Kelapa sawit merupakan komoditi strategis dan andalan nasional di tengah badai wabah Covid- 19. Pertumbuhan ekonomi nasional menurut BPS mengalami kontraksi 2.07 % (2020) dan tumbuh positif 3.69 % (2021), pertumbuhan sektor pertanian tetap positif 1.84 % (2021), dan ini ditopang oleh ekspor Crude Pam Oil (CPO) yang harganya cukup baik di pasar global.
Minyak sawit adalah salah satu minyak yang paling banyak dikonsumsi dan diproduksi di dunia. Minyak yang murah, mudah diproduksi dengan harga sangat stabil, dan digunakan untuk berbagai variasi makanan, kosmetik, produk kebersihan, dan juga bisa digunakan sebagai sumber biofuel atau biodiesel.
Baca Juga: Adakan Pelatihan, BPDPKS Harapkan Petani Sawit Jadi Sumber Ilmu Keterpaduan Sektor Hulu dan Hilir
Kebanyakan minyak sawit diproduksi di Asia, Afrika dan Amerika Selatan karena pohon kelapa sawit membutuhkan suhu hangat, sinar matahari, dan curah hujan tinggi untuk memaksimalkan produksinya.
Saat ini komoditi kelapa sawit telah berkembang menjadi bagian yang paling penting di dunia. Dalam hal produksi minyak sawit, Indonesia menjadi nomor satu dan telah mengalahkan Malaysia. Dari 64 juta ton produksi sawit dunia, Indonesia menyumbang lebih dari setengahnya yaitu 35 juta ton.
Indonesia menyumbang 54 persen dari produksi minyak sawit dunia. Kelapa sawit tidak hanya telah menjelma menjadi penyumbang paling penting devisa negara dari nilai ekspor yang terus meningkat, namun juga menjadi penggerak perkenomian wilayah, menyerap tenaga kerja, dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan.
Kelapa sawit telah berkembang dari luas 300 ribu ha di tahun 1980 menjadi saat ini 16,1 juta ha (menurut data GAPKI), dengan produksi CPO sebesar 40 juta ton. Perlu disampaikan bahwa pangsa perkebunan rakyat terus meningkat, dan saat ini telah menjadi 52 persen dari seluruh luas kebun.
Luas total perkebunan rakyat diduga telah mencapai 9 juta ha, bukan lagi 6 juta ha sebagaimana sering diberitakan. Sementara, luas kebun kelapa sawit BUMN relatif sedikit yakni hanya 515 ribu ha. Rata-rata pemilikan sawit rakyat kurang dari 4 ha, dan ini merupkan penopang industri sawit Indonesia.
Keseluruhan kebun sawit tersebut telah mampu menyerap 4,2 juta orang tenaga kerja untuk sawit rakyat, namun secara keseluruhan adalah 8,2 juta orang. Sawit juga menjadi sumber penghidupan bagi 1,5 juta keluarga petani kecil. Secara ekonomi, sawit telah berperan sebagai kontributor ekonomi utama wilayah, dalam setidaknya 31 kabupaten dan kota di Indonesia. Banyak wilayah dan kota berkembang karena sawit terutama di Provinsi Riau, serta sebagian wilayah di pulau Kalimantan dan Sulawesi.
Namun demikian akhir-akhir ini kita dihebohkan dengan berita terjadinya kenaikan harga minyak goreng sawit di pasaran dalam negeri yang cukup significant dari harga normal Rp 14.000/l mencapai Rp 20.000,-/l dan kenaikan ini sangat meresahkan konsumen.
Kelangkaan minyak goreng sawit dan kenaikan harga menjadi isu nasional. Jika diasumsikan bahwa konsmusi minyak goreng rata-rata 9.6 l/kapita/tahun atau 8.7 kg/kapita/tahun, maka kebutuhan minyak goreng sawit untuk 273 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia (2021) adalah 2.62 Milyar liter/tahun atau 2.4 juta ton/tahun.
Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (GAPKI) mencatat produksi CPO mencapai 46.888 juta ton. Kalau 20 % dari produksi CPO, atau 9.36 juta ton digunakan sebagai bahan baku minyak goreng, dengan angka konversi 0.27, maka ada ketersedian minyak goreng 2.574 ton. Artinya dari sisi suplai mencukupi kebutuhan minyak goreng dalam negeri dan seharusnya tidak terjadi kelangkaan.
Kalau begitu mengapa masayarakat agak sulit mendapatkan minyak goreng di pasaran, apakah ada pihak-pihak tertentu yang mengambil peluang untuk mendapatkan keuntungan dengan melakukan penimbunan.
Ada beberapa penyebab kenaikan harga di dalam negeri, diantaranya; 1. melonjaknya harga CPO di pasar Global, 2. meningkatnya bahan baku untuk biodiesel dalam rangka program B30, 3. penrunan produksi dampak covid-19 dan pengaruh cuaca, dan 4. yang turut memicu kenaikan harga CPO adalah kenaikan harga komoditas energi, seperti minyak mentah, gas, dan batu bara. Semakin mahalnya harga komoditas energi tersebut mendorong terjadinya substitusi energi fosil dengan menggunakan sumber energi yang berasal dari biofuel.
Untuk selanjutnya kita tidak membahas penyebab terjadinya kenaikan harga, hal yang sangat penting untuk dibahas adalah tidaklah fair membebankan kenaikan harga pasar global kepada konsumen dalam negeri. Ibaratnya “seperti tikus mati di lumbung pangan”, ini tidak boleh terjadi, pemerintah harus ambil tindakan, kepentingan nasional lebih diutamakan, karena permasalahan yang timbul berdampak kepada IPOLEKSOSBUD HANKAM.
Kita mengapresiasi langkah-langkah kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah ini; 1. menetapkan Domestik Market Obligation (DMO), 20 % dari total volume ekpor perusahan minyak goreng wajib memasok untuk kepentingan dalam negeri, 2. menetapkan Domestic Price Obligation (DPO), menetapkan harga CPO Rp 9.300/kg dan dengan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 6/tahun 2002 menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET), untuk minyak goreng curah Rp 11.500/liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500/l, minyak goreng kemasan premium Rp 14.000,-/l , 3. memberikan subsidi minyak goring kemasan, dan 4. melakukan check and recheck gudang distributor oleh aparat kepolisian apakah ada penimbunan.
Kebijakan ini hanya bersifat jangka pendek dan simptomatik, yang kita pertanyakan; 1). bagaimana langkah selanjutnya, tidak lama lagi kita akan menghdapai bulan ramadahan dan hari raya idul fitri, dan 2). bagaimana pengawasannya agar efektif dan efisien.
Selanjutnya kita jangan terpukau kepada masalah kelangkaan dan kenaikan harga, hal yang sangat penting dan subtantif adalah bagaimana kita memperkuat posisi perkebunan sawit rakyat yang luasnya menurut catatan GAPKI sudah mencapai 6.4 juta Ha (41 %) untuk fokus memenuhi kebutuhan minyak goreng sawit dalam negeri.
Berdasarkan hasil studi masalah utama perkebunan sawait rakyat adalah produktifitas rendah, karena tidak ada pengawalan dan pendampingan penyuluh dan Kelembagaan Ekonomi Petani (KEP) berupa koperasi di tingkat kecamatan yang memberikan pelayanan prima kepada pekebun mulai dari penyedian bibit bermutu dan bersertifikat/label, pupuk, alsintan, permodalan, dan pembelian produksi pekebun dengan harga layak dalam kawasan skala ekonomi 1600 -3200 Ha.
Memperkuat peran koperasi, dari aspek mangemen, pengurus kompetensi managerial, lederaship, enterprenuership dan teknis bagi pengurus dengan merecruit tenaga muda millenial yang profesional. Penguatan modal melalui KUR, paling tidak untuk di 26 propinsi penghasil kelapa sawit yang tersebar di beberapa kabupaten.
Kemenko Perekonomian dan kementrian terkait yang terdiri Pertanian,Koperasi, dan Perdagangan serta Pemerintah Daerah membuat piloting di enam propinsi sentra sawit (Riau, Sumut, Kalbar, Kalteng, Sulsel, dan Papua Barat), dengan membangun sistem agaribisnis di kawasan perkebunan sawit rakyat. Penguataan sistem agribisnis di Kawasan Perkebunan Sawit Rakyat disini adalah harus ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab di hulu, tengah, hilir, bagaimana interkonesinya, dan siapa derigentnya sehingga terjadi integrasi dan sinergi.
Harapannya adalah semua pemangku kepentingan (stake holders) merasa saling membesarkan dan menguntungkan. Selanjutnya Koperasi harus punya kemampuan untuk membangun jaringan dengan pengusaha hulu (penyedia bibit, pupuk, alat mesin, modal) dan pengusaha hilir yang terdiri distributor dan ritel Usaha Kecil Menengan dan Koperasi (UKMK).
Jika piloting ini berhasil, tinggal bagaimana menyediakan dukungan permodalan dengan bunga rendah, atau tanpa bunga, tanpa agunan, dan prosedur sederhana untuk 2.500 koperasi yang ada dikawasan sawit rakyat, secara teritengasi untuk membangun Pabrik Mini Kelapa Sawit untuk menghasilkan CPO dan Pabrik Minyak Goreng, dengan modal 50 M tiap koperasi atau secara keseluruhan Rp. 125 T, dan salah satu sumber pembiayaannya adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Terakhir bagaimana Koperasi menerapkan Standard Operating Procedure (SOP), Indonesia Sustainable Palm Oil ( ISPO) yang bersahabat dengan lingkungan dan menghasilkan minyak goreng sehat, dan ini penting untuk melawan kampanye negative terhadap minyak goreng sawit dari negara kompetitor penghasil minyak nabati seperti minyak kedele.
Kita harus Bersama membuat strategi ini agar perkebuan sawit yang sudah jadi komiditi andalan ini bisa berlanjut karena kita sudah dikaruniai Tuhan Yang Mahaesa mempunyai keunggulan komparatif daerah tropis basah dan kompetitif dengan sumberdaya manusia yang tangguh dan telah menguasai teknologi baik bididaya maupun industri pengolahannya .
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: