Apakah Iran dan Negara Barat Bisa Normalisasi Hubungan pada 2022?
Diplomat Uni Eropa, Enrique Mora pada pertengahan Desember lalu mengingatkan, "jendela peluang" untuk menyelamatkan perjanjian nuklir internasional dengan Iran telah "menyusut menjadi hitungan pekan".
"Keputusan politik yang sulit harus diambil baik di Teheran maupun di Washington," kata Enrique Mora, koordinator putaran perundingan dengan Iran di Wina untuk menyelamatkan kesepakatan yang dikenal sebagai Kesepakatan Bersama Rencana Aksi, JCPOA.
Baca Juga: Diskriminasi Sawit, Berikut 4 Kebijakan yang Diberlakukan Uni Eropa
Tapi memang situasinya cukup rumit. Pada 2018, Presiden AS saat itu Donald Trump secara sepihak memutuskan penarikan AS dari kesepakatan yang telah disepakati pemerintahan sebelumnya, dan menerapkan kembali sanksi AS terhadap Iran.
Padahal kesepakatan itu adalah hasil perundingan panjang antara Iran di satu pihak dan kelompok P5+1 di lain pihak, yang terdiri dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB: AS, Inggris, Prancis, Cina dan Rusia, ditambah dengan Uni Eropa.
Akibatnya, Iran setahun kemudian secara sepihak juga menyatakan tidak terikat lagi pada kesepakatan itu, sekalipun negara-negara Eropa berjanji tetap akan memegang komitmennya.
Kelompok garis keras memegang kekuasaan di Teheran
Iran saat ini memperkaya uranium hingga tingkat kemurnian 60 persen — fase yang dianggap sudah mendekati kadar uranium tingkat senjara nuklir, yaitu 90 persen. Iran juga sudah memfungsikan lagi sentrifugalnya yang dilarang oleh perjanjian itu, untuk memproduksi lebih banyak uranium kadar tinggi.
Kebijakan yang diambil Donald Trump malah memperkuat posisi kubu garis keras di Iran, sementara penduduknya harus menanggung beban kemerosotan ekonomi karena sanksi yang diberlakukan AS.
Teheran sejak dulu mengatakan, akan membatasi kembali program nuklirnya, jika AS lebih dulu mencabut sanksi-sanksi ekonominya. Namun, pemerintahan Trump selalu menolak langkah itu dan menuduh Iran hanya ingin mengulur waktu saja dan tetap menjalankan program senjata nuklirnya.
Sengketa dengan AS memberi angin bagi kelompok ultrakonseravtif di Iran. Awal Agustus 2021, Ebrahim Raisi terpilih menjadi presiden, setelah semua calon oposisi yang berpeluang dicoret dari daftar calon oleh badan pengawas keagamaan yang punya otoritas tertinggi. Sekarang, kelompok garis keras menguasai semua posisi penting di pemerintahan.
Upaya pemulihan hubungan yang gagal
"Amerika Serikat telah mengambil pendekatan ideologis terhadap Iran. Mereka selalu tetap setia pada pendekatan ini - kecuali untuk periode singkat di bawah Presiden Obama," kata Hassan Ahmadian, asisten profesor Studi Timur Tengah dan Afrika Utara di Universitas Teheran.
Negar Mortazavi, jurnalis dan analis politik Iran-Amerika yang berbasis di Washington mengatakan, "Presiden Biden tampaknya memiliki minat serius dalam menyelesaikan masalah nuklir dengan Iran melalui diplomasi, dan tidak mencari konflik militer lain di Timur Tengah." Namun, dia menambahkan, tidak seperti pemerintahan Obama, "pemerintahan Biden tampaknya tidak memiliki strategi diplomasi jangka panjang dengan Iran."
Saat ini, AS dan Iran tampaknya memang tidak ingin mencapai lebih dari sekadar kembali ke perjanjian nuklir. "Sementara kedua belah pihak tertarik untuk menghidupkan kembali JCPOA, saya pikir itu akan menjadi pencapaian tertinggi dari keterlibatan mereka".
Permusuhan dan ketidakpercayaan selama beberapa dekade antara Teheran dan Washington sudah sangat dalam dan didukung oleh kekuatan politik yang kuat di kedua negara, jelasnya. "Saya tidak berharap untuk melihat perubahan dramatis dalam hubungan AS-Iran dalam beberapa tahun ke depan."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: