Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Tugaskan Gurita Bisnisnya Garap Batu Bara, Hary Tanoe Blak-blakan Bilang Bisnis Ini Untungnya Besar!

        Tugaskan Gurita Bisnisnya Garap Batu Bara, Hary Tanoe Blak-blakan Bilang Bisnis Ini Untungnya Besar! Kredit Foto: Ist
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Executive Chairman MNC Grup, Hary Tanoesoedibjo blak-blakan mengungkapkan  alasan dibalik keputusan PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk (IATA)  merubah inti bisnisnya dari perusahaan transportasi menjadi perusahaan tambang batu bara. 

        Ia tak memungkiri jika untuk saat ini bisnis batu bara sangat menggiurkan karena harganya terus mengalami kenaikan yang signifikan dan bahkan mencetak rekor baru sejak tahun lalu. 

        “Kita tahu mining sekarang lagi bagus-bagusnya, karena isu politik global dan lain sebagainya, termasuk batubara. Jadi batu bara ini mulai semester II tahun lalu sampai saat ini dan mudah-mudahan seterusnya ini memasuki masa emasnya. Harganya luar biasa bagusnya mungkin yang belum pernah terjadi dalam sejarah batu bara selama ini ,” ujar pria yang akrab disapa HT tersebut, di Jakarta, Kamis (10/2/2022). 

        Baca Juga: Tekor Mulu Selama 13 Tahun, Dengan Modal Rp2 Triliun Hary Tanoe Sulap IATA Jadi Perusahaan Batu Bara

        Menyadari Indonesia merupakan negara penghasil batu bara terbesar di dunia, Hary Tanoe melalui gurita bisnisnya pun tak mau ketinggalan untuk menikmati legitnya bisnis batu bara. Salah satunya dengan merubah PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk (IATA) menjadi PT MNC Energy Investments Tbk. 

        “Jadi semua grade itu luar biasa meningkatan dari sisi harga, sehingga marjin sangat besar dan kita tahu indonesia penghasil batu bara terbesar, permintaan ekspor juga sangat besar. Itulah kenapa diputuskan secara cepat untuk merubah arah bisnis IATA dari transport sekarang punya perusahaan batu bara,” ungkapnya. 

        Memang, sepanjang 2021 harga batu bara global terus merangkak naik. Bahkan memasuki semester kedua hingga menjelang akhir tahun, harga mineral ini melesat tinggi hingga menyentuh harga tertinggi sepanjang masa. 

        Lonjakan dipengaruhi berbagai aspek, terutama untuk memenuhi kebutuhan energy yang disebabkan oleh pembukaan kembali ekonomi pasca pandemi. 

        Baca Juga: Kebijakan Larangan Ekspor Ikut Kerek Harga Batu Bara

        Berbagai komplikasi tambahan seperti  gangguan pasokan dan konflik antar negara, ditambah dengan permintaan yang untuk menyambut  musim dingin serta banjir di provinsi Shanxi, pusat penambangan batu bara terbesar di China.

        Tahun 2022, harga batubara diprediksi akan terus melejit dampak permintaan yang tinggi dan pasokan yang terus menyusut. Kenaikan ini tentunya turut mendongkrak harga batubara nasional. 

        Mengutip data International Energy Agency (IEA), Indonesia mengekspor sebanyak 455 juta ton batubara ke seluruh dunia pada 2019, dan bergerak menjadi 400 juta ton pada 2020 imbas pandemi Covid-19. Posisi tersebut menunjukkan Indonesia sebagai negara eksportir batubara yang mendominasi di pasar global.

        Sedangkan China menempati posisi teratas negara importir batubara di dunia. Hubungan yang memburuk antara China dengan Australia membuat Indonesia kini jadi pemasok batubara utama, dimana impor batubara China dari Indonesia naik 60% sejak akhir November 2021, menurut data Bea Cukai China. Sehingga, sepanjang batubara masih menjadi sumber utama pembangkit listrik di berbagai negara, batubara Indonesia akan terus menjadi primadona dunia.

        IATA Akuisisi BCR

        IATA diketahui berencana mengambilalih 99,33% saham PT Bhakti Coal Resources (BCR) dari PT MNC Investama Tbk (BHIT).  IATA pun akan melakukan penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu atau rights issue untuk menyelesaikan proses pengambilalihan BCR dari BHIT. Di mana, nilai akuisisi BCR mencapai sebesar US$140 miliar atau sekiitar Rp2 triliun.

        BCR merupakan perusahaan induk dari sembilan perusahaan batubara dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. 

        Dimana, didalamnya terdapat PT Bhumi Sriwijaya Perdana Coal (BSPC) dan PT Putra Muba Coal (PMC), keduanya sudah beroperasi dan aktif menghasilkan batubara dengan kisaran GAR 2.800 – 3.600 kkal/kg. Dengan total area seluas 9.813 ha, BSPC memiliki perkiraan total sumber daya 130,7 juta MT, sementara PMC memiliki 76,9 juta MT, dengan perkiraan total cadangan masing-masing sebesar 83,3 juta MT dan 54,8 juta MT. 

        Selain itu adapula PT Indonesia Batu Prima Energi (IBPE) dan PT Arthaco Prima Energi (APE), keduanya ditargetkan untuk memulai produksi batubara dalam tahun ini. 

        Ditambah lagi, PT Energi Inti Bara Pratama (EIBP), PT Sriwijaya Energi Persada (SEP), PT Titan Prawira Sriwijaya (TPS), PT Primaraya Energi (PE), dan PT Putra Mandiri Coal (PUMCO) yang sedang disiapkan untuk beroperasi dalam satu atau dua tahun dari sekarang. Tujuh IUP dengan luas 64.191 ha ini memiliki estimasi total sumber daya sebesar lebih dari 1,4 miliar MT. 

        “Jadi nama perusahan berubah jadi MNC Energy Investments dan jadi investment holding dari yang paling besar adalah yang diakusisi yaitu BCR merupakan 9 IUP dengan total sumber daya 1,6 miliar metrik ton. Ini akan menjadi bisnis penting untuk mnc grup jadi akan dibesarkan sehingga akan dikembangkan bisnis batu bara end to end,” ungkap Hary. 

        Baca Juga: Manuver Perusahaan Milik Hary Tanoesoedibjo Sikapi Kerugian: Banting Setir ke Bisnis....

        Hary menyebut jika produksi BSPC dan PMC pada tahun 2021 mencapai 2,5 juta metrik ton, menghasilkan pendapatan sekitar USD 74,8 juta dengan EBITDA US$33 juta. 

        Pada 2022, BCR telah memperoleh ijin untuk meningkatkan produksi hingga 8 juta metrik ton. Dengan estimasi harga batubara terus menguat dan target produksi tersebut tercapai, kinerja keuangan IATA tahun 2022 diperkirakan akan sangat baik, dengan ekspektasi peningkatan pendapatan hingga 3x lipat dari tahun 2021, setelah mengalami kerugian sejak tahun 2008

        “Tahun 2021 pendapatan sebelum diakusisi itu hampir Rp1,1 triliun, dengan produksi 2,5 juta metrik ton. Kalau 2022 bisa 8 juta metrik ton produksinya artinya tinggal kita kalikan tiga aja minimal. Jadi pendapatan bisa Rp3 triliun lebih dan positif tentunya labanya juga sangat besar,” tutur HT. 

        Sementara itu terkait bisnis transportasi, Hary menegaskan IATA tetap akan menjalankan bisnis tersebut. Pasalnya perseroan melakukan pengalihan aset transportasi udara kepada salah satu anak usaha IATA yang dimiliki 99,99% yakni PT Indonesia Air Transport (IATA), yang juga telah mengantongi Sertifikat Operator Pesawat Udara dari Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. 

        “Bisnis pernerbangan yang dimiliki IATA tetap dipertahankan tapi tidak dibesarkan dulu. karena penerbangan lagi sulit karena bukan penerbangan reguler komersial tapi carter dan jet termasuk ATR,” jelasnya. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Annisa Nurfitri
        Editor: Annisa Nurfitri

        Bagikan Artikel: