. Jadi, ini perlu kita pikirkan kalau kita akan mengganti dengan galon yang sekali pakai,” katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat