Ramai Soal Permintaan Dihapusnya Ambang Batas Pencalonan Presiden, Gerindra Langsung Bilang...
Partai Gerindra tidak ambil pusing ihwal adanya usulan menaikkan atau menurunkan presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden.
Hal itu dikatakan Habiburokhman menanggapi pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri yang berharap agar PT bisa 0 persen untuk mencegah tindak pidana korupsi.
Baca Juga: Ramai-Ramai Dukung Pernyataan Firli Bahuri Soal PT, Kali Ini Elite PAN Ikut Bilang...
"Kalau Gerindra sih nggak pusing," ujar Habiburokhman kepada wartawan, Senin (13/12/2021).
Menurut Waketum Habiburokhman, Gerindra siap dengan segala kemungkinan besaran PT.
"Mau PT 20 persen, 15 persen, mau 5 persen, mau 0 persen, kami siap aturan," kata Habiburokhman
Sebelumnya, anggota DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus menyatakan, mendukung Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden untuk ditiadakan atau 0 persen. Hal itu dilakukan guna mengentaskan korupsi di tanah air.
Pernyataan Guspardi tersebut menanggapi pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri yang berharap agar PT bisa 0 persen untuk mencegah tindak pidana korupsi.
"Dengan adanya Presidential Threshold, maka demokrasi di Indonesia masih diwarnai dengan biaya politik yang tinggi," kata Guspardi kepada wartawan, Senin (13/12/2021).
Menurutnya, sudah seharusnya pilpres yang membutuhkan ongkos politik mahal atau pun tinggi bisa dihilangkan.
Ia mengatakan, tak bisa membayangkan bila ada figur yang kredibel, berintegritas dan hebat ingin maju menjadi calon pemimpin bangsa, tetapi tak punya kapital yang memadai.
Hal itu menurutnya, malah menjadi kesempatan bagi para pihak menjadi sponsor dan ujung-ujungnya justru menjadi oligarki.
"Setelah sosok pemimpin yang dibiayainya itu terpilih, maka kepentingan para oligarki tentu harus diakomodir sehingga tersandera kepentingan pihak lain yang mendorong terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)," ungkapnya.
Ia mengatakan, penerapan sistem presidential threshold terkesan sebagai upaya membatasi hak konstitusional rakyat dalam menentukan calon pemimpinnya.
Selain itu Guspardi menilai, presidential threshold juga lari dari semangat reformasi, lantaran tidak membuka ruang demokrasi guna memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih mana calon yang terbaik tanpa perlu diatur dan diseleksi terlebih dahulu oleh mekanisme ambang batas.
Oleh karena itu, kata dia, setiap partai politik seharusnya diberikan hak konstitusionalnya mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.
Baca Juga: Rocky Gerung Kasih Sindiran Pedas ke PDIP, Disebut Pengecut karena...
"Bagaimanapun pengalaman kontestasi Pilpres 2019 lalu seharusnya bisa menjadi pelajaran penting bahwa penetapan presidential threshold telah mengakibatkan rakyat terpolarisasi menjadi dua kubu yang saling berhadapan," tuturnya.
"Akibatnya terjadi berbagai pembelahan yang membuat terjadinya persekusi, timbulnya fitnah, merajalelanya hoaks, dan lain-lain. Lalu dilanjutkan dengan narasi-narasi yang menjatuhkan pasangan lawan atau kubu lawan. Sikap semacam ini dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertikal yang berujung pada tindak kekerasan di tengah-tengah masyarakat," sambungnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Adrial Akbar