Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ade Armando Bonyok, Pakar Ini Sebut Masyarakat Indonesia Umumnya Tidak Toleran, Simak!

        Ade Armando Bonyok, Pakar Ini Sebut Masyarakat Indonesia Umumnya Tidak Toleran, Simak! Kredit Foto: Antara/Galih Pradipta
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Di tengah aksi mahasiswa di Gedung DPR, Ade Armando muncul dengan kabar tidak sedap yang mana dirinya babak belur dipukuli massa.

        Setelah selamat dari amukan massa, Ade pun kini tengah menjalani perawatan intensif di rumah sakit karena mengalami cedera yang tidak ringan.

        Mengenai hal ini, pakar ilmu politik, Prof. Saiful Mujani, menganggap bahwa seharusnya hal demikian tidaklah terjadi mengingat sistem demokrasi yang Indoensia anut.

        Dalam siaran pers tertulis yang wartaekonomi.co.id terima, Saiful menjelaskan bahwa salah satu elemen yang mendukung demokrasi sendiri adalah toleransi. Toleransi, menurut Saiful, adalah willingness atau keinginan untuk menerima perbedaan, termasuk dengan orang yang tidak kita setujui.

        Terkait pengeroyokan Ade Armando, Saiful menjelaskan bahwa tidak suka terhadap suatu kelompok tertentu adalah hal yang biasa tetapi dia mengigatkan bahwa ketidaksukaan tersebut jangan sampai menghalangi hak sebagai warga negara.

        Baca Juga: Ade Armando Bonyok Celananya Sampai Lepas di Aksi Mahasiswa, Refly Harun: Tidak Ada Asap Tanpa Api

        “Jadi kalau ada yang tidak suka, misalnya dalam kasus Ade Armando, itu hak dia untuk tidak suka. Tapi kita tidak punya hak untuk menghalang-halangi Ade Armando hidup sebagai warga negara. Tidak suka dengan Ade Armando, misalnya, atau tidak suka dengan pemikirannya, boleh. Tapi tidak ada yang punya hak untuk menghalangi Ade Armando hidup di negeri ini,” jelas Saiful dalam siaran pers tertulis, dikutip Kamis (14/4/22).

        Dalam lanjutan pembahasannya, Saiful menyinggung soal data survei yang dia lakukan rentang waktu 2004-2017. Dari data itu ditemukan bahwa mayoritas warga menyatakan ada kelompok masyarakat yang paling mereka tidak sukai.

        Temuan itu ditegaskan olehnya menunjukkan fluktuaktif atau pada satu momen meningkat dan menurun.

        “Angkanya fluktuatif, sempat 81 persen dan 85 persen, turun sampai 2013, tapi kemudian naik kembali. Pada survei 2017, angkanya 67 persen. Delapan tahun terakhir, angka ini mengalami kenaikan. Sementara yang menyatakan tidak ada kelompok yang dibenci, juga lumayan besar, tapi tidak mayoritas. Pada survei 2017, 32 persen,” ujar Saiful.

        Data itu pun ditelusuri lagi mengenai apakah warga menghalangi hak warga lainnya yang tidak disukai.

        Baca Juga: Ade Armando Bonyok Sampai Celananya Lepas, Rocky Gerung Singgung Cokro TV: Saya Berkali-kali…

        Saiful menjelaskan, ada beberapa indikator yang dipakai untuk mengukur toleransi dan intoleransi itu. Pertama, berpidato di sekitar tempat tinggalnya. Data dari 2008 sampai 2017, rata-rata 90 persen yang keberatan. Pawai di daerah situ, 90an persen yang keberatan. Demikian pula menjadi guru untuk sekolah negeri, secara umum ditolak. Juga tidak boleh jadi presiden atau pejabat pemerintah.

        “Data itu menunjukkan, secara umum, tingkat intoleransi menguat di tengah masyarakat. Artinya kita tidak menoleransi orang-orang yang berbeda dengan kita untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara,” terang Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Bayu Muhardianto

        Bagikan Artikel: