Pasokan dari Ukraina dan Rusia Terganggu Indonesia Lirik Gandum Negeri Kanguru
Harga pangan di Tanah Air berpotensi melonjak akibat terdampak perang antara Rusia dan Ukraina, terutama makanan dengan bahan baku gandum. Untuk mengantisipasi itu, Pemerintah tengah mencari pemasok alternatif komoditas tersebut.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengatakan, dampak perang kedua negara tersebut akan dirasakan Indonesia. Terutama terkait komoditas utama yang dipasok oleh kedua negara.
Untuk itu, Kemendag menyiapkan berbagai langkah antisipasi untuk mencegah kenaikan harga pangan tersebut, termasuk kenaikan harga jelang Ramadan.
Ia mencontohkan, pasokan gandum. Selama ini sebagian besar di impor dari Ukraina. Kemendag sudah berkoordinasi dengan pengusaha agar mencari negara eksportir lain agar ketersediaan gandum untuk dalam negeri tetap aman.
“Pengusaha sudah melirik gandum dari Australia. Kami pastikan, ketersediaan tetap terjaga untuk masyarakat dan kebutuhan industri,” kata Oke kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Untuk kedelai, papar Oke, saat ini harga dunia memang sedang tinggi. Sehingga harus ada penyesuaian harga jual untuk tahu dan tempe. Namun begitu, Oke memastikan, importasi akan tetap berjalan agar pengusaha tahu dan tempe bisa tetap berusaha.
Terkait harga minyak goreng (migor), Oke yakin hal itu hanya masalah distribusi saja.
“Untuk ketersediaan dan harga sudah clear semua. Memang distribusi masih tersendat, tapi ini terus kami benahi agar segera normal,” ujarnya.
Oke memastikan ketersediaan seluruh pangan pokok di 2022 aman terkendali. Masyarakat tidak perlu panik dan berlebihan menyetok kebutuhan pangan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, dampak konflik Rusia- Ukraina yang akan paling terasa di Indonesia adalah kenaikan harga berbagai komoditas.
Pertama, melonjaknya harga kepala sawit. Harga kelapa sawit naik dari 1.200 dolar AS per ton menjadi 1.700-an dolar AS per ton, atau meroket 40 persen.
“(Perang) Ini akan sangat mengganggu pasokan minyak nabati (vegetable oil) yang diproduksi Ukraina dan Rusia,” ujar Airlangga pada pembukaan Rapim Polri 2022, Rabu (2/3).
Kedua, kenaikan harga minyak mentah (crude oil) global menjadi di kisaran 100 dolar AS-120 dolar AS per barel. “Kemudian harga gas naik ke 50 dolar AS,” tambahnya.
Kondisi tersebut, menurut Airlangga, akan mengganggu rantai pasokan energi seluruh dunia. Bagi Indonesia, kenaikan harga akan berpengaruh karena masih ada migas yang diimpor dari Rusia.
Ketiga, kenaikan harga atau pasokan untuk gandum dan sereal yang sebelumnya banyak dipasok oleh Ukraina.
Keempat, RIharus mencari negara substitusi impor atau penerima ekspor sementara akibat pembekuan akses Rusia ke jejaring informasi perbankan internasional atau SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication).
Mitigasi Risiko
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) atau National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi mengatakan, pihaknya bersama Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pangan ID FOOD, siap mengamankan ketersediaan 9 bahan pangan strategis menjelang Ramadan.
“Holding Pangan ID FOOD bersama NFA melakukan percepatan terwujudnya ketersediaan dan keterjangkauan harga pangan melalui platform dan sentralisasi dengan dukungan data pangan NFA,” kata Adi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (2/1).
Dengan begitu, lanjut dia, NFA memiliki data sentral yang valid, baik di tingkat produsen maupun konsumen. Hal ini juga menjadi mitigasi risiko kelangkaan bahan pangan pokok, yang menjadikan sejumlah harga pangan naik ketika menjelang hari besar keagamaan.
“Seperti stok daging, ayam, telur, permintaan pasti meningkat menjelang Ramadan. Oleh karenanya, perlu penyelarasan data segera untuk solusi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat,” ujar Arief.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, kenaikan harga pangan yang masih impor memang tidak bisa dihindari.
Selain akibat perang antara Rusia dan Ukraina, harga bahan pangan internasional memang sudah mengalami kenaikan sejak Mei 2020.
“Gandum, jagung hingga kedelai harga internasionalnya sudah tinggi. Di tambah harga minyak nabati yang juga naik 2,4 kali lipat. Kondisi ini tidak bisa kita hindari, karena lebih dari 50 persen kebutuhan nasional kita untuk komoditas tersebut masih harus impor,” kata Andreas kepada Rakyat Merdeka.
Ia melanjutkan, yang bisa diantisipasi kenaikan harganya saat ini adalah padi dan beras, karena produksi dalam negeri masih cukup tinggi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto