Pengamat AEPI Salamuddin Daeng, ikut menyoroti tuntutan masyarakat kepada pemerintah terkait tidak meratanya distribusi solar subsidi.
Karena itu, pihaknya menyayangkan karena pemerintah tidak secara langsung ikut beroperasi di lapangan dan menggunakan badan usaha swasta, yang menurutnya hal ini menyisakan masalah yang serius.
Baca Juga: Solar Sempat Langka, Menteri ESDM Kunjungi 9 SPBU di Kaltim & Kalsel Pastikan Suplai BBM Lancar
"Selama ini, penyaluran Solar Subsidi ini tidak hanya mengandalkan BUMN namun juga mengandalkan peran pihak swasta. Negara menugaskan pula swasta yakni PT AKR Corporindo Tbk, untuk menyalurkan sejumlah tertentu solar subsidi," katanya dalam keterangan tertulisnya, Rabu (13/4/2022).
Baca Juga: Cegah Kelangkaan Solar dan Pertalite, Kartu Kendali Mulai Digunakan untuk Efektifkan Pembelian BBM
Lanjutnya, ia mengatakan seharusnya swasta mengeluarkan biaya yanng cukup besar agar dapat menjalankan tugasnya tersebut.
Kemudian, biaya yang dikeluarkan pemerintah akan digantikan dalam kurun waktu tertentu. "Namun pergantian biaya semacam ini menyisakan banyak masalah ketidakpastian. Menjadi rahasia umum, betapa sulitnya berhubungan dengan birokrasi Indonesia," katanya.
"Apakah bisa dengan dasar penugasan dari negara ini maka swasta dapat kemudahan kredit dari bank dengan tanpa bunga dan berbagai persyaratan yang berat. Semua orang tau bahwa hal itu tidak mungkin," sambungnya.
Selain itu, ia menilai jika swasta seharusnya punya tanggung jawab moral dalam melakukan distribusi solar subsidi, dan untuk penugasan semacam ini bisa mungkin dijalankan atas dasar “terpaksa”.
"Swasta tidak mungkin memiliki tanggung jawab secara politik atau kepentingan ketahanan negara yang lebih luas. Jika tugas ini gagal dijalankan, yang menerima resiko politik kelangkaan solar adalah pemerintah," papar Daeng.
Dalam situasi ekonomi yang sulit dan kenaikan harga dalam solar non subsidi, aku Daeng, tentu swasta akan membutuhkan tambahan uang dalam menjalankan usaha distribusi BBM.
"Sulitnya dukungan perbankan dewasa ini akibat resiko usaha yang meningkat sulit bagi swasta untuk mendapatkan tambahan uang. Dengan demikian tugas mendistribusikan solar subsidi oleh swasta ini pasti akan diabaikan," ujarnya.
Sementara itu, disparitas harga solar non subsidi dengan solar subsidi yang sangat besar, membuka peluang adanya moral hazard, manipulasi data, dll.
"Selisih harga sekarang ini bisa mencapai Rp7ribu-an per liter solar. Bagaimana mungkin mengontrol perilaku dengan konsidi pasar yang sangat rawan semacam itu," tanya Daeng lagi.
Dengan harga solar komersial yang sangat tinggi sekarang ini, maka swasta tentu akan memfokuskan dalam mengejar keuntungan bisnis. Paling tidak dalam jangan pendek bisa dapat untung. "Tidak mudah bagi sektor bisnis manapun di dalam negeri sekarang yang bisa untung bagus Sehingga tugas pemerintah untuk menyalurkan solar subsidi akan diabaikan," tambahnya.
Sementara, penyaluran Solar Subsidi adalah tugas yang sangat berat baik secara tehnis maupun non tehnis. Secara tehnis harus menjangkau wilayah wilayah terjauh yang memburutuhkan komitmen besar untuk menjalankan dengan dukungan infrastruktur yang memadai.
"Secara non tehnis, ini butuh kejujuran, loyalitas dan kesediaan bekerja tanpa pamrih. Masa iya swasta sanggup menjalankan tugas ini. Sementara pasar solar komersial sangat luas terutama di wilayah tambang Batubara, kebun sawit dan pusat pusat industri yang menjanjikan keuntungan besar," terang Daeng.
Menurut dia, kegiatan distribusi solar subsidi membutuhkan pengawasan ekstra mengingat harganya yang terpaut jauh dengan solar komersial. Bisa saja sebagian besar solar subsidi telah mengalir ke kebun kebun sawit dan tambang Batubara atau kegiatan industri lainnya. Dengan demikian maka pengawasan solar semacam ini harusnya satu pintu yang dikontrol langsung oleh negara yakni melalui BUMN.
"Penyaluran Solar Subsidi sebaiknya diserahkan semua kepada Pertamina. Seluruh kuota solar subsidi PT AKR dialihkan saja kepada Pertamina untuk mengatasi kelangkaan atau antrean di lokasi lokasi tertentu, dengan menambah kuota SPBU di lokasi yang rawan terjadi kelangkaan," tegas Daeng.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: