Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Perlindungan Kekayaan Intelektual Dinilai Perlu Ditegakkan

        Perlindungan Kekayaan Intelektual Dinilai Perlu Ditegakkan Kredit Foto: MIAP
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) menggelar diskusi virtual tentang Upaya Perlindungan Kekayaan Intelektual melalui Sosialisasi Hasil Studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian Indonesia Tahun 2020 yang diperbaharui oleh MIAP bekerjasama dengan Institute for Economic Analysis of Law & Policy Universitas Pelita Harapan (IEALP UPH).

        Upaya-upaya perlindungan kekayaan intelektual secara berkesinambungan dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan kekayaan intelektual, baik melalui peraturan dan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah maupun pelaku usaha dalam melindungi produknya dari praktik-praktik pemalsuan/pembajakan serta masyarakat umum yang memahami kerugian yang disebabkan apabila  menggunakan produk palsu/ilegal.

        “Seluruh upaya yang telah dilakukan oleh para pemangku kepentingan kekayaan intelektual patut diapresiasi sebagai langkah konkret dalam menegakkan perlindungan terhadap kekayaan intelektual” ungkap Justisiari P. Kusumah – MIAP Executive Director.,“Hal tersebut yang terus mendorong semangat positif dalam upaya berkelanjutan penegakan perlindungan kekayaan intelektual di Indonesia” tambah Justisiari.

        Baca Juga: Dibayangi Ancaman Omicron, Ini Kata Airlangga Soal Ekonomi RI

        MIAP secara berkala melakukan Studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian di Indonesia 5 (lima) tahun sekali. Sejak tahun 2005, MIAP melakukan studi dampak pemalsuan terhadap perekonomian Indonesia, sebagai salah satu upaya memahami bagaimana kecenderungan praktik-praktik pelanggaran kekayaan intelektual di Indonesia dan dampaknya terhadap perekonomian.

        “Melalui studi ini kami berharap dapat memberikan manfaat dan gambaran bagi para pelaku usaha atau industri secara luas, sekaligus juga dapat menjadi masukan untuk menstimulasi langkah-langkah perbaikan dari semua pemangku kepentingan untuk terus bekerja sama menghadirkan ekosistem yang lebih aman bagi masyarakat” ungkap Yanne Sukmadewi – Sekretaris Jenderal MIAP.

        Hasil Studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian di Indonesia Tahun 2020 menjadi pembaharuan studi yang dilakukan oleh MIAP secara berkala. Melalui kerjasama dengan Institute for Economic Analysis of Law & Policy – Universitas Pelita Harapan (IEALP UPH), studi ini mencakup 8 (delapan) komoditi, yaitu: produk farmasi, kosmetik, barang dari kulit, pakaian, makanan dan minuman, pelumas dan suku cadang otomotif, catridge, dan software di beberapa kota besar di Indonesia.

        “Menyikapi kondisi pandemi dan kemudahan mobilisasi, lebih kurang 500 responden diperoleh untuk mengisi kuesioner yang disiapkan di Jakarta dan Surabaya, serta beberapa kota lainnya” Henry Soelistyo Budi – perwakilan IEALP UPH menjelaskan. “Selain data dari hasil kuesioner tersebut, kami juga menggunakan data input-output tahun 2010 Badan Pusat Statistik sebagai rujukan” tambah Henry.

        Baca Juga: Genjot Digitalisasi UMKM, Pemerintah Percepat Pemulihan Ekonomi Nasional

        Berdasarkan hasil rekapitulasi olah data, studi ini menemukan software masih menempati urutan tertinggi rentan dipalsukan hingga 84,25%, diikuti oleh kosmetik 50%, produk farmasi 40%, pakaian dan barang dari kulit sebesar masing-masing 38%, makanan dan minuman 20%, serta pelumas dan suku cadang otomotif sebesar 15%.

        Data pemalsuan ini menunjukkan seberapa besar kecenderungan permintaan terhadap produk palsu/ilegal di pasar. Secara nominal, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh peredaran produk palsu tersebut mencapai lebih dari Rp 291 triliun, dengan kerugian atas pajak sebesar Rp 967 miliar serta lebih dari 2 juta kesempatan kerja.

        “Melalui update tersebut, MIAP mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk tidak menyerah dalam setiap upaya yang dilakukan dalam memberantas pemalsuan. Karena hingga saat ini baik pemerintah maupun pelaku usaha telah bahu-membahu mengurangi dampak yang disebabkan oleh pelanggaran terhadap kekayaan intelektual termasuk peredaran barang palsu melalui tugas dan fungsinya masing-masing”  ungkap Yanne Sukmadewi – Sekretaris Jenderal MIAP. 

        Sejauh ini, pemerintah telah berupaya secara serius dan terus menerus melakukan tindakan dan menyusun kebijakan untuk memberantas produksi dan peredaran produk palsu. Dari segi regulasi, pemerintah dan DPR RI telah menyusun Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis untuk menggantikan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.

        Demikian juga penggantian Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2012 dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 6 Tahun 2019 tentang Perintah Penangguhan Sementara (PERMA).

        Substansi Perma ini menjadi salah satu instrumen operasional di samping Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2017 tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual.

        Baca Juga: Pandemi Covid-19 Kelar, Lima Tantangan Perekonomian ini Siap Menanti

        Dari segi operasional, Peraturan Pemerintah Tahun 2017 ini telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Keuangan sebagai landasan pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencegah peredaran barang palsu melalui kepabeanan.

        “Seluruh kebijakan dan peraturan yang disusun oleh pemerintah tersebut merupakan hasil pemahaman terhadap pola/praktik-praktik pemalsuan yang seolah-olah berpacu dengan begitu cepatnya perubahan pola/praktik-praktik pemalsuan yang saat ini terjadi” jelas Justisiari P. Kusumah – MIAP Executive Director. “Untuk itulah mengapa upaya perlindungan kekayaan intelektual harus terus ditegakkan dengan partisipasi seluruh pemangku kepentingan kekayaan intelektual” tutup Justisiari.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Annisa Nurfitri
        Editor: Annisa Nurfitri

        Bagikan Artikel: